Title | : | Arok Dedes |
Author | : | |
Rating | : | |
ISBN | : | 9798659112 |
ISBN-10 | : | 9789798659119 |
Language | : | Indonesian |
Format Type | : | Paperback |
Number of Pages | : | 421 |
Publication | : | First published January 1, 1999 |
Arok Dedes Reviews
-
Tau ya sejarah kerajaan Singosari yang didirikan Ken Arok? juga pasti tahu sapa Empu Gandring dan buah karya kerisnya yang melegenda dan bikin heboh wangsa Rajasa. Yup, kisah berdirinya salah satu kerajaan besar di tanah Jawa, Kerajaan Singosari, diajarkan di buku-buku sejarah waktu kita duduk di bangku sekolah.
Salahsatu sumber sejarah yang dipakek buku sejarah di sekolah adalah kitab Pararaton, sebuah kitab yang isinya kisah raja-raja Jawa. Dulu saya sempat nanyak, mungkin ndak sih, seorang pendiri kerajaan besar adalah seorang perampok yang suka mengacau keamanan? kalok bener, kekmana dia bisa ngurusin negara besar, bahkan setelah Tumapel takluk, Kerajaan Kediri di bawah kekuasaan Sri Kertajaya pun ditekuk telak. Bagi saya endak mungkin seorang rampok tanpa pendidikan politik dan otak yang luar biasa encer bisa jadi seorang raja yang besar.
Tapi emang pas saya membaca terjemahan kitab Pararaton --emang ndak sampek slese sih--, seorang Ken Arok emang demikian smart-nya kek yang digambarkan seperti di buku sejarah. Jadi saya endak bisa menyalahkan buku sejarah. Hal yang ditekankan oleh Pararaton adalah bahwa kemenangan Ken Arok atas Tunggul Ametung dikarenakan kesaktian keris Empu Gandring yang konon ditempa dari batu meteorit dengan sepenuh jiwa raganya. Kesaktian itu terbukti dari betapa kutukan Empu Gandring yang benar-benar berbisa: tujuh turunan Ken Arok bertikai dan terbunuh oleh keris yang sama.
Pararaton ini sebenarnya endak bisa secara penuh dijadiin sumber sejarah karena mencampur fakta dan fiksi. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh mBah Pram untuk menghadirkan sebuah alternatip cerita sejarah mengenai kudeta politik Ken Arok terhadap Tunggul Ametung yang menjadi awal dari berdirinya Monarki Singosari.
Ken Arok, oleh mBah Pram digambarkan sebagai seorang yang jenius dan multitalenta. Dia adalah seorang Sudra yang memiliki semangat Satria dan berotak Brahmana. Dalam usia yang masih sangat muda, ia menguasai sansekerta dengan nilai A+. Ia lulus dari asuhan Prof. Dang Hyang Lohgawe dengan predikat cum laude. Ken Arok sendiri, diartikan sebagai Sang Pembangun.<---------jadi inget orang yang dijuluki bapak pembangunan
Di novel ini endak ada cerita kesaktian aji-ajian keris. Yang ada adalah sebuah permainan politik. mbangun kekuatan militer sebagai gerombolan pengacau yang bikin pusing pemerintah tapi deket sama rakyat. mbangun jaringan spionase hingga ke jantung kehidupan pribadi Tunggul Ametung, membuat isu2 endak sedap, manas2in kubu-kubu yang bertikai, menghasut tokoh-tokoh ambisius buat memakzulkan Tunggul Ametung, mengadu domba dan akhirnya kudeta terjadi.
Lhaaa pas pada moment yang ciamik itu, Ken Arok tampil sebagai pembela Tunggul Ametung. setelah ada yang bisa dicap sebagai pemberontak dengan meyakinkan. Penyelesaian yang tokcer itulah yang membuat dewan brahmana mengangkat Ken Arok sebagai akuwu Tumapel yang baru. Legitimasi penuh dari rakyat karena Ken Arok udah dekat dengan rakyat — sebagai simbol perlawanan sang akuwu yang semena-mena dan seenak jidat.
Ken Arok sukses melakukan kudeta khas Jawa. Licik tapi cerdik. Dari tangannya langsung, dia endak pernah bertempur secara fisik melawan penguasa. ha tapi tangannya berlumuran darah dari hasil strateginya. Kunci suksesnya adalah dia sukses memanasi kubu Gerakan Gandring, yang sejak lama memang sudah memiliki niat merebut kekuasaan. Kubu Gandring endak nyadar bahwa mereka sebenernya dijadikan umpan bidak yang melenakan lawan. Mereka sempat tertawa penuh kemenangan ketika Tunggul Ametung telah terbunuh. Ketika lawan termakan umpan, aktor yang sesungguhnya muncul menyelesaikan permainan. GAME OVER
Roman sejarah ini sempat dilarang keras di zaman Orde Baru. Roman ini juga “sukses” mengantarkan Pram keluar masuk hotel prodeo selama hidupnya. Tentunya ini menimbulkan pertanyaan, apakah Arok Dedes adalah metafora kudeta tahun 1965? Pas saya mbaca dengan nritik memang banyak kemiripan, utamanya ketika menjelang Tunggul Ametung tepar. Waktu itu salah satu petinggi militer kepercayaan Tunggul Ametung (Panglima-panglima Kuda bersaudara) terbunuh secara misterius dan santer terdengar isu bahwa ada pengkhianatan yang dilakukan oleh Kebo Ijo, seorang kepala prajurit yang dipercaya ada di pihak Kubu Gandring. Kalau ini adalah metafora, mBah Pram telah sukses melakukannya.
Jadi, mana yang benar? Ken Arok menurut versi Pararaton atau versi Pram? Kalau saya lebih cocok citra Ken Arok versi mBah Pram. Seorang pendiri dinasti Rajasa, pendiri kerajaan besar, harus memiliki segala kualifikasi yang digambarkan oleh mBah Pram. Saya endak percaya seorang rampok kecil yang suka merampok rakyat dan memperkosa bisa mengurusi sebuah negara besar. Saya lebih suka ide bahwa Ken Dedes lah yang jatuh cinta kepada Ken Arok karena kecerdasannya. Berdasarkan fakta bahwa Ken Dedes ini juga seorang brahmani--putri dari Dr. Mpu Parwa-- ketimbang Ken Arok yang bernafsu mendapatkan Ken Dedes.
Tentu saja, fiksi karya Pram ini endak bisa dijadikan literatur resmi. Namanya juga fiksi, rekaan penulis saja. Tetapi di lain pihak, Pararaton juga kurang bisa dijadikan pegangan mengingat banyak mencampurkan fakta, fiksi, mistik, dan mitologi. Lagipula, seperti roman-roman mBah Pram lainnya, Arok Dedes adalah cara yang mengasyikkan untuk belajar sejarah. endak hanya cerita politik saja di roman ini, tapi juga detail kebudayaan pada saat itu, detail pakaian Ken Dedes (mahkotanya pita bertabur permata), friksi-friksi antar kasta, pertentangan mencolok antara pemuja Syiwa dan Wisnu, dan masih banyak lagi. -
Membaca novel ini saya serasa melihat semacam behind the scene berbagai gonjang-ganjing politik yang pernah terjadi di negara ini. Ingatan saya pertama-tama langsung tertuju pada peristiwa 30 September 1965, lalu penggulingan Presiden Gus Dur 2001, Reformasi 1998, dan perseteruan-perseteruan para pendiri bangsa pada masa-masa awal kemerdekaan.
Pram mengisahkan keperkasaan Arok dengan pendekatan yang sama sekali berbeda dari apa yang pernah saya dengar dan baca waktu di sekolah dasar dahulu. Kalau yang disebut terakhir menggunakan pendekatan mistis, Pram mendekatinya dengan pendekatan sosial-politik.
Pendekatan mistis tentu saja tidak salah mengingat bahwa raja-raja di Nusantara—terutama di pulau Jawa—senantiasa mencari legitimasi mistik untuk memantaskan dirinya duduk di atas singgasana. Namun, pendekatan mistis saja tentu tidak memadai karena kehidupan kerajaan, sama seperti kehidupan berbangsa dan bernegara di era modern, mempunyai dimensi lain yang lebih luas, di antaranya dimensi politik, sosial, dan ekonomi.
Apakah dengan demikian Pram meninggalkan dimensi mistik dalam kisah ini? Sejauh yang telah saya baca Pram tidak mengabaikannya, tetapi ia tidak menjadikannya sebagai kekuatan terpenting dalam kesuksesan aktor-aktor dalam kisah ini. Ramuan atas berbagai kekuatanlah—keagamaan, sosial, strategi politik, dan ekonomi—yang membuat Arok berjaya.
* * *
Novel ini berkisah tentang penguasa negeri Tumapel bergelar Tunggul Ametung. Kekuasaannya dilindungi dan disahkan oleh Raja Kediri Kretanegara dan setiap tahun Tumapel harus membayar upeti dalam jumlah yang sangat besar ke Kediri.
