Title | : | Gadis Pantai |
Author | : | |
Rating | : | |
ISBN | : | - |
Language | : | Indonesian |
Format Type | : | Paperback |
Number of Pages | : | 232 |
Publication | : | First published January 1, 1962 |
Awards | : | Kiriyama Prize Fiction (2002) |
Gadis Pantai Reviews
-
Ini kali pertama betul2 membaca mengenai priyayi, ia jadi suatu goncangan yang menyedarkan mengenai bentuk perbudakan dan perhambaan sesama manusia yang boleh muncul dalam pelbagai bentuk. Apabila hati dan perasaan Gadis Pantai sebagai seorang 'hamba' dihidangkan sebelah-menyebelah dan sedekat berkongsi kamar dengan priyayi pantai yang 'bangsawan', perbandingan itu memberi kesan dalam sekali.
Apa ada makna kesenangan lagi apabila hati sudah harus tunduk serendah itu kepada sesama manusia, jadi tak ada ertinya hidup di rumah besar, dilayani bagaikan puteri bidadari, dihiasi emas, mutiara dan kain2 indah yang dianggap hadiah. Ya, apa gunanya itu semua apabila jiwa pun tak layak dimiliki diri sendiri? Monolog2 jiwa Gadis Pantai pun mengalah kepada takdir derita yang dilukiskan masyarakat untuknya. Kejam dan penuh hukuman, di sebalik limpah materi dan mulus bicara.
Cuma satu hal yang mengganggu, adalah sikap2 menjadi Tuan setuan priyayi itu, digambarkan muncul dalam diri orang yang menganggap dirinya benteng agama, meneduhkan para santri, mengisi waktu dengan kitab hadis dan sederet tafsir, menjalani khalwat dan ahli masjid. Apakah yang cuba diberitahu Pramoedya mengenai agama di sini? Apakah ini khusus kebangsawanan Indonesia dalam sudut pandang agama mereka? Ini harus diteroka lebih jauh lagi untuk kefahaman diri sendiri.
Buku ini juga membuat diri merenung mengenai sejarah kebangsawanan di negara sendiri, sejauh mana ia telah mewujudkan jiwa budak dalam kalangan orang kita. Bagaimana sebenarnya sistem kebangsawanan itu berjalan di negara sendiri suatu masa dulu? -
A heartbreaking story based on the author's own grandmother's early life.
At the turn of the 20th century, the protagonist, a 14-year-old girl from a fishing village in the northern coast of Java, is taken to the house of a high official (he is referred to as "Bendoro"). Her parents agree to a marriage arrangement, thinking that it will improve the life quality of their daughter and also probably because they are afraid of Bendoro. This is just a "practice marriage" for Bendoro. Actually, he can only officially marry a woman who is from the same social class.
The protagonist doesn't understand this and she doesn't understand the concept of "class". For her, the free and playful life she lived in the fishing village is more meaningful than the isolated life she leads in the fancy house. She is taken care of by an old female servant who grows to love the girl and explains to her "the situation" as best as she can. The novel is interspersed with some tragic and some funny moments until it reaches an abrupt ending.
Pramoedya Ananta Toer is often hailed as the greatest Indonesian writer. With this novel he criticized the feudal and inhumane practices of the Javanese upper class. I found the story very insightful especially in regards to the mindset of the "wong cilik" ("the little people" in Javanese). All of the servants in Bendoro's house accepted that their fate was to be part of the lower class. I also enjoyed the conversations between the girl and the old female servant.
"Perempuan nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki baiknya kita."
"Mengapa orang pada suka emas?"
"Karena, ya, karena. Yah, apa mesti sahaya katakan? Karena dengan emas . . . karena . .. ya, supaya dia tidak kelihatan seperti sahaya, supaya tidak sama dengan orang kebanyakan....Ya, orang kebanyakan seperti sahaya inilah, bekerja berat, tapi makan pun hampir tidak."
"Kau mengabdi pada tanah ini, tanah yang memberimu nasi dan air. Tapi para raja dan para pangeran dan para bupati sudah jual tanah keramat ini pada Belanda. Kau hanya baru sampai melawan para raja, para pangeran dan para bupati. Satu turunan tidak bakal selesai, man. Kalau para raja, pangeran dan bupati sudah dikalahkan, baru kau bisa berhadapan pada Belanda. Entah berapa turunan lagi. Tapi kerja itu mesti dimulai."
"Nasib kitalah memang, nak. Nasib kita. Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi." -
Sahaya ini orang kecil, orang kebanyakan, orang lata, orang rendah, kalaupun jatuh—ya sakit memang, tapi tak seberapa. Bagi orang atasan ingat-ingatlah itu, Mas Nganten, tambah tinggi tempatnya tambah sakit jatuhnya. Tambah tinggi, tambah mematikan jatuhnya. Orang rendahan ini, setiap hari boleh jatuh seribu kali, tapi ia selalu berdiri lagi. Dia ditakdirkan untuk sekian kali berdiri setiap hari (h. 98)
orang bawahan selalu lapar, karena itu matanya melihat segala-galanya, kupingnya dengar segala-galanya dan hatinya seakan segala-galanya, sedang jantungnya deburkan darah buat segala-galanya (h.105)
kau mengabdi pada tanah ini, tanah yang memberimu nasi dan air. Tapi para raja dan para pengeran dan para bupati sudah jual tanah keramat ini pada Belanda. Kau hanya baru sampai melawan para raja, para pangeran, dan para bupati. Satu turunan tidak bakal selesai, man. Kalau para raja, pangeran, dan bupati sudah dikalahkan, baru kau bisa berhadapan pada Belanda. Entah berapa turunan lagi. Tapi kerja itu mesti dimulai.(h.121)--> Laik dis! :) -
The Girl from the Coast is loosely based on the experiences of
Pramoedya Ananta Toer's grandmother. The fourteen-year-old lovely girl from a fishing village became the wife of a nobleman, the assistant to the Regent of Rembang. Her parents thought they were giving her a better life in this arranged marriage. Although the girl was surrounded by riches, she led a life of loneliness in the Bendoro's large house. She found out she was just a "practice wife" or a concubine since a nobleman must marry within his own social class. She is referred to as "the girl" throughout the story which seems fitting since she is treated like a piece of property, rather than as an individual. The kindness of an older woman servant helps the girl navigate her way in the household. Her story is written simply but emotionally, almost like a fable.
