Title | : | Sembahyang Bhuvana |
Author | : | |
Rating | : | |
ISBN | : | - |
ISBN-10 | : | 9786235869018 |
Language | : | Indonesian |
Format Type | : | Paperback |
Number of Pages | : | 113 |
Publication | : | Published January 22, 2022 |
– Saras Dewi, “Sembahyang Bhuvana”
Hampir setiap hal di dunia ini ada bidang kajiannya tersendiri. Tubuh manusia, misalnya, dikaji oleh cabang ilmu bernama anatomi; seni dikaji oleh kritik seni; seksualitas dikaji oleh seksologi; lingkungan hidup dikaji oleh ekologi. Namun, apakah mungkin jika semua hal itu dikaji oleh satu bidang yang menaungi beragam ilmu, yaitu filsafat?
Melalui buku ini, Saras Dewi menjawab: mungkin! Selain berisi refleksi kritis tentang filsafat itu sendiri, buku yang memuat tujuh esai ini menghadirkan pemahaman filosofis tentang bagaimana relasi antara tubuh, seni, seksualitas, dan lingkugan hidup. Dengan bantuan perspektif fenomenologis, terutama versi Maurice Merleau-Ponty, Saras Dewi mampu menunjukkan bagaimana kompleksitas dan ambiguitas tubuh manusia dalam konteks kesenian, seksualitas, dan lingkungan.
Sembahyang Bhuvana Reviews
-
Sudahkah kita meninjau lagi relasi diri dengan alam?
Hari Bumi yg diperingati tiap 23 April kerap dirayakan melalui pengingat bahwa krisis iklim semakin parah, sampah yg semakin menggunung & nggak bisa diolah. Menghimbau manusia untuk melakukan penghematan, mengurangi aktivitas yg berpotensi menghasilkan jejak karbon. Sayangnya, kita kurang diajak menelisik ke dalam diri, "Sudahkah saya memandang alam dengan setara?"
Mbak Yayas--begitulah sapaan akrab Saras Dewi--memberikan pandangannya dalam 7 tulisan tentang tubuh, seni, dan lingkungan. Menggunakan pendekatan keilmuan filsafat yg didalaminya, mengajak pembaca memaknai lagi kalau sesama makhluk hidup nggak bisa saling merepresi. Keserakahan (& adanya bias patriarki) membuat manusia malah mengeksploitasi. Ditambah lagi anggapan bahwa alam memang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Sembahyang Bhuvana membawa percakapan yg lebih ringan ketimbang Ekofenomenologi, buku mbak Yayas sebelumnya. Meski masih menggunakan bahasa teknis yg kadang sulit untuk dicerna, namun kepiawaiannya dlm merangkai kalimat membuatku betah membaca hingga akhir.
Aku terpukau dg cara mbak Yayas menghubungkan pemahaman ekofenomenologi dengan keyakinannya sebagai umat Hindu & perempuan Bali. Membuatku punya kesimpulan: semakin kita belajar filsafat, semakin kita merasa kecil di alam ini, semakin kita nggak mau asal berbuat demi kehidupan yg berkelanjutan ("sustainability living" yg nggak jadi slogan merk gaya hidup kapitalis).
Gara-gara mbak Yayas, aku jadi ingin menggali ekofeminisme juga. Mungkin akan membaca tulisannya Vandana Shiva. Atau segera membaca The Shock Doctrine saja kali ya? -
Saras Dewi seakan membawa beberapa keranjang bahan mulai seni, alam, ketubuhan, kesetaraan. Lalu ia mencoba mengeluarkan isinya satu persatu, mencocokkan, dan meramunya di sebuah keranjang baru. Melalui Sembahyang Bhuvana, penulis membagikan beberapa esai filosofisnya.
Memiliki latar belakang budaya Bali, Saras Dewi juga banyak menggunakannya sebagai bahasan untuk esai-esainya. Di esai "Tari dan Tubuh Politis" misalnya. Penulis mengupas tentang bagaimana peran tarian dalam budaya Bali yang bukan hanya bentuk pemujaan terhadap leluhur dan alam raya, tapi juga sebagai bentuk aspirasi, ekspresi, dan kebebasan tubuh dari opresi.
Di buku ini, Saras Dewi bukan hanya meminjam paham-paham dari filsuf barat seperti pandangan fenomenologis dari Merleau-Ponty, psikoanalisis Sigmund Freud, hingga Heidegger, namun penulis juga menengok pada aliran filsafat India seperti Carvaka yang membahas tentang materialisme.
Pada esai "Alam melalui Seni", penulis menawarkan berbagai perspektif tentang alam. Ia menyebutkan istilah Dark Ecology dari Timothy Morton yang mengkritik kontradiksi antara pengakuan alam sebagai keindahan, namun di sisi lain penghancuran masih terus terjadi. Ia juga menghadirkan perspektif Merleau-Ponty yang menggunakan tubuh untuk menyelami alam dan menjadikannya sebagai bagian yang tak terlepaskan dari alam beserta konsekuensinya.
Penulis juga menunjukkan betapa pentingnya seni di tengah pandemi melalui esai "Seni dalam Lipatan Pandemi". Pandemi COVID-19 yang lalu menyisakan banyak pertanyaan dalam lipatan. Demi menjaga kemanusiaan di tengah "istirahat"nya bumi, seniman membagi dirinya antara yang faktual dan transenden demi merangsang keberanian publik merangkul lipatan dan memunculkan gairah hidup di saat tergelap.
Jagoan dari buku ini tentu saja esai terakhir, "Sembahyang Bhuvana". Di esai ini terasa penulis tidak hanya memberikan flow yang mulus dan enak, namun juga memberikan emosinya. Kelindan pembahasan tentang lingkungan, budaya, filsafat, menyatu dan meneduhkan. Esai ini juga mengisahkan tentang koneksi antara alam, tradisi, spiritualitas manusia, juga perubahan perilaku lewat kisah masyarakat Geriana Kauh yang mengalami gagal panen karena sistem tani yang tak sehat. Untuk menanganinya, masyarakat bukan hanya bergeser ke sistem tani yang berkelanjutan, namun juga menarikan tarian yang lama dilupakan, tarian Sang Hyang Dedari untuk menghalau musibah. Ekspresi Saras Dewi pada alam juga bisa ditemukan di esai ini. Salah satunya ditunjukkan dengan adanya cuplikan puisi dari bukunya yang lain," Kekasih Teluk". Puisi itu menceritakan tentang betapa dalam hubungannya dengan alam.
"Laut adalah persemayaman yang luhur
Pegunungan adalah kesaktian semesta"
Pada akhirnya, penulis mengajak pembaca pada tawaran perspektif yang lebih bijaksana dalam memandang diri dan relasi dengan berbagai hal seperti lingkungan dan seni. Sebagai manusia, apakah kita memandang alam sekadar sebagai objek untuk ditaklukkan dan dieksploitasi? Begitu juga dengan seni. Seni bukan hanya berperan sebagai hal yang terpisah dari diri, namun juga sebagai bentuk pembebasan diri dari dunia yang "inkoheren dan absurd" seperti kata Rene Magritte, seniman asal Belgia. Pada akhirnya, akankah kita menjadikan alam dan seni sebagai bagian yang tak terlepas dari diri dan kehidupan?