Tunggul Ametung dalam menjalankan pemerintahan sama sekali tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat, baik di bidang ekonomi maupun keberagamaan. Orientasinya semata-mata kekayaan diri dan langgengnya kekuasaan. Perbudakan yang sebelumnya pada masa Raja Erlangga dihapuskan, ia hidupkan kembali terhadap orang-orang yang menentang kekuasaaannya. Melalui budak-budak itulah—dan juga melalui penjarahan—ia mendapatkan berkilo-kilo emas untuk disetorkan sebagian kecilnya pada Kediri dan sebagian besarnya untuk ia timbun sebagai biaya pelanggeng status quo. Ia pun tidak mengindahkan aturan-aturan agama (terutama Syiwa) dan secara sengaja meminggirkan kelompok agama tertentu yang dianggap berpotensi melemahkan kekuasaannya.
Alkisah, ia menculik brahmani Syiwa bernama Dedes, putri Mpu Parwa, lalu memperistri dan menjadikannya sebagai paramesywari (permaisuri) dengan gelar Ken. Menurut sebuah ramalan yang diterimanya dari seorang brahmana, dari Dedes lah ia akan memperoleh keturunan yang kelak akan menjadi raja di tanah Jawa. Tak ayal, ramalan ini membuatnya ”bertekuk lutut” pada Ken Dedes, seorang perempuan yang dulu ia culik. Demi anak cucu!
Di luar kotaraja, para brahmana dari golongan Syiwa bersekutu untuk menggulingkan penguasa lalim Tunggul Ametung. Mereka yang selama ini merasa diinjak-injak harga dirinya oleh Tunggul Ametung yang beraliran Wisynu (meski hanya ”KTP”) dan hanya bisa mengutuk, akhirnya menemukan sosok yang diangap cocok untuk memimpin perlawanan terhadap Tunggul Ametung. Dialah Arok, seorang sudra, berdarah satria, berperilaku brahmana. Padahal, Arok sesungguhnya bukan penganut Syiwa ortodoks seperti para brahmana penyokongnya.
Dalam hal koalisi antara Arok dan para brahmana Syiwa, Pram sangat jeli. Para brahmana berkepentingan untuk kembali menaikkan pamor ajaran Syiwa atas Wisynu dan Buddha, sementara Arok berkepentingan pada kesejahteraan tanpa pandang agama. Dua kepentingan itu bertemu dalam hal penggulingan Tunggul Ametung yang sedang berkuasa. Di sinilah Arok memainkan strateginya. Melalui penguasaan atas simbol-simbol kesalehan, ia tampil sebagai sosok penganut Syiwa tanpa pernah menyinggung perbedaan dirinya dengan para brahmana.
Arok sebelum didaulat oleh para brahmana sering merampok kiriman upeti Tunggul Ametung ke Kediri. Ia melakukannya semenjak masih remaja bersama teman-teman dan gerombolannya. Hasil rampokan inilah yang ia pergunakan untuk membiayai pergerakannya. Maka, tatkala ia didaulat oleh para brahmana, ia setidaknya telah memiliki tiga modal penting: ekonomi, militer, dan legitimasi keagamaan.
Untuk menggulingkan Tunggul Ametung, Arok tidak serta merta menyerang Tumapel. Ia masuk ke dalam barisan Tunggul Ametung dan melakukan pembusukan dari dalam. Ia berhasil membuat persekutuan dengan Paramesywari Ken Dedes sehingga semakin melapangkan jalannya menjadi orang nomor satu di Tumapel.
Berarti kemenangan Arok sudah di depan mata? Ternyata tidak sesederhana itu. Selain kelompok Arok dan sekutu-sekutunya, ada kelompok lain yang berkepentingan dengan Tumapel. Ada faksi Gandring yang juga ingin berkuasa, dan ada faksi Kediri yang berkepentingan dengan emas-emas dari Tumapel.
Dengan segala trik, intrik, dan kecerdikannya, Arok akhirnya berhasil memenangkan kekuasaan tanpa harus berlumur darah. Tunggul Ametung mati, faksi lain bertanggung jawab atas kematian Tunggul Ametung dan kekacauan di Tumapel, sedangkan Arok tampil sebagai penyelamat Tumapel dari kehancuran dan karenanya ia berhak atas siggasana Tumapel.
* * *
Penyajian buku ini cukup baik, antara lain karena dilengkapi silsilah raja-raja dari wangsa Mataram, Syailendra, dan Isyana. Seandainya buku ini disisipi peta lokasi gunung-gunung yang disebutkan dalam kisah ini, saya rasa akan sangat membantu pembaca dalam memvisualkan adegan demi adegan dan memahami sosio-kultur mayarakat yang ada dalam kisah.
-
Arok is not portrayed completely in this novel. Pram avoids intimacy with Arok's character writing, as opposed to Dedes. We get a complete picture of Dedes a human being with feelings, lust, even her desire and satisfaction of power, and her fear and sadness of losing it to Arok. On the other hand, Arok's depiction is only of how he tried to obtain control and power, never with clear internal motive, not completely without.
The novel is written in a way that readers will be absorbed in history. In the end I just wanted to know what happened next. But this is as far as Pram would ever tell the story. The book is funny and contemplative, and what I like is that some things are described quite explicitly, like how Kebo Ijo became the one person that everyone used for their own purpose (because he's stupid, easily lured by promises of power and weak in character).
There's repeated message of how people of different religion should respect each other, that everyone has their own right to worship whomever they want (in this case, they are Buddhist, and either Shiva or Wishnu worshipper), and that common people, the lowest in caste has the right to be a leader in the government.
It's refreshing to see how lust for power is depicted so explicitly in this book. It is today's reality reflected in a novel set in the 13th century Java.
-RN -
Rasionalitas dari legenda Arok – Dedes menurut Pramoedya Ananta Toer
" Mungkin kau lupa. Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak dari tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus dihukum didepan umum berdasarkan bukti tak terbantahkan. Kau mengambil jarak secukupnya dari peristiwa itu "
~ Pramoedya Ananta Toer ~
Ini adalah sekelumit kalimat Loh Gawe untuk Arok yang dibahasakan oleh Pram dlm novel Arok Dedes. Sebelumnya aku telah membaca Tetralogi Pulau Buru ( Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca ) yang berlatar belakang perkembangan masyarakat Indonesia di awal abad 20. Novel itu membuatku takjub karena memberikan gambaran yang berbeda tentang sejarah pergerakan masyarakat Indonesia jika dibandingkan dengan buku2 dan pelajaran sejarah yang disuapkan kepadaku sewaktu dibangku sekolah.
Dan rasa itu kembali terulang ketika aku membaca Arok-Dedes. Dalam legenda yang berkembang di masyarakat dan dalam berbagai literatur pendidikan cerita sejarah tentang Arok – Dedes dituturkan secara mistis. Tetapi dalam novel ini Pram meramu legenda bersejarah itu menjadi cerita logis dan jauh dari kesan mistis. Jadi jangan heran jika kita tidak menemui cerita tentang betapa bertuahnya keris Mpu Gandring serta cerita mistis lain dalam diri Arok, Dedes atau Mpu Gandring. Novel Arok – Dedes adalah novel politik yang bercerita tentang suksesi yang terjadi di Tumapel karena negeri itu dipimpin oleh seorang tiran bernama Tunggul Ametung. Kemudian di tengah rakyat yang tertindas itu lahirlah seorang pemuda yang dengan segala kecerdikan, kepintaran juga kelicikannya memberikan harapan baru untuk men-sejahterakan negeri itu.
Aku sungguh terkesan dengan analogi2 yang dihadirkan oleh Pram baik terhadap para tokohnya, plot ceritanya dan setting sejarahnya. Hampir semua yang dituangkan oleh Pram bisa dibilang logis dan realistis, seperti asal usul nama Endog atau bagaimana sosok Arok sesungguhnya. Jika dalam legenda sejarah kerajaan2 jawa disebutkan bahwa Arok adalah seorang yang sakti mandraguna tetapi oleh Pram Arok digambarkan sebagai seorang yang berpendidikan tinggi dan sangat terpelajar. Namun perbedaan pemikiran ini tidak membuat cerita legenda Arok – Dedes keluar dari pakem yang sudah ada. Malahan menurutku novel ini adalah tafsir dari legenda Arok _ Dedes yang berkembang di Indonesia.
Jadi buat yang belum membacanya, coba deh…
~ Rienz ~ -
karena ceteknya pengetahuan sejarah Indonesia saya, jadi yang saya ingat soal kisah ken arok dan ken dedes hanya garis besar kisahnya saja, yaitu Ken Arok mengalahkan Tunggul Ametung untuk merebut tumapel. Ken Dedes, sang permaisuri yang terkenal dengan betisnya yang indah, dan keris empu gandring yang digunakan oleh Ken Arok.