The story took place during the Dutch colonial rule of Java (Indonesia) around 1900. The brutality of the Dutch occupants is described by many characters, especially the forced labor to build a railroad line. The tale also gives us a look into the lives of the men and women in the fishing village where the fishermen risk their lives in the sea to put food on the table.
The author had written a trilogy about his family's history and the growth of the nationalist movement in Indonesia. This first book is the only one that survived. The last two books were destroyed by the Indonesian military. An epilogue was added on to the English version of this novel to give closure to the girl's story. The author spent more than seventeen years imprisoned by both colonial and independent governments for his political activity. -
Sebuah lagi buku Pram mengenai penindasan orang bangsawan ke atas penduduk kampung. Namun, kali ini watak bangsawan yang dibawakan adalah watak seorang yang dikatakan kuat agamanya (Bendoro). Terasa tidak percaya bila golongan agama juga mempunyai "perempuan simpanan".
Dikatakan telah dinikahi (berwakilkan keris, namun layanan ke atas seorang isteri tidak diterima selayaknya dari suaminya. Walaupun dia disanjung keterlaluan sebagai seorang isteri Bendoro oleh pelayan-pelayannya dan orang kampungnya. Gadis pantai tidak diiktiraf sebagai isteri oleh Bendoro sendiri(Bendoro: saya belum punya nyonya).
Hanya isteri dari kalangan bangsawan saja yang akan diperkenalkan dan kerabat Bendoro melakukan pelbagai cara untuk membuat gadis pantai diceraikan. Namun akhirnya gadis pantai diceraikan 3 bulan selepas melahirkan seorang anak perempuan, dan dihalau secara hina tanpa dibenarkan membawa anaknya bersama.
Cerita ini sebenarnya belum tamat, kerana digambarkan bahawa gadis pantai merancang sesuatu, namun khabarnya sambungan buku ini telah dimusnahkan. -
Saya membaca buku ini dalam Bahasa Indonesia.
Saya jarang melihat buku Indonesia dilengkapi dengan trigger warning atau context warning. Buku ini membahas kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan, dan pernikahan di bawah umur.
Buku ini seharusnya merupakan trilogi. Sayangnya, dua sisanya diberangus.
Buku ini bercerita tentang Gadis Pantai, gadis berusia 14 tahun, yang bahkan belum mengalami menstruasi, yang dinikahkan oleh Bendoro, seorang pembesar di kota. Gadis Pantai bergelar Mas Nganten, atau selir. Ia bukan dinikahkan secara resmi, hanya untuk memenuhi hawa nafsu Bendoro sebelum akhirnya menikah dengan orang yang sederajat.
Karena kemiskinan yang berlarut-larut, orang tua Gadis Pantai memutuskan menikahkan anaknya kepada Bendoro. Mereka berharap bahwa suatu hari nanti, Gadis Pantai bisa naik kasta menjadi seorang priyayi. Sayangnya, impian itu terkubur begitu saja ketika Gadis Pantai melahirkan. Bayinya baru 3 bulan, kemudian ia diceraikan begitu saja.
Saya suka bagaimana Pram menceritakan kehidupan kampung nelayan yang dianggap najis, tidak berkelas, dan membawa banyak dosa ternyata lebih memanusiakan manusia. Suami istri mengobrol, bekerja bersama, tidak ada perbedaan kelas si kaya dan si miskin. Kalau ada ikan besar, seluruh warga kampung berpesta dan makan bersama. Sedangkan di kota, wanita dianggap bodoh dan tidak boleh mencampuri kehidupan suami.
Ada bagian dimana Bendoro mengirimkan pesan kepada Gadis Pantai agar kampungnya dibangun surau dan diberikan fasilitas guru ngaji dan guru Bahasa Arab. Bendoro bilang bahwa orang yang tidak mengenal Al-Qur'an akan masuk neraka. Bendoro juga digambarkan sebagai orang yang beribadah tepat waktu dan sering membaca tafsir agama. Padahal, ia sendirilah yang memberikan neraka kepada kehidupan banyak orang lain.
Perbudakan dianggap sebagai keadaan normal.
"Sahaya takut, benar-benar takut, Mas Nganten. Takut khilaf". Dan dengan suara masih juga gemetar, ia meneruskan, "Sahaya adalah sahaya. Kalau tidak ada sahaya, mana bisa ada Bendoro? Takdir Allah Mas Nganten. Kakek sahaya memang bukan sahaya tadinya. Anak-anaknya tak ada yang bisa seperti itu. Dan sahaya ini. Inilah sahaya yang ditakdirkan melayani Bendoro, melayani Mas Nganten." -hal 52
Buku ini juga membahas berbagai macam kekerasan yang dialami wanita. Ada cerita mengenai kasus kerja rodi yang disiksa karena kelelahan, ada juga yang diceritakan bahwa ia menganggap dirinya pantas untuk direndahkan karena wanita boleh dipukul.
Jujur, banyak poin yang membuat saya sangat sedih karena masalah ini bukan hanya sebagai kasus fiksi di novel, tapi juga banyak terjadi di kehidupan nyata. Buku ini terinspirasi dari Nenek Pram, yang mana latar kejadiannya lebih dari 100 tahun yang lalu. Tapi, apakah 100 tahun sudah bisa memperbaiki keadaan?
Untuk kamu yang ingin mengetahui feodalisme lebih dalam, buku ini cocok untuk dibaca. Saya sarankan, jangan membaca buku ini dalam keadaan sedih karena buku ini mengandung banyak kejadian tersirat. -
Saya terus memikirkan apa gerangan yang akan dilakukan oleh Gadis Pantai selanjutnya. Balas dendam kepada Bendoro yg menceraikan atau menculik anaknya sendiri atau bergabung dalam aksi huru hara.
How men can be so cruel to women?
