Title | : | Kiri Asia Tenggara: Pembacaan Ulang atas Beberapa Tokoh dan Karya |
Author | : | |
Rating | : | |
ISBN | : | 9786020788 |
Language | : | Indonesian |
Format Type | : | Paperback |
Number of Pages | : | 184 |
Publication | : | Published August 9, 2021 |
Ramon Guillermo membahas Jose Maria Sison, Marxis radikal Filipina yang menggemari dan menerjemahkan puisi-puisi Chairil Anwar.
Loh Kah Seng membahas aktivisme mahasiswa Politeknik Singapura.
Teo Lee Ken membahas karya-karya Ahmad Boestamam, yang disebutnya sebagai “Mikhail Bakunin-nya Malaysia”.
Yerry Wirawan membahas Siti Rukiah, dan bagaimana karya-karyanya menunjukkan dampak revolusi bagi perempuan Indonesia.
Piyada Chonlaworn membahas Jit Phumisak, aktivis dan intelektual yang citranya kini direkonstruksi secara berbeda-beda oleh berbagai faksi politik di Thailand.
Kiri Asia Tenggara: Pembacaan Ulang atas Beberapa Tokoh dan Karya Reviews
-
Karya ini adalah kumpulan jurnal yang dibukukan.
Ungkapan "Ada hantu berkeliaran di Eropa-Hantu komunisme," pertama kalinya muncul dalam buku yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels (21 Februari 1848). Pada waktu itu keduanya masih berusia 20 tahunan. Teks aslinya yang berbahasa Jerman diterbitkan sebagai pamflet anonim setebal 23 halaman. Baru di tahun 1872, pamflet ini memiliki judul The Communist Manifesto.
Sejarah politik Asia Tenggara ditandai dengan munculnya negara-negara berkarakter oleh keragaman besar bentuk rezim, kapasitas kelembagaan, dan orientasi ideologis. Keberagaman ini merupakan produk dari heterogenitas etnis & agama maupun dampak konflik era Perang Dingin yang tidak merata.
Lantas, pemahaman konvensional tentang negara demokrasi modern menyatu. Setidaknya ada dua elemen berbeda yang berdampingan: kedaulatan rakyat dan supremasi hukum terhadap hak-hak sipil &politik individu. Inilah penemuan saya dalam pembacaan lima tokoh Asia Tenggara yang dicap bersayap kiri.
Sayap kiri yang diasosiasikan orang-orang berpendidikan tinggi dan berkedudukan sosial, ternyata dalam konteks wilayah Asia Tenggara tidak seuniversal itu.
Melihat saat ini dan membaca kondisi politik di Asia Tenggara, saya jadi berefleksi. Ada kudeta militer di Myanmar pada Februari 2021. Dampaknya ada sejumlah pembunuhan dan penghilangan warga sipil. Di Thailand, pengangkatan raja Maha Vajiralongkorn sebagai penanda kembalinya pemerintahan monarki-militer. Ia menuntut perubahan konstitusi supaya kekuasaannya terpusat pada pemerintahannya semata.
Membaca Kiri Asia Tenggara menjadikan saya berkesimpulan bahwa tidak ada pola tunggal atau model historis untuk sistem politik yang stabil & demokratis di kawasan Asia Tenggara. Memikirkan bagaimana penulis maupun aktivis saat ini memandang kembali kemajuan politik dan identitas nasional yang kadang-kadang tak muncul dalam sejarah resmi negara.
Mari bernostalgia kiri. -
Suatu perjalanan yang panjang tentang gerakan kiri di Asia Tenggara. Membaca buku ini seperti diajak mbedah karya dan tokoh di lima negara jiran sekaligus. Di Filipina ada penulis bernama Jose Maria Sison dengan karyanya yang dituduh jiplak DN Aidit, tapi tuduhan itu tak berdasar. Ramon Guillarmo mampu menjlentrehkan bukti secara detail dan apik. Ternyata tuduhan itu untuk mengikis substansi radikal yang dibawa Sison. Saya sangat salut bagaimana penulis dengan tekun membandingkan, mewawancari tokoh kunci, dan menghadirkannya dengan rapi.
Perjalanan kedua ke Singapura yang mengingatkan saya saat jadi mahasiswa sains, ikut kelompok gerakan, dan belajar teori-teori Marxis. Di tulisan ini, Lah Kah Seng menjelaskan panjang lebar bagaimana para mahasiswa teknik yang dianggap sekunder dalam wacana kritis justru jadi pelopor di Singapur. Ia mengungkap aktivisme politeknisi dan gerakan perubahan era 70an. Selain itu, ruang-ruang dan peristiwa-peristiwa internasional menjadi satu bagian penting dari pengalaman para aktivis mahasiswa di Politeknisi. Mengingatkan saya juga,
Perjalan ketiga ke Malaysia, pembaca dikenalkan seorang penulis kiri bernama Ahmad Boestamam dengan karya2 sastranya. Yang paling berkesan berjudul "Rumah Kacha Digegar Gempa" (1969), sekilas ceritanya roman cinta segita. Tak dinyana roman itu mampu menggambarkan perselingkuhan koalisi di tingkat partai pemerintahan. Novel-novel Ahmad menangkap gamblang, sebagaimana kata Teo Lee Ken, lanskap politik dan pertarungan ide di Malaysia. Serta kritik betapa kentalnya kultur kolonial pada kelas terdidik.