Maka itu, novel Arok Dedes karya Pramoedya ini benar-benar mengubah cara pandang saya akan kisah Ken Arok dan Ken Dedes. Pramoedya menyajikan suatu kisah yang jauh lebih realistis tanpa harus dibumbui oleh sisi-sisi magis. Prameodya berhasil menyampaikan secara sangat mendetil dan runut tentang proses kudeta Ken Arok yang sesungguhnya adalah proses yang sangat rumit, membutuhkan kemampuan politis dan kepemimpinan yang luar biasa, dan sangat terorganisir.
Selain itu Pramoedya juga menyampaikan sisi-sisi lain dari kisah Arok Dedes yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh saya, misalnya bahwa Agama adalah salah satu faktor utama yang mengompori terjadinya kudeta tersebut. Ia dapat menyampaikan bagaimana pertentangan antara berbagai agama dan kepercayaan yang dianut rakyat Tumapel dan menyulut terjadinya pemberontakan.
Cerita ini rumit dan cukup berat sehingga pada beberapa bagian saya sempat merasa berat untuk melanjutkannya, tapi tidak lama karena bagian akhir cerita benar-benar seru dan ditutup dengan memuaskan (bagi saya).
Saya bertanya-tanya seberapa akurat ya kisah Arok Dedes Pramoedya ini dari sisi sejarah? -
Cerita Ken Arok yang melatarbelakangi berdirinya Kerajaan Singosari pertama kali disiarkan dalam Serat Pararaton dalam bentuk dongeng dan diperuntukkan bagi masyarakat Jawa Kuno yang banyak menganut kepercayaan Hindu. Dalam serat tersebut disebutkan bahwa Ken Arok membunuh Tunggul Ametung demi mendapatkan Ken Dedes dengan keris yang dibuat oleh Mpu Gandring setelah sebelumnya membunuh Mpu tersohor itu. Serat ini menjadi acuan dalam penulisan sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Namun berbeda dengan yang tertulis di buku-buku sejarah saya semasa sekolah, roman ini tidak mengisahkan cerita irasional berbau mistik; kutukan keris tujuh turunan yang ditulahkan Mpu Gandring pada Arok. Kisah ini murni tentang pertikaian politik dengan segala macam intrik, yang melibatkan banyak aktor dari berbagai kalangan (tak hanya para elit politik, namun juga para kaum pemuka agama) dengan ambisi masing-masing; Arok, Dedes, Tunggul Ametung, Belangkaka, Lohgawe, Mpu Gandring, Kebo Ijo. Lohgawe yang menjadi penggagas dari rencana kudeta licik menggunakan Arok--seorang pemuda berkasta sudra namun memiliki pengetahuan tinggi laiknya seorang bhramana, yang sejak kecil melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa Tumapel dengan merampas upeti-upeti yang diantar ke Kerajaan Kediri—sebagai alat pencapai tujuan. Ia memesankan pada Arok untuk menjatuhkan penguasa Tumapel bukan dengan tangannya sendiri. Belangkaka, seorang mpu titipan Raja Kertayasa di Pakuwuan, yang berperan menjadi penasihat akuwu sekaligus penanda kekuasaan Kediri di Tumapel, mempunyai rencana sendiri terhadap masa depan Tumapel. Lalu ada Kebo Ijo, pemuda pongah akan darah Satria dalam tubuhnya hingga lupa berawas diri. Sementara Mpu Gandring, seorang pembuat senjata tersohor yang bersekutu dengan Dadung Sungging dan para Tamtama Tumapel untuk bangkit menjadi penguasa Tumapel selanjutnya. Namun dari sekian banyak tokoh tersebut, sosok Dedeslah yang menurut saya sangat menarik untuk disimak.
Mengapa Dedes?
Sosok Ken Dedes dikenal sebagai perempuan dengan kecantikan yang sangat memesona. Angin bertiup dan kainnya tersingkap, memperlihatkan pahanya yang seperti pualam, bersinar, cerlang, mendesirkan hati Arok. Dalam Serat Pararaton disebutkan bahwa Ken Dedeslah pemicu peristiwa kudeta berdarah di Tumapel. Bermula dari peristiwa Arok melihat Ken Dedes yang tengah menuruni kereta lalu terpesona oleh kecantikannya. Arok pun membunuh Tunggul Ametung dengan keris buatan Mpu Gandring demi bisa menikahi anak Mpu Parwa itu dan menjadi penguasa di Tumapel
Namun dalam roman ini, Ken Dedes digambarkan bukan sekadar sebagai obyek atau alasan pembunuhan terhadap Tunggul Ametung. Justru ia adalah salah satu pemain dari banyak aktor dalam kudeta tersebut. Meski roman ini tidak menggunakan sudut pandang Dedes secara keseluruhan seperti tokoh Drupadi dalam Istana Khayalan karya Cithra Baneerje Divakaruni, namun porsinya tidak lebih kecil dari tokoh utama lainnya. Dedes tidak digambarkan sebagai sesuatu yang diam atau bersifat pasif--yang hanya menonton pertarungan dari jauh sambil harap-harap cemas, dirinya akan jatuh ke tangan siapa—tapi ia menjadi salah satu pemain yang turun dalam kancah pertarungan, menyusun taktik dengan caranya sendiri, sambil membulatkan tekad agar dapat menjadi jawara.
Dedes mengalami transformasi; dari seorang bhramani dari Desa Panawijil menjadi pramesywari yang disembah di seluruh Pakuwuan Tumapel. Ia menyimpan ambisi besar, takkan membiarkan dirinya mati sia-sia dalam keputusasaan atau mati tercekik aura kedengkian yang begitu pekat di pakuwuan. Ia tahu bahwa ia bukan dewi Sinta yang tahan menderita, yang tidak bersedia memberikan diri dan hatinya demi kesetiaan. Ia memilih menyebut dirinya Banowati bagi Hyang Durga, yang harus menjadi pramesywari demi mengembalikan cakrawarti Hyang Durga di jagad Pramuditha.
Bila karakter kepahlawanan secara mutlak diberikan kepada Ken Arok, dan karakter antagonis disematkan dalam tokoh Tunggul Ametung, maka Dedes berada di antara kedua wilayah tersebut, tidak hitam atau putih.
Ken Dedes adalah pribadi yang utuh. Kompleks. Lihat saja, bagaimana Dedes sangat membenci Tunggul Ametung. Dia menghinakan segala laku dan perkataan suaminya itu. Namun tak bisa memungkiri kalau dia mulai menikmati kekuasaan sebagai pramesywari di selingkupan Pakuwuan Tumapel. Dedes mengutuk hari ketika dia diculik namun perlahan mensyukuri detik perpisahan antara Dedes anak brahmana tiada arti menjadi Ken Dedes sang Pramesywari. Selama di Pakuwuan, hatinya rusuh dan dipenuhi duka cita, namun ketika mesti berbagi tempat dengan orang lain, Dedes justru tersedan. Ia memandang rendah Tunggul Ametung sebab meski akuwu tersebut seorang satria namun bermuasal dari Kasta Sudra, tak lebih tinggi darinya yang berdarah Bhramana. Namun di lain pihak, dia justru mencintai Ken Arok, yang juga berdarah sudra.
Dan kutipan di bawah mungkin akan menjelaskan dengan rasional, apa yang menyebabkan tragedi berdarah terus mengikuti keturunan Ken Arok hingga tujuh turunan;Ia mengerti Ken Arok mempunyai cara berperang tanpa membuka gelar, tidak seperti para satria sebelum ini. Dan dengan cara-cara berperang itu ia takkan mungkin terkalahkan. Keselamatan dan keagungan Tumapel terjamin di dalam tangannya. Hanya ia sendiri kehilangan tempat di samping suami yang dicintainya, kehilangan balatentara yang dapat diperintahnya, kehilangan kepercayaan dari orang tua yang dicintai dan dipujanya setulus hati. Dan dalam kandungannya seorang bayi, anak dari musuh suaminya, sedang menunggu giliran untuk jadi berkuasa atas Tumapel. Dan paramesywari lain itu, juga sedang mengandung. Juga dalam kandungannya seorang bayi sedang menunggu giliran untuk jadi penguasa atas Tumapel. Dan bayi itu adalah anak Ken Arok yang menang atas Tumapel. Bayinya adalah anak dari yang dikalahkannya.
Ia pejamkan dan kedipkan mata. Ia lihat kegelapan di hadapannya, dan ia tidak rela. (Hal. 553) -
menurut saya, ini bukan karya terbaik pram.
tapi yang saya suka adalah bahwa bahan-bahan untuk menulis ini jelas: pararaton. maksud saya, saya suka dengan cara pak pram mempersiapkan tulisan: pake riset.
[memang pararaton tidak terlalu lengkap bercerita mengenai jaman ken arok karena kitab itu ditulis pada beberapa abad kemudian, yakni pada jaman majapahit. sehingga banyak imajinasi pengarang yang masuk. gejala yang sama kita amati di karyanya yang lain 'arus balik']
yang dilakukan pak pram di sini rasanya memang sedang bercerita mengenai keadaan indonesia jelang militerisasi 1965-1966, dengan menggunakan bahan peristiwa arok.