Saya baru sadar bahwa didunia ini ada laki-laki yang demikian ingin berkuasa atas segalanya. Sejak tinggal di Riyadh Saudi Arabia, saya hampir tidak percaya atas pandangan dan perlakuan laki-laki terhadap wanita. Wanita seperti hanya sebagai barang hiasan dilemari pajangan, kalau ada barang baru datang yg lama disingkirkan, kalau bosan ditinggalkan, kalau kiranya mengganggu dihancurkan. Kalau laki-laki inginkan dianggap mahluk kuat dan selalu menggunakan akal sehat, bagainama akal sehat mereka dipakai kalau nyatanya laki-laki yang katanya ingin mengajarkan pada wanita atau istrinya tentang agama Islam dan menjalankan sunnah serta hadist ..perlakuannya sama sekali tidak mendekati. Bagaimana bisa laki-laki selalu mengatasnamakan Suami, Kepala Rumah Tangga, Melindungi Wanita, Mendidik Wanita, tapi apa yang dilakukannya jauh dari ajaran agama. Dari membaca dan melihat, memang dari jaman Nabi, jaman Belanda spt dlm buku Gadis Pantai ini, sampai jaman sekarang ini pun , laki-laki yang selalu menyakiti wanita menyebut dirinya ingin selalu merasa 'menyayangi wanita' padahal tidak. Pandangan laki-laki ekstrem yang pada hari ini masih banyak rupanya hanya karena mereka merasa mahluk Tuhan paling agung di muka bumi. I am sick of it, terlalu banyak wanita menjadi korban laki-laki yang sok alim dan sok berkuasa. Saya sempat bayangkan kalau saya jadi Gadis Pantai atau wanita arab...???
Laki-laki yang mulia adalah laki-laki yang paling lembut terhadap wanita atau istrinya.
-
GADIS PANTAI dikarang oleh Pram mulai tahun 1962-1965 ketika di penjara Pulau Buru ketika dalam tahanan Orde Baru (sila bukak buku sejarah).
Ia karya Trilogi. Ini bahagian pertama yg berjaya diselamatkan secara kebetulan apabila seorang pelajar PHD University of Australia mengkaji Gadis Pantai untuk tesisnya. Apabila semua bahagian Gadis Pantai dimusnahkan oleh Angkatan Barat, pelajar tersebut telah mengirimkan Gadis Pantai bahagian I ini kepada Pram secara mikrofilem. Dan inilah yang kita nikmati....unfinished stories. Kisah ini berdasarkan riwayat hidup nenek penulis. Semi fiksyen. Setengahnya nyata...setengahnya rekaan penulis.
Ada rujukan mengatakan akhirnya Gadis Pantai berjaya menemui anaknya yang dipisahkan oleh si suami. Si Gadis Pantai meninggal dalam perjalanan dek kerana keletihan ulang alik menjenguk anak cucunya.
Ini karya agung. Banyak lapisan yg perlu diselak satu persatu biarpun hanya setebal 270 m/s. Rasanya aku belum layak untuk memperincikan setiap helaian tersebut.
Bacalah...mungkin kau akan temui rahsia kenapa naskah ini sampai perlu dilenyapkan oleh pihak pemerintah Indonesia ketika itu. -
Libro muy revelador de cómo era la sociedad javanesa del siglo XIX, compuesta por estratos sociales muy separados entre si, y con grandes diferencias entre las ciudades y los pueblos pequeños.
En él, se nos relata la vida de la protagonista: una joven humilde, nacida en un pequeño pueblo de pescadores, cuya existencia cambia radicalmente cuando la casan con un rico aristócrata de la ciudad.
Obligada a aislarse totalmente de su familia y vecinos, y a residir en un lujoso palacio con sirvientes, su vida confinada en esta "jaula de oro" se vuelve solitaria, triste y llena de conspiraciones por parte de la gente que la rodea.
Pasa a ser una más de las posesiones de su marido, con nulo poder de decisión y con el único fin en la vida de satisfacer sus deseos.
Un libro duro, pero así mismo, con una historia de superación personal muy fuerte. Ya que la joven aprende de su experiencia vital, y llega a sobreponerse a la misma hasta conseguir decidir su propio destino. -
It's hard to explain how something so plainspoken and straighforward can be so opaque. Maybe the reason is that the girl of the title herself understands so little of what exactly is expected of her, she has to learn every artificial response in the alien culture that she has been brought to. And then when she
returns to her village there is violence and coercion that is also shadowy and bewildering. But these events in her village form a kind of reversal, a kind of retaliation against that feudal governing class that strip the girl of the one thing she treasures, her own daughter.
I wondered about the translation, as sometimes words jar, in particular the colloquial expressions that are probably meant to render the vernacular of the fishermen, but merely sit on the surface like a piece of dirty foam. And I always felt as if I was outside of this, it was affecting, but in an intellectual way rather than emotionally.
The epilogue explains that this was meant as the first in a trilogy, and tells us that the story is based on Toer's own family. -
"Nasib kitalah memang, nak. Nasib kita. Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi."
Kisah ini menampilkan secuplik wajah feodalisme jawa. Wajah yang bisa penuh pretensi keagungan tradisi dan kitab suci. Di sisi lain, wajah ini juga bisa begitu dingin dan keji menjijikkan. Tapi memang begitulah tata sosial jaman feodal. It takes two to tango. Adanya golongan priyayi dengan keagungannya itu tidak akan mungkin terjadi tanpa golongan jelata yang 'terpaksa' menerima nasibnya. Sebuah sikap penerimaan yang terbangun oleh rasa bersalah (self-guilt) dan penghiburan bahwa seburuk apapun yang telah terjadi mungkin itulah yang terbaik. Berserah diri pada nasib.