Perjalanan keempat, yang paling dekat dan menjadi darah daging adalah perjalanan ke negeri sendiri Indonesia. Tulisan Yerry Wirawan mengulas terkait karya-karya Siti Rukiah dengan visi seriusnya terkait cita-cita perempuan merdeka. Yerry mendedah buku "Tandus" & "Kejatuhan dan Hati" yang berisi cerita-cerita biasa masyarakat tapi dengan muatan ideologis masa itu yang mendobrak dan dukungan Rukiah pada ide-ide kiri.
Perjalanan kelima, menuju Thailand dengan tokoh Che lokal bernama Jit Phumisak. Dia adalah seorang penentang tradisi yang dengan gagasan revolusionernya mengkritik rezim dan Buddha yang mapan. Jit tak segan-segan mengungkap kritik pedasnya. Meski sayang, sosoknya dideradikalisasi dan didepolitisasi menjadi sebatas pahlawan heroik di negaranya, tapi gagasan-gagasan radikalnya justru hanyut/luput. Cukup terhenyak dengan ungkapan: CPT lebih berikhtiar menciptakan seorang pahlawan ketimbang menyebarkan ideologi Marxis di kalangan pemuda.
Sebagai penutup saya sepakat dengan apa yang dikatan Jan Myrdal, "Marxisme didekati bukan sebagai ideologi yang 'dipotong sesuai ukuran,' melainkan secara historis, yang dibentuk oleh perspektif-perspektif dan konteks-konteks mutakhir dan yang maknanya bervariasi dan tak mengenal tamat."
Juga pendapat, "Alienasi dalam masyarakat kita yang mewujud dalam minimnya kontak akar rumput antara para pemimpin dengan yang dipimpin." -
Membaca buku ini rasanya seperti melihat Asia Tenggara dalam suatu keadaan yang jauh berbeda kendati sebetulnya itu semua belum begitu lama terjadi di masa lalu. Kecuali di Vietnam dan Laos yang keduanya masih menempatkan ideologi komunis sebagai landasan politik resmi, tidak ada lagi gerakan progresif di Asia Tenggara yang masih eksis dan mempunyai panggung resmi untuk mencita-citakan demokrasi dan pembebasan manusia dari belenggu penindasan dan kapitalisme. Hampir semuanya telah lenyap, baik digulung oleh kekuatan Barat dalam gelanggang Perang Dingin maupun sebab-sebab lainnya.
Asia Tenggara hari ini adalah kawasan yang nyaris menjadi sepenuhnya dapur sekaligus lumbung sumber daya bagi kekuatan dunia Barat, baik secara langsung maupun lewat kakitangannya di kawasan ini, untuk mengeruk sehabis dan setamak mungkin apa saja yang mereka butuhkan: hasil alamnya, tanahnya, pohonnya, dan tentu saja manusianya. Absennya gerakan politik progresif menjadikan negara-negara di kawasan ini tak ubahnya seabad lalu yang masih jadi rayahan, rebutan, dan objek tundukan bagi kekuatan kolonial dan hisapan kapital yang seperti tanpa ujung itu. Jafar dalam bagian akhir tulisan pengantarnya menyebutkan,
“Dari tulisan-tulisan ini kita dapat melihat bagaimana sejarah bangsa-bangsa Asia Tenggara dibentuk, dikonstruksi, dan dibayangkan oleh orang-orang yang menyembunyi pemikiran progresif bagi perubahan sosial dan pembebasan politik di Asia Tenggara. Inilah wawasan yang bisa diambil sebagai pelajaran oleh para akademiisi muda Asia Tenggara dari karya-karya mereka dalam masyarakat hari ini.” (hlm. 13)
Dengan agak lebih panjang, saya mengulas buku ini dalam blog pribadi saya. Silakan jika ingin membacanya lebih lanjut:
https://alfarius.wordpress.com/2023/0... -
Fascinating read about the leftist movement in Southeast Asia.
Indonesia under Soekarno has become some sort of a blueprint for this movement in the 60s-70s. These countries were still young in their independence and their ideologies were still footed on post-colonialism mindset (feudal, aristocracy, etc.). The presence of the left wing ideologies breathed fresh air to these countries.
The specialty of Indonesia's movement was that, it was the majority. Meanwhile for other countries, the leftist movement was an anti-establishment effort.