[rasanya, drama 'mangir' pun bernada sama]
-
http://cfcgourmet.blogspot.com/2012/0...
"Tak ada yang bisa bantah Sri Erlangga seorang pembangun besar. Satu yang pada waktunya akan Bapa Mahaguru katakan: hanya satu yang tidak pernah dibangunkannya kedudukan kaum brahmana... ", ujar Arok saat diuji oleh Dang Hyang Lohgawe, pada akhir masa pembelajarannya.
Saat itu Arok adalah satu-satunya murid Dang Hyang Lohgawe (atau malah untuk selamanya), yang pada umur 20 tahun telah mampu menghafal semua ajaran Brahmana itu. Dan ia terlalu berani, karena ia menentang dan berniat menjatuhkan akuwu Tumapel berdarah sudra: Tunggul Ametung. Tapi tidak Lohgawe menentangnya, karena siapa yang tidak jatuh cinta, pada kebenaran yang akhirnya akan mengalahkan pemerintahan korup, dengan penyalahgunaan kekuasaan, untuk keuntungan sepihak?
Novel yang ditulis Pram di penjara pulau Buru ini secara telak mengumbar semua kebusukan Orde Baru, dengan menggambarkannya dalam kisah Arok Dedes, yang mirip. Sama persis. Bukankah sejarah adalah zat murni, yang dimaknai secara berulang oleh nama, tempat, dan waktu yang berbeda?
Saya bukan soekarnois, dan tidak pernah diajarkan untuk begitu. Tapi sejarah sendiri yang telah menceritakan pada saya, bagaimana saya pada akhirnya bisa begitu mencintai Soekarno--karena dibandingkan dengan dia, seseorang yang disebut-sebut Bapak Pembangunan hanya seorang tengil yang pada akhirnya menjadi seperti kata Arok: dia memang pembangun besar, tapi tak pernah dibangunkannya kaum Brahmana. Dia yang pada akhirnya memakmurkan selapis tipis elit Indonesia dan menyengsarakan rakyat dalam skala besar-besaran.
Saya terkesima bagaimana dengan lihainya Pramoedya Ananta Toer menyisipkan cerita ini, dan pada akhirnya terbit. Setahu saya, selama dia dipenjara di Pulau Buru memang diperbolehkan mengetik naskah novelnya, tapi dengan diperhatikan oleh pengawas, dan tiap hari, karya itu diperiksa. Censorship ala militer. Kata anak Pramoedya Ananta dalam sebuah wawancara untuk film dokumenter di TVOne, "Saya bisa membayangkan betapa tersiksanya Pram ketika harus diawasi saat menulis."
Pram menyentil perasaan pembaca dengan kata-katanya:
(Adegan Tunggul Ametung yang meminta pendapat pada istrinya, Dedes)
"Ingin aku dengarkan dari istriku, seorang brahmani: apa sebabnya dunia menghormati satria?"
"Tidak banyak satria yang dihormati."
"Tidak banyak?"
"Terlalu sedikit. Mereka adalah yang bijaksana. Selebihnya tidak pernah dihormati dunia, hanya ditakuti." Melihat suaminya yang tidak menengahi ia melanjutkan, "Mereka ditakuti, karena semua satria adalah pembunuh, penganiaya, penyiksa karena kerakusannya pada kebesaran dunia. Hanya yang bijaksana mendengarkan petunjuk para dewa, mendengarkan Hyang Yama."
Beruntung sekali Pram memilih setting Tumapel pada tahun itu, karena memungkinkannya untuk menyamarkan penyebutan. Kasta Satria pasti adalah militer Indonesia pada rezim Soeharto, kasta Brahmana adalah para cendekiawan yang muncul dalam berbagai rupa, tapi paling sering dalam wujud seniman, sastrawan, dan jurnalis. Kastra sudra... pastilah rakyat Indonesia yang menderita, yang menjadi budak.
Karya Pram harus dipahami dengan membacanya sendiri, tidak cukup dengan membaca review orang lain. Tidak cukup dengan mendengar berita di TV tentang Pram.
Pram mungkin belum dapat nobel, tapi bisa saya bilang, Pram tak butuh nobel. Kitalah yang harus menghargai Pram, dengan membaca karya-karyanya. Meneruskan pemikirannya yang kritis dan tak takut tekanan pemerintah.
Pram tak butuh Nobel, hanya generasi baru dan nama harum yang dikenang di dalam dunia pembaca sastra. -
Buku yang tidak akan cukup dibaca satu kali untuk memahami isinya..Kerajaan-kerajaan di nusantara adalah latar belakang cerita ini..dengan segala intrik politik; menggulingkan dan membangun pemerintahannya kembali..tak bisa dibayangkan bagaimana seorang Pramoedya Ananta Toer menulis epik sejarah ini dalam keadaan yang prihatin dan fasilitas yang pastinya terbatas, padahal ini sangat dibutuhkan para penulis (pada umumnya) untuk menuangkan ide kreatifnya, dan di penjara pulau Buru tahun 1977-an Arok Dedes lahir.
Dedes..
Putri dari pandita Budha, Mpu Purwa. Dinikahi secara paksa oleh Tunggul Ametung. Menjadi saksi pembunuhan suaminya, anehnya Dedes malah menikahi pembunuh suaminya(bukti bahwa sesungguhnya ia mencintai Arok, dan menjadi permaisuri kerajaan baru Tumapel (Singhosari) dan menjadi ibu dari Anusapati (anak dari Tunggul Ametung) yang pada akhirnya membunuh Arok..dan ibu bagi raja-raja di Jawa..
Arok..
Seorang bayi yang terbuang, dianggap sebagai putra Brahman. Berganti manusia demi manusia yang mengasuhnya: Lembong, Bango Samparan, Lohgawe, menjadi bawahan Tunggul Ametung dan terpikat akan kecantikan Dedes, membunuh Tunggul Ametung dengan keris dari Mpu Gandring yang belum paripurna..merebut Tumapel dan mendirikan kerajaan baru dan menjadi raja untuk kerajaan Tumapel (Singhosari)..dan berakhir tragis dengan terbunuh ditangan anak tirinya..Anusapati
Bagaimana sebuah kudeta yang dilakukan Ken Arok terhadap Tunggul Ametung tahun 1200-an Masehi, menjadi sebuah sejarah yang terulang lagi di Republik Indonesia yang masa baru merdeka di tahun 1965.
Apakah harus dengan cara seperti ini (cara yang dilakukan oleh Ken Arok) dalam tiap transisi kepemimpinan dalam pemerintahan?? -
Aku bukan penggemar fanatik Pram. Kalo pun aku mengoleksi beberapa, cuma karena aku tidak ingin dikatakan ketinggalan dari membaca penulis sastra indonesia kelas dunia, spt seorang Pram. Arok Dedes ini adalah buku Pram pertama (baru pertama) yang aku selesai baca. Aku suka, karena mengulas sejarah. Jauh berbeda memang dari cerita yang kita temui di buku-buku sejarah sekolah (yang membuat kita bertanya, mana yang sebenarnya dimanipulasi?). Di sini Pram membawa kita pada versi sejarahnya sendiri, hasil kontemplasi-interpretasinya sendiri. Mengusung cerita berlatar politik, perebutan kekuasaan, sampai akhir kita disihir tuk terus menyimak intrik-intrik yang muncul di dalamnya.
Yang menarik, sosok Ken Dedes lah jawaranya. Dia lah yang digambarkan Pram sebagai otak peristiwa. Sosok perempuan cantik nan gemulai, namun di balik itu, dia berhasil memainkan pria tuk bertekuk lutut pada kehendaknya.
Sudah banyak lupa detil cerita, tidak ada salahnya dibaca sekali lagi. -
I admire the ability of Pram to produce this scholarly work. 13th century Java, the people are feed up with the corrupt Governor, there are a number of people manoeuvring for his position and a rebellion forms.
Arok is the leader of the rebellion, his motive seems to simply remove the corruption and the adherence to a false God. He is blessed with all sorts of talents but is unemotional for the main.
Dedes is the beautiful Consort of the Governor. She was a peasant before being kidnapped and made into the Consort. She realises she has power and starts to use it. Her portrayal is full of emotion.
I found it a difficult to read with many references to Hinduism, written in a style of an old fable and includes a hierarchy of religious/political positions which I am not familiar with. -
Kalau disuruh mendeskripsikan seperti apa roman "Arok Dedes" ini, mungkin kata 'passionate' dan 'fascinating' cukup mewakili. Penggambaran luar biasa akan dunia dimana budaya Indonesia-Hindu-Buddha masih kental terasa. Roman yang mengingatkan kembali siapa bangsa Indonesia sebenarnya.