Gaya penulisan yang sederhana, detil dan menghanyutkan. Sepanjang cerita kita bahkan tidak perlu tahu nama tokoh utama. Dia dipanggil sebagai Gadis Pantai sepanjang cerita, yang ternyata tidak terasa janggal. Sayang sekali lanjutan cerita ini lenyap ditelan opresi kekuasaan Suharto. Sebuah contoh feodalisme priyayi juga? -
Pram secara cerdas mengisahkan kejadian tragis yang menimpa neneknya sendiri. kisah ini tragis, dimana si gadis pantai harus pasrah menjadi budak seks dari kanjeng prabu yang sangat berkuasa pada waktu itu.
hingga pada akhirnya secara kejam, si gadis pantai dipisahkan dengan anaknya. dan akhirnya meninggal dalam perjalanan..sendiri, tak dikenali.
karena pada masa orde baru, gadis pantai jilid 2 telah dimusnahkan maka cerita gadis pantai ini mengambang.
meskipun dari Pram akhirnya diketahui bahwa setelah puluhan tahun berlalu, akhirnya gadis pantai (baca: sang nenek) bertemu kembali dengan anaknya (baca: ibunda Pram. tetapi si gadis pantai tetap pada prinsipnya yang tidak ingin merepotkan orang lain sehingga ketika diajak untuk menetap bersama keluarga Pram, sang nenek menolak dan memilih untuk pulang balik mengunjungi sang anak dan cucu2nya. hingga akhirnya karena keletihan, sang nenek meninggal seorang diri dalam perjalanan menuju gubuknya. -
Andai buku ini benar-benar trilogi... Sayangnya, semua berubah ketika vandalisme Angkatan Darat menyerang.
-
Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini...
Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi...
Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang
berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan."
Gadis Pantai adalah perempuan belia yang dinikahkan dengan Bendoro (KBBI: majikan;tuan) dari golongan priyayi. Pernikahan itu menaikkan derajatnya, dari orang rendahan yang awalnya hidup susah di pinggir pantai, menjadi orang atasan yang serba dilayani oleh para bawahan. Ia harus menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang berubah total, bahkan harus menyesuaikan kembali ketika ia berkunjung ke kampungnya. Namun, keadaannya lagi-lagi berubah ketika ia melahirkan seorang anak–anak perempuan.
Buku "Gadis Pantai" ini mengisahkan feodalisme di tanah Jawa pada abad ke-20 (ditandai dengan disebutkannya Jalan Raya Pos dan kematian R.A. Kartini), ketika priyayi merupakan golongan elit yang berkuasa dan dihormati–ketika seorang manusia menghamba kepada manusia lain. Priyayi dianggap sebagai pembesar yang dapat menghasilkan para bangsawan yang agamais dan terdidik. Namun, dengan hierarki yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat kelas bawah, priyayi dapat bertindak semena-mena pada "orang bawahan" tersebut, termasuk menjadikan perempuan gundik atau selir, kemudian membuangnya kapan pun sang priyayi bertitah.
"Lantas apa yang dipunyai perempuan kota?"
"Tak punya apa-apa, Mas Nganten kecuali...."
"Ya?"
"Kewajiban menjaga setiap milik lelaki."
"Lantas milik perempuan itu sendiri apa?"
"Tidak ada, Mas Nganten. Dia sendiri hak milik lelaki." (hal. 87–88)
Buku ini juga kental dengan budaya patriarki pada masa itu. Perempuan akan naik status sosialnya apabila menikahi priyayi. Namun, apalah arti derajat sosial, apabila ia dikawinkan hanya untuk melayani Bendoronya, dijadikan selir dan mesin pencetak anak, kemudian menjadi janda apabila melahirkan anak perempuan. Meskipun dipanggil dengan sebutan "Bendoro Putri", Gadis Pantai yang datang dari kampung tetap saja dapat direndahkan oleh kaum bangsawan yang terlahir di kota. Mengapa? Bacalah sendiri.
"Dan mereka begitu takutnya kalau terpaksa menghormati orang-orang kampung." (hal. 156)
Saya membaca buku ini tanpa membaca sinopsisnya terlebih dahulu. Ternyata, isi buku ini sudah dirangkum dari awal sampai akhir di sinopsisnya. Seandainya saya membaca sinopsisnya sebelum membaca isi bukunya, mungkin pendapat saya akan tetap sama: buku ini cukup detail–detail akan kegetiran masa lampau. Sepanjang membaca buku ini, saya merasa alurnya tidak lambat, tidak juga terlalu cepat.
Buku ini terdiri atas empat bagian. Dalam bagian-bagian tersebut, ada beberapa gap waktu yang membuat saya bertanya-tanya, apa saja yang terjadi dalam gap waktu tersebut. Kemudian saya menganggap memang tidak ada "sesuatu" yang terjadi dalam rentang waktu tertentu, karena konflik kehidupan Gadis Pantai pun sudah sangat berat dengan adanya gap waktu (kalau ditulis dengan sangat sangat detail, bisa-bisa novel ini jadi 500 halaman). Dengan detail yang ada, saya rasa itu sudah cukup.
Banyak kekejaman feodalisme lain yang diungkap dalam buku ini (tidak hanya dari kisah Gadis Pantai saja), yang dapat dilihat dari kisah bujang (mBok), kusir, juga Mardinah. "Gadis Pantai" ini buku yang depressing, membuat geram akan feodalisme dan patriarki di masa lalu–ketika golongan manusia hanya ada "Bendoro" dan "Sahaya". Sayangnya dua buku lanjutannya dihilangkan, sehingga akhir dari buku ini mengambang.
+ Pada awalnya, saya merasa kesulitan untuk memahami isi novel ini karena gaya bahasanya. Namun, lama-kelamaan, saya cukup nyaman membacanya. Terlebih, buku ini benar-benar page turning. -
Gadis Pantai berkisah tentang seorang gadis muda yang lahir dan tumbuh di kampung nelayan. Namanya Gadis Pantai. Ia baru berumur 14 tahun ketika ia "dinikahi" Bendoro, seorang pembesar santri dan juga seorang Jawa. Ia menjadi Mas Nganten, tidak bedanya dengan seorang gundik. Bendoro datang pada Gadis Pantai hanya jika ia membutuhkan seks.
Seperti yang tertulis di sampul belakangnya, roman ini memang menusuk feodalisme Jawa yang tak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan tepat langsung di jantungnya yang paling dalam. Bagaimana tidak, Gadis Pantai dididik untuk patuh dan takluk dengan Bendoro. Bendoro disembah. Ia ditakuti. Mengapa terhadap suami sendiri ia harus takut dan menyembah? Mengapa ia selalu menjawab suaminya dengan, "Sahaya, Bendoro."?
Gadis Pantai sudah membius saya dari halaman pertama. Ia seperti menarik saya masuk ke dalam dan melihat sendiri suasana Jawa pada saat itu. Nuansa feodalismenya sungguh terasa. Membuat hati saya sakit dan meringis melihat Gadis Pantai diperlakukan semena-mena oleh Bendoronya. Gadis Pantai tidak dianggap istri. Ia dianggap hanya sebagai pemuas nafsu seks. Yang ketika Bendoro bosan, ia bisa mencari Mas Nganten yang baru. Atau ketika Mas Nganten-Mas Ngantennya sudah melahirkan anak-anak dari Bendoro, maka mereka akan segera dicerai dan Bendoro akan kembali mencari perempuan kampung lainnya untuk dijadikan "istri".
Gadis Pantai pun tak luput dari keputusan pahit Bendoro. Bendoro yang tadinya digambarkan selalu berkata halus dan lembut, dalam sekejap langsung berubah menjadi murka dan jahat kepada Gadis Pantai. Hanya karena Gadis Pantai melahirkan bayi perempuan! Bendoro juga langsung menceraikannya. Ia membuang Gadis Pantai. Menyuruhnya untuk kembali ke kampungnya dan memerintahkannya jangan pernah kembali ke kota. Ia memisahkan Gadis Pantai dari bayi perempuannya sendiri.
Sangat menyakitkan. Pun menyedihkan. Di akhir halaman ketika saya sudah selesai membaca paragraf terakhir, ada rasa ketidakpuasan dalam diri saya. Bukan, saya bukannya tidak puas dengan Gadis Pantai. Saya tidak puas karena saya ingin cerita ini terus berlanjut. Karena seperti Penerbit Lentera Dipantara sudah tulis di pengantarnya:Gadis Pantai adalah roman yang tidak selesai (unfinished). Sejatinya, roman ini merupakan trilogi. Disebabkan oleh vandalisme Angkatan Darat, dua buku lanjutan Gadis Pantai raib ditelan keganasan kuasa, kepicikan pikir, dan kekerdilan tradisi aksara. (halaman 5)
Rupanya tidak hanya golongan ekstremis yang takut dengan buku-buku yang beredar sehingga mampu membuat penerbit besar membakar buku terbitannya sendiri, Pemerintah pun bisa takut. Tapi, ini cerita lama sebenarnya. Dan ketakutan ini memberikan dampak yang besar. Kita kehilangan kesempatan untuk membaca dua cerita lanjutan dari Gadis Pantai. Sungguh sebuah kerugian yang tidak ternilai.
Pramoedya Ananta Toer sudah tidak diragukan lagi berhasil mengkritik feodalisme yang pernah terjadi di Jawa. Feodalisme ini menyakiti perempuan. Sayangnya, feodalisme itu tidak berhenti dan tidak ikut terkubur dalam-dalam dengan Bendoro-bendoro jahat itu. Hingga saat ini kita masih bisa melihat "feodalisme" dimana-mana. Ketidakadilan, laki-laki yang merasa lebih berkuasa dari perempuan, kejahatan terhadap perempuan. Di seluruh penjuru bumi ini dapat kita dengar berita kekerasan terhadap perempuan. Beruntunglah kita, perempuan, yang tidak lahir di saat feodalisme masih mengakar kuat dan tidak lahir di tempat yang masih merendahkan perempuan. -
Membaca buku ini spt menonton The Fellowship of The Ring tanpa dilanjutkan dengan The Two Towers dan The Return of The King. Buku ini memang roman yang tidak selesai. Harusnya merupakan buku pertama dari sebuah trilogi, tapi sayang 2 buku lanjutannya 'hilang'.
Gadis Pantai berkisah ttg gadis cantik yang lahir dan tumbuh di kampung nelayan. Kecantikannya membuat gadis malang berusia 14 th itu diperistri oleh seorang pembesar. Dia dan keluarganya tentu tdk bisa menolak. Maka masuklah Gadis Pantai ke dalam kehidupan priyayi yang baginya adalah spt neraka.
Buku ini banyak menceritakan kehidupan di jaman feodal. Bgmn sunyinya suasana rumah priyayi, tidak ada tawa canda, kecuali tawa sang Bendoro tentu saja. Bgmn hubungan antara majikan dan bawahan, bgmn rendahnya posisi perempuan saat itu, dll.
Coba lihat percakapan antara Gadis Pantai yg lugu dengan bujangnya berikut ini (yang saya ingat), ketika si Mbok tiduran di lantai menemaninya:
"Mbok, apa Mbok selalu duduk dan tidur di bawah ?"
"Sahaya Mas Nganten. Dosa kepada Bendoro dan kepada Allah, orang seperti sahaya jika lebih tinggi dari lutut Bendoro"
Ketika 2 tahun kemudian Gadis Pantai melahirkan anak perempuan, beginilah situasinya:
Sang Bendoro akhirnya menengok ke kamar Gadis Pantai, berhenti di pintu kamar.
"Kudengar perempuan bayimu, benar ?"
"Sahaya Bendoro"
"Jadi cuma perempuan ?"
"Beribu ampun Bendoro"
Dan Sang Bendoro pun pergi, menutup pintu.
Mengerikan. 'Cuma' perempuan. Bahkan sang ibu harus minta maaf karena melahirkan bayi perempuan.
Bicara ttg feodal, saya jadi teringat buku Pram yang lain (biografi): 'Panggil Aku Kartini Saja'. Dalam buku itu ada cerita, awal abad 20, pesawat telepon mulai digunakan di Jawa, trmsk di Tegal. Pangeran Tegal (bupatinya) meminta penarikan fasilitas tsb dari daerahnya. Sang asisten residen bertanya kenapa, bukankah telepon mempermudah kegiatannya. Jawab sang pangeran Tegal:
"Memang betul, tapi jika saya berbicara dengan seorang asisten wedana atau amtenar yang sederajat dengannya, saya tidak tahu apakah dia menyembah saya atau tidak"
Gadis Pantai berakhir dengan pengusiran dirinya oleh Sang Bendoro, stlh melahirkan anak. Sang bayi dirampas darinya. Sebenarnya itu bukan anak pertama Bendoro, sudah ada bocah2 lain hasil dari pernikahannya dengan gadis2 spt gadis pantai. Anak2 itu tetap di rumah sang priyayi, ibu mereka entah kemana.