-
Saya suka dengan gaya Pram yang nggak memberikan deskripsi lakuan ketika dua atau lebih tokoh sedang saling berdialog. Yang dituliskan cuma percakapan-percakapannya saja, dan kita membayangkan sendiri betapa paraunya suara seseorang saking takutnya, betapa culas suara lainnya saking liciknya. Saya kagum dengan penulis yang bisa "menahan diri" untuk nggak menumpahkan seluruh detail adegan dalam cerita seperti itu. Saya merasa dihargai sebagai pembaca: untuk berpikir, untuk menebak, untuk mengingat.
Bukankah "dua ratus tahun penantian brahmana" itu nggak sungguh-sungguh terbayar? Pada akhirnya, itu hanya salah satu bahan kampanye dari penggulingan Tunggul Ametung oleh Arok. Demi memperbanyak pasukan dan memeroleh dukungan, mereka memvalidasi semua alasan untuk kebencian kepada Tunggul Ametung. Entah perbudakan, perampokan, penyingkiran brahmana, diskriminasi agama, dan lainnya. BTW, novel ini dijadikan objek kajian analisis posmodernisme dalam mata kuliah saya nyaris dua tahun lalu. Lama betul saya menuntaskan buku ini.
Nasib Dedes kasihan betul dalam kisah ini. Terutama pada bagian-bagian akhir. Tapi bukan kasihan sebagai karakter. Saya suka penceritaan yang diberikan oleh Pram tentang Dedes ini. Sebab sekalipun nasib Dedes menyedihkan, pada karya ini karakternya dia tidak direndahkan. Kita diperdengarkan suara-suara hati Dedes: tekadnya, ketabahannya, kepekaannya. Dia dipersempit kekuasaan dan romansanya, tapi dia sudah sadar itu sebelumnya. Dedes bahkan sudah jauh membaca soal nasibnya sampai anaknya nanti lahir. Kalimat terakhir buku ini adalah, "Untuk pertama kali ia biarkan air matanya berlinang," dan saya suka paralelnya dengan hardikan Arok saat lihat Dedes menangis huhuhu T_T Sekalipun awalnya Dedes bilang bahwa itu tangisan untuk anaknya, tapi akhirnya kita tahu untuk siapa tepatnya air mata itu; ruang baginya di Tumapel.
Penggambaran politiknya keren, seolah-olah semesta membersamai langkah-langkah Arok (mungkin memang benar, tapi pada dasarnya Arok sendiri memang secerdas itu). Menjelang penggulingan, saya simpati dengan Tunggul Ametung karena dia menyadari bahwa dia tidak punya daya - pasukan Tumapel berbalik menyerangnya, pasukan Arok tidak pernah menghormatinya sebagai pemimpin sejak awal. Dia curiga dengan Arok dan punya ketajaman intuisi untuk membaca adanya perlawanan untuknya, tapi tidak pernah bisa membuktikan itu. Ditambah, Arok sendiri juga selalu selangkah di depannya ....
Ini sudah agak hilang kesannya setelah saya sampai pada akhir buku, tapi pertemuan Arok dan Dedes itu manis, hihi. Mereka ngobrol pakai Sansekerta di depan orang banyak.
Banyak kutipan yang saya suka, tetapi ini di antaranya yang sempat tercatat:
1. Dalam kekacauan sekarang mereka mendapat kesempatan untuk membuktikan: senjata lebih berarti di tangan orang sebodoh-bodohnya daripada keterpelajaran dalam tubuh tanpa pelindung.
2. Arok melemparkan semua senjata pada dirinya: "Telah aku berikan kesempatan padamu mendapatkan maut yang terhormat, dan kau menolak." (Saya luput memaknai kalau bunuh-bunuhan antarpemimpin itu adalah cara "mendapatkan maut yang terhormat" di masa itu. Pantas King Arthur ngajak pemimpin musuhnya duel saja dibandingkan antarpasukan mereka saling tempur.)
3. Ada diajarkan oleh kaum Brahmana: orang kaya terkesan pongah di mata orang miskin; orang bijaksana terkesan angkuh di mata si dungu; orang gagah-berani terkesan dewa di mata si pengecut; juga sebaliknya, Kakanda: orang miskin tak berkesan apa-apa pada si kaya; orang dungu terkesan mengibakan pada si bijaksana; orang pengecut terkesan hina pada si gagah-berani. Tetapi semua kesan itu salah. Orang harus mengenal mereka lebih dahulu. -
Selama ini yang sering kita kenal dalam cerita Ken Arok dan Ken Dedes hanyalah bagaimana "kutukan keris Empu Gandring" berperan, dan bunuh membunuh terus terjadi sejak penggulingan Tunggul Ametung oleh Ken Arok. Namun Pram lewat novel ini mengangkat sudut pandang lain yang benar-benar menyegarkan sekaligus membuka mata: bahwa kerumitan peta perpolitikan Nusantara adalah warisan yang sudah turun temurun.
Lewat kelihaiannya Pram menyorot bagaimana Ken Arok tidak serampangan menghunus keris Empu Gandring ke Tunggul Ametung seperti yang selama ini dipelajari di buku pelajaran sejarah, namun melakukannya dengan strategi politik yang amat licik, cerdas, dan penuh perhitungan, sehingga darah Tunggul Ametung tidak berlumuran di tangannya, melainkan lewat intrik-intrik yang diciptakan dalam persekongkolan banyak pihak serta kelindan banyak kepentingan manusia-manusia gila kuasa.
Melihat hari-hari ini, saya disadarkan bahwa kerumitan dunia perpolitikan NKRI sekarang ini ternyata menemui jejaknya dalam politik Jawa kuno yang begitu rumit dan penuh permainan cantik". Dan sekali lagi, sayangnya, rakyat dan orang-orang terpinggirkan yang jadi korban atas kepentingan pihak-pihak yang memiliki privilese.
Roman ini sungguh bacaan yang seru, agak butuh waktu untuk mencernanya, tapi mendidik sekaligus menghibur. Menguras pikiran sekaligus menyegarkan pikiran. -
Membaca buku-buku Pram, adalah membaca sejarah dengan sajian berbeda. Lebih lezat, dengan garnis cantik, dan jelas bergizi tinggi. Jika kita biasa menelan sejarah seperti yang disuguhkan buku-buku dan dikoarkan guru saat duduk di bangku sekolah, bersiaplah menerima kejutan dan dipaksa membuka mata karena sejarah yang ditulis dalam bentuk roman oleh Pram ini menuturkannya lebih realistis sekaligus rumit.
Realistis karena tak ada yang namanya kutukan keris Empu Gandring yang akhirnya membunuh Tunggul Ametung melalui tangan ken Arok. Yang ada adalah kejelian bermain politik secara cantik, hingga justru tangan yang berlumuran darah yang akhirnya mendapat sorak penghormatan. Ya, roman sejarah ini bercerita betapa kekuasaan menjadi segala-galanya bagi hampir semua orang. Arok, Belakangka, Kebo Ijo, Gandring, bahkan Dedes sendiri. Yang kemudian menentukan siapa pemenangnya adalah kejelian, kemampuan memanfaatkan peluang, dan ketegaan melempar umpan pada korban. Itulah mengapa roman ini termasuk rumit dengan siasat perang kelas tinggi.
Yang baru kutemui juga di buku ini adalah betapa sejak dulu sebenarnya kita kurang bisa menerima adanya perbedaan keyakinan. Dan pembagian kasta-kasta manusia itu menjadi salah satu penyumbang ketidakadilan di muka bumi yang banyak dieksekusi oleh para pemegang kekuasaan, raja beserta keturunannya. Bahkan, kasta Brahmana yang digambarkan lebih dekat secara keilmuan dan kejiwaan kepada Dewa pun terkadang tak bijak memandang kasta lain di bawahnya.
Membaca buku ini, seperti halnya buku Pram lainnya, kita akan digiring untuk berdecak kagum akan kejeliannya menggambarkan suasana dan kondisi saat itu. Istilah-istilah Budha Hindu bertebaran tapi tak membikin pening kepala karena langsung ada penjelasan di catatan kakinya. Setting di bumi Jawa Timur terutama sekitaran Malang, kali brantas, gunung Arjuna, Kawi, juga bisa dibilang sempurna, seingatku tak menemukan satupun salah eja.
Ada beberapa kutipan bagus yang sengaja kustabilo di buku ini. Salah satunya lewat mulut tokoh Dang Hyang Lohgawe, salah seorang brahmana guru Arok yang nama aslinya Temu ini di halaman 179. “Manusia adalah hewan yang paling membutuhkan ampun.”
Sedangkan menurut Arok di halaman 211, “Barang siapa tidak tahu kekuatan dirinya, dia tidak tahu kelemahan dirinya. Barang siapa tidak tahu kedua-duanya, dia pusing dalam ketidaktahuannya.”
Ya, membaca Pram, selain membaca sejarah dalam balutan roman, adalah membaca diri sendiri dengan kaca mata terbening yang kita miliki.