Buku yang menarik. Tidak bosan saya membacanya. Penasaran pgn tau lanjutannya. Saya sptnya terkena sihir Pram sejak membaca Tetralogi Buru. -
Sempat ke pending lama banget karena gk mood, eh begitu mood menghampiriku lamgsung bo' gk bisa berhenti untuk membaca kisah ini.
Gadis pantai, di usianya yang masih sangat belia, yang belum memahami maksud dari kehidupan harus memulai hidupnya menjadi istri beli-an untuk seorang Bendoro. Suka dengan karakter Si Gadis Pantai, yang semakin berkembang menjadi wanita yang kuat dan berpendirian seiring dengan waktu. Kesssseeeellll sama bendoro, salahkan seorang perempuan melahirkan seorang perempuan. Bendoro juga tidak akan ada di dunia ini tanpa seorang perempuan. Arrrrgggghhh pengen bejek-bejek itu Bendoro dech, sok berkuasa banget seh.
Sayang trilogi ini harus berakhir di sini karena hilangnya 2 naskah lanjutan, padahal penasaran dengan kehidupan Gadis Pantai di Blora, apakah Gadis Pantai membalas dendam kepada Bendoro dan mengambil anaknya kembali? Kalau gw pengennya Gadis Pantai membalas dendam dan membuat bendoro bertekuk lutut dan merebut anaknya kembali.
Sebel..sebel..sebel.... -
Membaca buku - buku Pram membuat saya bersyukur tidak dilahirkan pada saat saat perempuan bisa di"beli" dengan "derajat" atau apapun itu. Gadis Pantai (nama karakter) harus merelakan usia mudanya untuk dipaksa "mengabdi" pada seorang bendoro di Rembang, naasnya meskipun Gadis resmi mendapat panggilan "bendoro putri" ia tetaplah seorang nyai yang tidak diakui keberadaannya karena mengawini seorang nyai adalah "latihan" bagi bendoro sampai ia mendapatkan seorang istri dari kelas yang sama. Yang lebih getir lagi, Gadis harus rela diusir setelah melahirkan bayi perempuan.
Feodalisme sangat detail dalam buku ini, sayangnya meskipun buku ini sebenarnya adalah trilogi, kedua buku setelah Gadis Pantai di banned oleh TNI-AD. Keberadaan nyai disini juga mengingatkan pada Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia, hanya saja yang menggundikkan Gadis Pantai adalah pria dari bangsanya sendiri, tapi penderitaannya bisa sebanding dengan digundikkan oleh bangsa kolonial. -
Okay, I'm not entirely sure I'm reviewing the right book, as the one I've read was a translation. But I think this is the right book.
It was about a girl who becomes a "practice wife" for a rich young nobleman. After she has a child, he sends her away so that he can marry a noble lady. He takes her child from her. Some interesting things from this book: 1) She never wanted to be noble. She always wished to go back to her village, despite being showered with luxuries. 2) She is never named. She is the girl from the coast to everyone, including to herself.
I enjoyed reading this, but it is frustrating to read about women who are treated as property, trapped, unable to speak for themselves. -
"Nasib kitalah memang, Nak. Nasib kita. Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi."
Bapak, kepada Gadis Pantai.
Tidak berlebihan bila roman ini disebut telah menusuk feodalisme Jawa langsung di jantungnya yang paling dalam. Roman ini betul-betul mengkritik kehidupan para priyayi yang dalam praktiknya jauh dari nilai kemanusiaan. Apalah gunanya belajar agama, berharta banyak, dan berpangkat tinggi bila tidak bisa memuliakan manusia lain? -
"- Às vezes, Mas Nganten, penso que as mulheres foram postas neste mundo para que os maridos lhes pudessem bater. Portanto não falemos dessas coisas. O que é uma tareia comparada com o que ele tem de trabalhar por causa da mulher e dos filhos? Se ao menos Deus me tivesse dado um filho...Um, uma dúzia; o que importava uma tareia se tivesse tido filhos, meus?! Pense no seu pai, Mas Nganten, lembre-se como ele é obrigado a enfrentar todos os dias a morte.
- Eu sei, Mbok, tens razão. Todos os dias, sem excepção, e para quê? Para nós podermos comer um prato de arroz misturado com milho.
- Não falemos de pobreza, Mas Nganten. É Alá quem decide quem vai ser pobre e quem vai ser rico.
- Eu sei, Mbok, mas há tão poucas pessoas que não são pobres!"
Foi a minha primeira incursão na literatura da Indonésia e como desconheço a cultura do país (sei apenas alguns factos, poucos, mais ligados à ditadura de Suharto) foi uma experiência bastante interessante.
A rapariga de java é um romance fortemente construído com recurso ao diálogo e que nos conta a história de uma adolescente de 14 anos que é levada da casa dos pais para "casar" com um nobre javanês (a nobreza javanesa possuía ligações fortes com os colonizadores, que aproveitavam o "dividir para reinar" para ir mantendo o seu domínio).
Embora a sinopse possa levar à ideia de um tipo de romance a que costumo chamar "a biografia da desgraça", o modo como está construído e os vislumbres subtis das questões sociopolíticas da Indonésia tornam-no numa leitura relevante. -
Livro que é uma uma poderosa crítica à condição da mulher na sociedade tradicional Indonésia e às desigualdades sociais. Bem interessante e recomendo.
-
fck sahaya bendoro
-
3.5 untuk buku ini!
Untuk informasi, buku ini sudah mendekam sangat... lama dilemari rumah. Buku punya ibu dari jaman saya SD, kali ya. Pas beliau baca pun saya masih ingat. Sempat mikir, buku apa yang dibaca dengan sampul jadul itu. Pasti ngebosenin.
Pas SMA, baru tau kalo Pramoedya ini penulis yang terkenal karya-karyanya. Beli lah buku Larasati (karena sinopsis Gadis Pantai bikin saya pas SMA merasa gimana... gitu baca cerita yang juga ibu saya baca 🤣 berasa kayak mau baca Marga T. aja). Tapi baru beberapa halaman udah super duper bosan! Ya gimana, kebiasa baca teenlit, tetiba baca buku yang bahasa berbicaranya aja bukan bahasa gaul sehari-hari.
Sekarang, gara-gara denger Bumi Manusia lagi di film-in, langsung greget mau baca karya-karyanya Pramoedya ini. Takut keburu film tayang, udah males baca. Dimulai lah dari yang ada di rumah.
Buku ini bercerita tentang si Gadis Pantai yang dinikahkan dengan Bendoro Bupati Blora di saat ia berumur 15 tahun. Gadis Pantai yang terbiasa bekerja keras membantu bapak dan emaknya di Kampung Nelayan, mau tidak mau harus belajar menjadi Mas Nganten (istri Bendoro) di rumah berdinding tinggi, di kota, jauh dari kampung halamannya. Tangannya yang biasa kasar, tubuhnya yang biasa lincah, serta mulutnya yang biasa berteriak diredam oleh sosok suami yang penuh wibawa dan kuasa di rumah itu. Kerjanya sekarang dilayani, mulutnya terbungkam, hanya mampu menjawab “Sahaya, Bendoro.”
Pemikiran dia yang super polos menimbulkan banyak pertanyaan-pertanyaan yang sederhana tapi mengena. Alur dari mulai si polos tidak tahu apa-apa sampai dia mengetahui semua kenyataan pahit yang akan dihadapinya, benar-benar saya pelototi dan nikmati dengan baik.
Salah satu dialog yang mengena dihati, pembicaraan antara Gadis Pantai dengan Bujang atau si mBok,
“Apakah di kota suami-istri tidak pernah bicara?”
“Ah, Mas Nganten, di kota, barangkali di semua kota-dunia kepunyaan lelaki. Barangkali di kampung nelayan tidak. Di kota perempuan berada dalam dunia yang dipunyai lelaki, Mas Nganten.”
“Lantas apa yang dipunyai perempuan kota?”
“Tak punya apa-apa, Mas Nganten kecuali...”
“Ya?”
“Kewajiban menjaga setiap milik lelaki.”
“Lantas milik perempuan itu sendiri apa?”
“Tidak ada, Mas Nganten. Dia sendiri hak-milik lelaki.”
Saya sampai sedih karena setelah dapet penjelasan itu, dia bertanya-tanya apa bedanya dia dengan meja, kursi, dan segala perabotan dirumah milik Bendoro.
Banyak sekali hal-hal yang baru saya ketahui tentang kehidupan jaman itu. Bagaimana rakyat biasa tanpa kekuasaan benar-benar seperti budak yang menghamba pada priyayi berkuasa yang turun temurun hidup di kota. Mereka bisa diperlakukan semena-mena dan mereka tidak merasa aneh dengan hal itu, karena mereka hanyalah Sahaya.
“Dia bilang, kita ini tak sempat apa-apa. Kaya tidak, cukup tidak, surga tidak, mati pun cuma dapat neraka. Habis segala-galanya tak sampai.”
Tapi selain itu saya juga tertarik dengan Kampung Nelayan. Bapak si Gadis Pantai yang tidak tertarik dengan uang, karena katanya uang tidak laku di kampung mereka. Betapa sederhana dan nikmatnya hidup seperti itu. Mencari nafkah memang untuk makan. Untuk bertahan hidup. Tidak seperti kita yang sekarang mencari uang untuk punya rumah besar, punya mobil mewah, menikah megah, investasi berlimpah, hanya untuk menyelamatkan entah ego, eksistensi, atau kenyamanan yang bisa tiba-tiba direnggut kalau tidak dipersiapkan (tapi kan beda jaman juga ya huft).
“Disini tak ada rumah terkunci pintunya, siang ataupun malam. Disini pintu bukanlah dibuat untuk menolak manusia, tapi menahan angin.”
👆salah satu perbedaan rumah di Kota nya Bendoro dan di Kampung Nelayan
Terakhir, saya sangat sedih di bagian akhir buku. Gadis Pantai yang bertahun-tahun diam dibalik bangunan tinggi sampai berani mengatakan Bendoronya iblis. Saya enggak aneh, sih. Ada ya manusia sekejam itu? Pantas saja buku ini dikecam sebelumnya. Membuka bobroknya sifat manusia sampai saya berpikir, kok bisa? Kenapa? Ugh greget dan gemas karena kesal! Duileee... walaupun diawal baca buku sempet mau nyerah karena bahasanya yang bikin pusing dan ngantuk 🤣 tapi gak nyesel karena teteup keukeuh mau lanjutin sampai habis.
Top markotop! 👍🏻👍🏻 jempol tangan sama 👍🏻👍🏻 jempol kaki -
Many years ago I read three volumes of the Buru Quartet, shortly after returning from a business trip to Jakarta. It was a pleasure to revisit the work or Pramoedya Ananta Toer and think about the complex world of Indonesia.
Indonesia is the world's fourth most populous country (over 220 million people) and the largest predominately Moslem one. It is very widespread geographically, including 6,000 inhabited islands with a land mass making it the 16th largest country in the world in terms of land area. 130 million people live on the island of Java, making it the world's most populous island. The country is diverse culturally including over 300 distinct ethnicities speaking over 700 different languages or dialects.
Pramoedya was born in 1925 in Blora on the island of Java, then under the control of the Dutch. Pramoedya was part of the opposition to the Dutch colonists and he was imprisoned by them from 1947 to 1949. At that time he wrote his first major novel, "The Fugitive." In the 1970's he was imprisoned by the leaders of independent Indonesia because his writings, supporting the needs of the people, were interpreted as too communistic. While in the Buru prison, without pen or paper he composed the four novels that make up the so-called Buru Quartet. After his release to house arrest, he was able to write down these novels and they were published in Indonesian and in English translation from 1980 through 1992.