Tanah Baru, 05/01/’10 09.03 -
Sepertinya di dalam setiap novel Pram, selalu ada tokoh perempuan yang mandiri, tangguh dan tidak mau (di)tunduk(kan). Bagaimana seorang Dedes ketika diculik dan dinikahi paksa oleh Tunggul Ametung, sikapnya teguh melawan meskipun tidak secara fisik. Juga ada tokoh Umang yang digambarkan sebagai pemanah yang tangguh dan hidup dalam kondisi perang.
Ngomong2, soal intrik politik dan kerajaan yang menjadi setting Arok Dedes, jadi mengingatkan saya pada film-film korea hehehe. Jadi berbagai perebutan kekuasaan mungkin bukan hal yang baru bagi saya. Sepertinya manusia memang selalu mencari kuasa.
Kemudian ada isu fundamental anti-demokrasi di sini. Mengambil perbedaan kasta serta pemujanya yang saling menindas dan membenci satu sama lain, dalam hal ini pemuja dewa Wisnu menindas pemuja dewa Syiwa. Seperti Dedes yang hingga akhir sangat membenci orang Wisnu. Ngomong2, saya jadi penasaran ini beneran dalam agama Hindu saling memberi stigma dalam macam turunannya ya?
Yang saya tangkap, kasta brahmana yang memuja dewa Syiwa digambarkan sebagai kaum elit intelektual (mungkin di agama samawi disebut ahli kitab), juga kaum brahmana ini berdarah campuran sehingga Dedes yang berada di kasta Brahmani digambarkan sangat cantik, namun cantik campuran layaknya aktris-aktris cantik film Indonesia yang berdarah campuran. Lalu kasta Sudra yang memuja dewa Wisnu digambarkan sebagai orang-orang tani yang diberi stigma berwajah jelek dengan hidung pesek. Lalu ada pula orang-orang Buddha yang juga tak lepas dari stigma karena kebencian, karena ada latar belakang dendam pada wangsa Syailendra dan Sriwijaya.
Dulu saya ingat pernah membaca soal telaah kolonialisme pada jaman agama Hindu dan segala turunannya pertama kali masuk ke pulau Jawa. Ada pertentangan antara penduduk asli dengan penduduk kolonial. Saya hampir lupa dengan isi telaah tersebut, namun dalam novel ini gambaran pertentangan orang-orang yang telah mendiami pulau Jawa selama ribuan tahun dengan orang-orang Hindu yang baru datang dalam telaah tersebut bisa digambarkan dengan baik meskipun tidak gamblang. Orang2 asli pulau Jawa sebagai kasta sudra/orang tani/pemuja Wisnu, sedang pendatang adalah kasta brahmana.
Kisah Ken Arok sendiri memang cukup melegenda dengan kutukan keris Mpu Gandringnya sendiri (kisah tentang kutukan ini sendiri hanya berada di Serat Paraton), namun dengan cara Pram sendiri kisah itu menjadi sebuah gambaran tentang bagaimana melawan ketidak-adilan. -
Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer bercerita mengenai perjuangan Ken Arok dalam menaklukkan Tunggel Amateung, penguasa Tumapel yang lalim dan mendapat legitimasi dari Kerajaan Kediri.
Asal usul Arok dan Dedes diceritakan secara lengkap meski dengan "plot-twist." Asal usul dua pasangan yang melahirkan raja-raja Majapahit ini begitu berbeda. Asal Arok simpang siur, ia lahir dari satu orang asuh ke orang asuh yang lain. Sedangkan Dedes lahir dan tumbuh di kalangan brahmana yang punya kasta tinggi dalam struktur sosial kala itu. Perbedaan latar belakang ini memunculkan pergolakan batin yang cukup hebat dalam hati Dedes hingga akhir novel, bahkan tak terselesaikan.
Arok yang memiliki banyak orang tua asuh yang berlatarbelang beragam, meliki kepribadian yang kosmopolitan dan egaliter. Berbeda dengan Dedes yang hingga akhir cerita merasa menjadi manusia unggul hanya karena berdarahkan brahmana.
Perlawanan Arok terhadap Tumapel tumbuh dari gerakan akar-rumput. Ia mulai memimpin pasukan-pasukan kecil dari usia belia guna membegal karavan Tumapel yang hendak memberikan upeti kepada Kediri. Ia berkeliling daerah, dari orang tua asuh satu ke orang tua asuh yang lain. Ia terlibat pertautan batin dengan Umang, salah satu saudara tiri yang menaruh simpati, bahkan, ia akhirnya menjadi istri Arok pada puncak perjuangan Arok.
Kasta Brahmana mengalami kemunduran dalam kepemilikan pengaruh di tengah masyarakat karena Dinasti Isana yang memerintah Kediri mengaburkan batasan kasta-kasta pada masyarakat yang sebelumnya begitu terasa. Salah satu buktinya adalah penunjukkan Tunggul Amateung yang seorang sudra sebagai akuwu Tumapel.
Kaum Brahmana yang merasa dicampakkan pada era Dinasi Isana berkuasa tidak bisa melakukan perlawanan. Di setiap pertemuan, para brahman hanya bisa mengeluhkan derita mereka dan mengutuk Wangsa Isana. Mereka bahkan terjebak aliran mesianis di mana mereka memimpikan Ratu Adil yang datang dan menolong mereka.
Arok yang bernama asli Temu datang sebagai Ratu Adil yang dinanti. Ia yang berjiwa kosmopolitan dan cinta keadilan, menjadi Juru Selamat kaum Brahmana yang telah menjadi satu pihak dalam membangun kepribadian Arok yang begitu ideal, baik dari segi keilmuan agama, maupun kepandaian dalam berperang.
Bara dendam Brahmana semakin berkobar kala Tunggul Amateung yang sejatinya hanya bromocorah berkasta rendah menculik Ken Dedes yang merupakan brahmani cantik anak Mpu Parwa. Dedes yang jelita, dinikahi secara diam-diam oleh Tunggul Amteung dan dijadikan parameswari di kekuwuannya.
Arok, berbekal restu kaum Brahmana yang punya legitimasi religius dan segenap korban kediktatoran Tunggul Amateung yang punya dukungan fisik, mengerahkan perlawanan dengan membikin rusuh seantero Tumapel. Gerombolan yang dikomandoi Arok seringkali merampok upeti Tumapel yang akan diserahkan ke Kediri.
Dengan gerombolan-gerombolan kecilnya, Arok menguasai depa demi depa Tumapel, hingga akhirnya bisa menguasi jantung ekonomi rezim sang akuwu Tumapel, tambang emas di Sungai Kanta. Tunggul Amateung yang kewalahan akhirnya minta bantuan kepada Pendeta Lohgawe yang dipandang punya legitimasi religius.
Malang tak bisa ditolak, Lohgawe yang merupakan guru Ken Arok merekomendasikan muridnya itu menjadi juru selamat bagi Tumapel. Dengan pelbagai intrik, Ken Arok berhasil memberi kesan bahwa ia bisa memadamkan kerusuhan di seantero Tumapel yang sebenarnya ia dalangi sendiri.
Kudeta Arok juga didukung kondisi internal Tumapel yang acak-adul. Belakangka yang merupakan pengawas dari Kediri ingin menggulingkan Tunggul Amateung, dan nantinya ingin menyingkirkan Arok juga, agar ia bisa menguasai Tumapel sepenuhnya. Kebo Ijo, seorang berkasta satria yang merasa direndahkan karena harus dipimpin oleh Tunggul yang sudra, juga ingin mendapat gelar kuwu karena ia yang berkasta satria merasa lebih pantas. Empu Gandring juga bernafsu mendapat potongan roti kekuasaan. Ia berikhtiar dengan menghasut segenap perwira Tumapel untuk melawan.
Dengan pasukan yang paling solid di antara yang lain , Arok bisa mendominasi panggung pertunjukkan kekuatan di Tumapel. Kebo Ijo yang ditunggangi Belakangka gelap mata ingin menguasai Ken Dedes yang cantik jelita sehingga bertindak sembrono dan seadanya. Ia akhirnya terjebak skema permainan Arok yang begitu sabar dan telaten dalam memanfaatkan peluang.
Dari awal kedatangan Arok, Dedes sudah terpesona dengan kehebatan Arok dalam ilmu agama. Tanpa terasa, Dedes jatuh cinta pada pemuda antah-berantah itu. Di hati kecilnya terjadi peperangan antara egonya sebagai brahmani dan rasa kagumnya kepada Arok yang tak berperi. Di sisi lain, ia juga mengandung anak Tunggul Amateung dan maju mundur ketika akan menggugurkan kandungannya.