"The Girl from the Coast" was published in 1982 in Indonesian, but did not appear in English until 2002. The book fulfills Pramoedya's promise to tell the story of his beloved grandmother. At the same time he continues his themes of the oppression of women in much of society and the oppression of the "lower" classes. Pramoedya is keenly aware that often the greater human virtues are preserved best in the traditions of simple village life.
This book is about the life of a teenage girl in the Java of over 100 years ago. Yet it much to say about the unfairness of life and the struggle for communication between youth and parents that still fill the world today. Therefore, this book may speak to teenagers even more effectively than to adults. -
perempuan adalah sang 'empunya'. perempuan sebagai guru, tonggak peradaban. majunya perempuan adalah majunya suatu bangsa, matinya perempuan adalah matinya suatu bangsa.
wanita berasal dari kata wani dan tata (toto). sesuatu yang di tata, ataukah (hanya) sebuah perhiasan??
kontradiksi makna perempuan dan wanita menjadi gambaran hidup seorang perempuan. perempuan sebagai pemberi hidup bagi alam. saking besarnya peran perempuan, hingga di hampir seluruh tempat di dunia ini terdapat legenda, mitos tentang dewi ibu, dewi sri, dewi kesuburan, dan sejenisnya. tetapi di lain pihak, di berbagai belahan bumi, hingga kini, wanita hanya dijadikan sebagai perhiasan dan objek semata. dinisbikan peran dan nilainya. tak ubahnya perhiasan. kaum jahiliyah dimasanya, era siti nurbaya, feodalisme jawa hingga nasib perempuan2 afgan yang terlindas taliban.
sang dewi yang merana. ibunda yang sengsara. itulah nasib kami, kaum perempuan dari dulu hingga kini. tergusur hegemoni laki2 yang dengan keangkuhannya hingga menggambarkan Tuhan dari jenisnya sendiri.
gadis pantai adalah gambaran nasib kaum perempuan dari golongan kebanyakan di era feodalisme jawa. pasrah pada nasib. tak punya hak, tak punya pilihan. bahkan untuk hidupnya sendiri. tiada peran perempuan. yang ada hanyalah fungsi wanita sebagai perhiasan. sebagai alat pemuas nafsu laki-laki. di usia belia, gadis pantai 'diserahkan' untuk menjadi pemuas seks lelaki bangsawan. di usia muda, gadis pantai kehilangan segalanya. kemudaannya, keceriaannya, kebebasannya dan dirinya sendiri sebagai manusia merdeka. status, kasta, darah, keningratan dan jenis kelamin yang mendiskriminasi. menempatkan gadis pantai sebagai sasaran empuk celaan.
sebuah karya yang mengusik kesadaranku sebagai perempuan. sama seperti thousand splendid sunsnya khosaini. walaupun dengan latar tempat dan waktu yang berbeda, keduanya menceritakan nasib perempuan yang dinistakan. ditiadakan dan direndahkan.
aku hanya bisa berkata "inilah nasib kaum perempuan dimana mana. kapan saja" -
Penceritaannya pelan dan hati-hati, seakan Pram mengajak pembaca masuk ke jaman feodalisme Jawa.
Buku ini benar-benar mengaduk-aduk perasaan saya sebagai wanita.
Sebegitukah terinjaknya harga diri wanita di hadapan Priyayi jaman dulu?
Lantas milik perempuan sendiri itu apa? tidak ada. Dia sendiri hak-milik lelaki.
Berkisah tentang kehidupan Gadis Pantai yang di umur 14 tahun dipaksa menikah dengan Bendoro, seorang Priyayi yang mengatasnamakan agama dan mengagungkan moral tetapi tak memiliki jiwa kemanusiaan.
Kisah Gadis Pantai ini sedikit mengambang di akhir cerita, maklum ini adalah roman yang tidak selesai.
"Disebabkan oleh vandalisme Angkatan Darat, dua buku lanjutan Gadis Pantai raib ditelan keganasan kuasa, kepicikan pikir, dan kekerdilan aksara." (hlm 5)
Sungguh sayang, saya jadi penasaran cerita utuh trilogi Gadis Pantai, benar-benar penasaran bagaimana Pram mengkritik pemerintah dalam 2 naskah lanjutannya sampai-sampai harus dilenyapkan. -
Pram memiliki kemampuan untuk mengangkat isu wanita pada periode penjajahan Belanda, dimana para priyayi lelaki berkuasa untuk menentukan nasib wanita non-priyayi yang mereka pilih. Menceritakan nasib tokoh yang disebut 'Gadis Pantai', seorang perempuan berumur 14 tahun yang dipaksa menikah dengan seorang Bendoro.
Awalnya Gadis Pantai tidak bisa menerima nasibnya dan bingung harus menyesuaikan dirinya dengan kehidupan priyayi. Dengan segala perjuangan, ia menyesuaikan diri. Ketika ia telah menyesuaikan diri, Gadis Pantai harus menerima kenyataan bahwa ia harus kembali ke kehidupannya sebagai kaum sahaya.
Pram mengangkat tema yang umum terjadi pada masa penjajahan Belanda, dimana para priyayi mengatasnamakan agama dan mengagungkan-agungkan moral, padahal (menurut Pram), isi hati mereka lebih kejam daripada lautan. -
Bagian pertama buku ini terasa begitu menyiksa. Ketidaktahuan dan keluguan Sang Gadis Pantai tentang ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya, antara priayi (masyarakat kelas atas) dan orang kebanyakan (masyarakat kelas bawah) begitu menampar-nampar. Priayi bisa memiliki semua hal, bahkan memiliki manusia lain tanpa harus mengeluarkan keringat. Sementara sahaya dan wanita milik priayi, mereka tak punya hak apapun, derajatnya sama dengan benda-benda mati.
Pram selalu bisa menampar, meskipun kali ini tidak secara langsung, karena saya bukan priayi. Tidak seperti ketika membaca Tetralogi Buru, yang sasarannya adalah kaum menengah terdidik.
Satu lagi, ketika membaca buku ini, saya merasa cerita ini begitu klasik, kaya detail, dan pace nya unik, rasanya begitu mirip ketika membaca karya-karya Hugo, Austen, atau Dumas. Kalau menurut saya, karya Pram sudah sebagus itu sih ~