Tanpa perlawanan berarti, Arok berhasil menguasai Tumapel dengan tangan yang bersih. Terjebak oleh nafsu dendam dan ketertarikan Dedes yang cantik tiada tara, Kebo Ijo masuk ke bubu Dedes yang telah bersekutu dengan Arok. Kebo Ijo tertangkap tangan menghabisi Tunggul Amateung yang dari awal tak siap beradu strategi. Kebo Ijo juga terhasut Dedes yang mengatakan bahwa Kebo Ijo telah memenangkan tahta, bahkan sebelum pedang ditarik dari sarungnya.
Segenap tentara Arok dan korban kekejaman Rezim Tunggul Amateung mengaklamasikan Arok sebagai akuwu Tumapel yang baru. Dedes didera prahara batin setelah tahu Arok sudah beristrikan Umang dan rela harus dimadu sang lelaki dan mempunya madu yang sudra dan penyembah Syiwa. Di sisi lain, Dedes mengandung putra Tunggul Amateung yang Dedes sudah prediksi akan menuntut tahta Tumapel yang telah Arok renggut dari bapaknya.
Ken Arok yang memiliki visi yang begitu egaliter dalam memimpin, kelak akan mempunyai keturunan dari Dedes bernama Raden Wijaya, raja pertama Kerajaan Majapahit yang melegenda.
Pram menyajikan epos Arok Dedes dengan segar. Ia berhasil mentransformasikan cerita rakyat yang begitu lekat dengan hal irrasional, menjadi sebuah cerita yang begitu rasional. Ia menjelaskan dengan logis bagaimana langkah Ken Arok dalam menggulingkan tahta Tumapel yang memang rapuh. Pram juga berhasil melucuti sakralitas Empu Gandring yang sering digambarkan sebagai seorang empu sakti yang mampu membuat keris sakti dalam versi arus-utama cerita Ken Arok. Hal ini sejalan dengan aliran realisme-sosialis yang diklaim Eka Kurniawan berdiam dalam karya-karya Pram.
Drama pertentangan kelas yang sebenarnya klise, bisa diolah sedemikian rupa menjadi konflik yang begitu menarik dalam membangun jalannya cerita. Bahkan ini menjadi bahan bakar utama bergulirnya cerita.
Sayang sekali, sekuel novel ini yang berjudul "Mata Pusaran" raib menyusul dengan dicekalnya Pram oleh Orde Baru. Semoga ada keajaiban yang bisa menyelamatkan naskah sekuel ini, sehingga suatu saat Novel "Mata Pusaran" bisa dinikmati. -
This is the first book that make me know what kind of socio-realism fiction is. this book makes me in love with Pramoedya. how he described the rebellion of Ken Arok which was really different with what I known before. since I was child, my parents gave books to make me love reading. one of the book is about Ken Arok from myth point of view. for many years it was I believed. the succeeded of Arok's rebellion was because of Gandring's keris. therefore, I got confused when I read Toer's Arok Dedes. Toer analogued Arok's rebellion as Soeharto's rebellion through Soekarno. it needs perfect planning, strategic, and full of intricacy. basically, it was not as simple as I thought before. "History always return. what happend in Soeharto era had been done by Arok in 'Babad Tanah Jawa'." said Toer. that's why knowing your nation's history will help you to understand your nation better.
-
Keren. Akhirnyaaa.... Ada juga novel Pak Pram yang gue ngerti. Hahaha.
Di mana-mana, kalo agama udah dijadiin alat berpolitik tuh yaaa susah yaa... Kayak pas zaman ini. Pantesan aja, dari dulu gue suka bingung, kenapa raja-ratu Jawa bisa disamain sama dewa Hindu sampe ada arcanya? Terus kenapa cerita kayak Mahabharata dan Ramayana bisa beda versinya sih yang India sama yang Jawa punya? Ternyata di sini gue mendapatkan jawaban yang masuk akal. Yaaa ada kaitannya sama politik itu. Memang dari dulu sejarah itu cuma ditulis dari sisi pemenang dan bisa diubah sesuai pesanan.
Yang menghalangi gue dari memberikan satu bintang terakhir untuk cerita ini adalah, gue ga tau seakurat apa cerita ini sama sejarah yang sebenarnya. Hehe. Bukan salahnya yang ngarang sih, emang sejarah Indonesianya aja yang nggak jelas. Tapi yaa gitulah.. -
Sepertinya taktik Arok dalam menjatuhkan Tunggul Ametung masih cukup baik untuk di terapkan politik praktis negeri ini.
1. Perbedaan Ametung dengan Arok adalah, jika Ametung mengirim pengikut setianya mati dalam perang, Arok menjaganya.
2. Arok dekat dan mewakili semua kelompok masyarakat, sudra,satria,petani,budak,dan di restui brahmana.Kemenangannya atas ametung kerja keras seluruh lapisan tersebut.
3. Ilmu pengetahuan membuat Arok menapak hingga menjadi penguasa tertinggi tumapel.
4. Masuk ke dalam sistem dan menumbangkannya dari dalam.
telak.
Setelah sekian buku pram yang ku baca, tokoh-tokoh perempuan didalamnya selalu adalah pemegang peranan penting dalam sejarah, meski sering terkorbankan. -
membaca buku ini mengingatkan saya pada cerita2 bapak saya pada waktu saya kecil, tentang kisah seorang pemuda nakal yang berhasil menjadi raja dengan berbagai akal dan kecerdikannya. sebuah cerita yang menjadi mitos dan legenda, dengan berbagai kisah2 klenik tentang kesaktian Keris Empu Gandring, kisah pengkhianatan terhadap Tunggul Ametung, cantiknya Ken Dedes dengan bagian Vaginanya yang bercahaya (katanya merupakan simbol ratu yang akan melahirkan keturunan Raja2 di Jawa, he...he), kebodohan Kebo Ijo yang mau aja diperdaya oleh Ken Arok dll. Pak Pram secara hebat mampu meramu kisah ini menjadi begitu logis, seperti buku sejarah yang bertutur bahwa kudeta terhadap kekuasaan adalah murni urusan politik, bukan klenik atau dongeng2 pengantar tidur.
-
What comes to my mind when I read this: it feels like I'm watching Gossip Girl series. It was good with the intrigues. A little hard to read because it has uncommon terms, mostly from the Javanese culture.
Yes, it was your old Ken Arok and Ken Dedes legend. Where before, we told about the killing did by Ken Arok because of Empu Gandring's keris. But in this book there's nothing that magical or mystical. It was just the usual political story. Where Arok is leading a revolutionary movement against the current leader of Tumapel, Tunggul Ametung.
There are also inner conflicts of Ken Dedes, Tunggul Ametung's wife about that revolutionary mission. This is what I find interesting, I guess. -
tiap ada yang mo minjem ni buku, gw selalu bilang sama mereka: "selamat menyelam bersama Om Pram..." sayang, sekarang gw gak inget ni buku ada di siapa :( buat yang ngerasa minjem, pliiiss balikin donk buku gw..!!!
btw Arok Dedes adalah satu buku yang ngga akan lo tinggalkan sampe lo selesai baca...!! percaya deh... -
pram berhasil memutar balik otak dan
pandangan kabur kita mengenai sejarah
jawa, dengan LuGaS!!
arok adalah wakil sosok muda anti kemapanan,
berontak terhadap kesewenangan kekuasaan..
gw selesaikan buku ini dengan sekali buka
seperti karya2 pram kebanyakan..
memukau!! -
Susah jugak nak faham masa mula-mula baca buku ni. Banyak sangat dewa dan kasta. At the end, aku dapat merasakan yang aku harus cari dan baca buku-buku sambungannya.
-
Ken Arok dan Ken Dedes dikenal sebagai pendiri Kerajaan Singosari yang berada di Jawa Timur. Ada banyak kisah tentang Ken Arok dan Ken Dedes, siapa keduanya? Apa motivasi Ken Arok merebut tahta Tumapel dari tangan Tunggul Ametung? Nah, jika Anda sudah membaca banyak versi tentang Ken Arok dan Ken Dedes, Anda bisa membaca versi Pramoedya Ananta Toer yang penuh dengan intrik politik.
Kisah dibuka dengan penculikan Dedes oleh Tunggul Ametung. Dedes adalah brahmani penganut Hindu Siwa yang taat. Ia adalah putri satu-satunya Mpu Parwa, brahmana yang disegani namun tidak memiliki murid selain putrinya. Tunggul nekat menculik Dedes untuk dijadikan permaisurinya ketika mendapat saran dari seorang brahmana bahwa Dedes yang berada di kasta tertinggi masyarakat hindu akan memberikan perubahan baik bagi dirinya dan Tumapel.
Dedes sendiri sangat marah dipisahkan paksa dengan ayahnya. Apalagi ia dan ayahnya sangat membenci kelakuan Tunggul Ametung yang sewenang-wenang terhadap masyarakat jelata dan menghinakan para brahmana Hindu Siwa seperti mereka. Ia seperti kehilangan dirinya ketika dinikahkan paksa dengan Tunggul Ametung oleh brahmana suci Belakangka penganut Hindu Wisnu. Ia seperti mayat hidup sebelum bertemu dengan pelayannya, Rimang, yang merupakan bekas selir Tunggul Ametung.
Sementara wilayah Tumapel terus bergejolak. Telah beberapa kali terjadi kerusuhan dan perampasan upeti yang sulit dibasmi. Tunggul Ametung kemudian memimpin sendiri pasukannya dan merasa tak berdaya ketika bertemu dengan seorang pemuda berkumis yang sangat berwibawa. Di satu sisi ia merasa lemah ketika Raja Kediri, atasannya, berniat mencari pengganti dirinya jika Tunggul Ametung gagal mengatasi pemberontakan dan menyerahkan upeti emas berkali-kali lipat.
Di tempat lain ada seorang pemuda yang dididik oleh Dah Hyang Lohgawe seorang brahmana yang memiliki pengaruh sangat besar. Dah Hyang Lohgawe merasa anak didiknya ini sangat istimewa dan dapat membawa perubahan bagi Tumapel. Ia memberinya nama Arok. Diperkenalkannya Arok ke kalangan para brahmana dan diajukannya Arok ke Tunggul Ametung sebagai pemimpin pasukan Tumapel untuk membasmi pemberontakan.
Tahta Tumapel rupanya bukan hanya dibidik oleh kaum brahmana Siwa dengan Arok sebagai jagoannya, masih ada Empu Gandring yang juga bernafsu meraihnya dengan menumbalkan tamtama bernama Kebo Ijo yang tidak menyukai kesatria anak selir Tunggul dan jatuh cinta terhadap Dedes. Dan tanpa disadari Arok dan Mpu Gandring, masih ada tokoh lain yang juga bernafsu menjatuhkan Tunggul Ametung.
Intrik politik yang rapi dan berlapis-lapis inilah yang menarik dalam kisah Arok-Dedes ini. Berbeda dengan cerita yang saya pernah dengar, di versi Pramoedya ini tidak ada keris Empu Gandring yang sakti dan bertuah. Arok juga bukan sekedar perampok kasar dan brutal. Empu Gandring tetap digambarkan seorang pembuat senjata bahkan ialah pemilik industri senjata yang terbesar di Tumapel masa itu. Ia bersinggungan dengan Arok ketika Arok meminta dibuatkan senjata untuk pasukan pemberontaknya. Si Arok di sini dikisahkan adalah pemuda yang cerdas. Ia menguasai sansekerta meskipun berasal dari kaum sudra. Ia paham masing-masing ajaran Buddha, Hindu Siwa dan Hindu Wisnu. Ia juga paham sejarah seperti masa Erlangga dan turunannya. Namun meskipun cerdas, Arok yang memiliki nama asli Temu juga digambarkan licik dan culas untuk mencapai tujuannya.
Sosok Dedes dan Umang juga ditampilkan sebagai karakter yang menonjol. Dedes yang cerdas memiliki andil yang besar dalam kudeta. Ia remaja yang cantik dan kemudian jatuh cinta pada Arok, namun ia juga digambarkan sebagai sosok yang angkuh dan memandang kaum Brahmana Siwa adalah warga kelas tertinggi di lingkungan Tumapel. Sementara Umang memiliki jalinan yang erat dengan Arok karena ia adalah adik angkat Arok yang selalu setia mendampinginya.
Membaca karya Pram satu ini perlu bersabar karena banyak istilah Jawa dan sansekerta yang jarang digunakan, seperti istilah agama, ugami, yang rupanya maknanya agak bergeser dengan makna istilah tersebut saat ini. Begitu juga perbedaan antara tantrayana, Hindu Siwa, dan Hindu Wisnu yang mungkin sulit dipahami oleh pembaca di luar pemeluk agama Hindu. Namun begitu Anda mulai memahami situasi dan konflik dalam kisah ini, Anda akan menyadari bahwa ada perulangan berbagai kejadian atau karakter tokoh yang mirip dengan peristiwa atau karakter tokoh masa kini.
Ulasan juga tayang di:
https://dewipuspasari.net/2014/06/26/... -
Arok Dedes ini adalah upaya Pramoedya Ananta Toer dalam menuturkan siasat politik tanah jawa yang telah ada sejak dulu, dilakukan Arok terhadap Tunggul Ametung, tanpa diiming-imingi kisah mistik keris yang sering dikisahkan selama ini.
Di dalamnya bukan hanya Arok sebagai tokoh liciknya, kubu-kubu lain saling mencoba mendapatkan kekuasaan atas kekuasaan Tumapel, dari kubu Mpu Gandring sudra pembuat senjata, Belakangka sebagai wakil kerajaan Kediri yang korup, Hyang Lohgawe sebagai brahmana Syiwa yang disegani tanah Tumapel, Kebo Ijo sebagai satu-satunya ksatria di tanah tumapel, bahkan Dedes sendiri sebagai seorang prameswari. Jatuhnya Tunggul Ametung adalah kelalaiannya sebagai pemimpin, tak pandai berpolitik, dan kelemahannya adalah umpan dari berbagai tangan untuk mencoba merengutnya dari kekuasaan, bisa dibilang kejatuhannya sebenarnya adalah usaha kolektif.
Pada cerita ini, Ken Arok kebetulan adalah yang orang yang paling siap dalam perang siasat, dia telah membuat pasukan secara diam-diam, mengumpulkan senjata, didukung oleh para brahmana, bahkan sang prameswari sendiri. Dia telah dibuat mantap terlebih dahulu dari berbagai hal, sehingga puncaknya kita telah paham bagaimana dia mampu menandingi perang siasat. menjatuhkan Tunggul Ametung tanpa mengotori tangannya sendiri, bahkan (tanpa perlu diceritakan di novelnya) menjatuhkan kerajaan Kediri setelahnya.
Menariknya adalah bagaimana Pramoedya juga mencoba menonjolkan tokoh Dedes. Dia bukan hanya cliche sosok 'damsel in distress' seperti kebiasaan kisah kepahlawanan Arok dituturkan. Kita diberi masuk pikiran Dedes, dan memahami sisi kemanusiaan Dedes, bahkan lebih manusiawi dari tokoh Arok, dan bagaimana Dedes yang diceritakan sebagai Brahmani yang diculik mampu memiliki kuasa bahkan memanipulasi pasukan Tumapel, menikmati kekuasaan yang sempat berada di tangannya. Akhir buku mengisahkannya dengan ketidakrelaan untuk lepasnya kekuatan, yang gw pikir dibuat untuk melatarbelakangi konflik setelahnya (darah yang tumpah dalam suksesi kerajaan Tumapel/Singasari).
Selain membicarakan tokoh, Arok Dedes ini adalah penuturan sejarah yang asik juga menarik. Dari budaya yang dicoba dituturkan pada masa itu, pemahaman mengenai keilmuan agama, kasta dan dampaknya pada perpolitikan, serta kebijakan Airlangga/Erlangga yang mengakar pada struktur kekuasaan dan dampaknya pada problematika para Brahmana. Walau belum tentu benar seratus persen dan mampu dikritisi sana sini, membaca Arok Dedes sedikit atau bahkan banyak menambah wawasan akan gambaran jawa pada masa lalu (tentu dalam interpetasi penulis).
Buku ini bukan tanpa kekurangan. Ada banyak kisah-kisah sampingan yang kurang matang dan diselesaikan dengan agak dipaksakan, seperti kisah Oti dan suaminya sebagai budak juga Rimang, yang padahal merupakan tokoh-tokoh pembuka cerita. Pembangunan karakter, konflik yang terlalu lama dan menghabiskan setengah buku sendiri. Arok juga diceritakan sebagai sosok yang terlalu sempurna, digambarkan sebagai seorang putra Brahma, titisan Wisnu, dan jelmaan Syiwa, tokoh Arok tampak terlalu idealis tanpa kekurangan sedikitpun, yang walau tanpa intrik-intrik mistik di dalamnya, doi tampak terlalu "mendewai" cerita. Pada permainan siasat, dia selalu berada di puncak siasat tanpa suatu problematika berarti, pun ada di antara komplotan dirinya yang membelot, tokoh Arok selalu memiliki kuasa terhadap masalahnya. Hal ini membuat tokoh Arok sebenarnya menjadi tidak menarik.
Secara keseluruhan, gw suka banget Arok Dedes ini. Cerita siasat yang menarik, penceritaan yang mengalir, ini salah satu buku tebel yang mampu gw selesaikan dengan cepat. Ada persoalan-persoalan universal yang penulis coba angkat walau masih membicarakan kebijaksanaan ala agama kerajaan saat itu dan pada konteksnya yang jaman dulu, buku ini gak kehilangan relevansi nilai aktualnya. Dan mengingat kekurangannya juga, rasanya gak aneh ketika bintang cerita ini sesungguhnya adalah Dedes. Segala kegundahan nyata, beserta segala kekurangannya, dan tampak kekalahannya dan kehilangan segala-galanya di tengah riuh kemenangan adalah penutup terbaik bagi cerita ini.