Sumur: Sebuah Cerita by Eka Kurniawan


Sumur: Sebuah Cerita
Title : Sumur: Sebuah Cerita
Author :
Rating :
ISBN : -
ISBN-10 : 9786020653242
Language : Indonesian
Format Type : Paperback
Number of Pages : 52
Publication : First published June 16, 2021

Sumur adalah cerita pendek karya Eka Kurniawan, nomine Man Booker International Prize 2016 dan peraih Prince Claus Laureate 2018. Cerita pendek ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris di antologi Tales of Two Planets dengan judul “The Well”, diterbitkan oleh Penguin Books pada 2020.


Sumur: Sebuah Cerita Reviews


  • Yuniar Ardhist

    Ekspektasi awal saya pada buku ini memang tidak terlalu menyoal isi ceritanya. Saya lebih tertarik dengan perjalanan kisah naskahnya hingga bisa diterbitkan dalam Bahasa Indonesia saat ini, diterbitkan dalam jumlah terbatas, dan hanya sekali. Memberi rasa spesial.

    Ya, alasan seseorang memutuskan membeli sesuatu kadang bukan soal punya tak punya uang, penting tak penting, atau butuh tak butuh. Alasan yang bisa jadi berbeda satu dengan lain. Boleh-boleh saja. Bagi pemilik produk, di sinilah konsep, kreativitas, dan strategi berperan. Tapi itu bahasan berbeda, kita bicara itu lain kali.

    Mungkin ini juga tampak mudah dan menyenangkan. Namun jika dilihat dari prosesnya, berada di posisi pengarang dengan karya 'auto-beli' merupakan perjalanan panjang yang bisa jadi putus tengah jalan. Mas Eka, salah satu yang melewati jalan itu.

    Membaca informasi tentang buku ini, pertama kali diterbitkan justru dalam format bahasa Inggris, dengan judul "The Well" dalam antologi "Tales of Two Planets". Diterbitkan oleh Penguin Books pada 2020 lalu. Sampai buku dalam terjemahan bahasa Indonesia ini terbit, saya belum membaca "The Well".

    Cukup 'wow' juga ketika diinformasikan bahwa Mas Eka awalnya tidak tahu bagaimana menerbitkan cerpen yang panjangnya sekitar 5000 kata ini. "...Koran tidak mungkin. Majalah Sastra tidak ada. Terbit di internet, gak ada yang nawarin honor layak. Satu-satunya yang terpikirkan cuma menyimpannya, dengan harapan suatu ketika akan menerbitkannya dalam kumpulan cerpen," begitu penjelasan beliau di laman Instagram @gnolbo.

    Sebuah ide muncul di awal tahun 2021 untuk menerbitkannya dalam edisi terbatas, dan dalam format cerpen tunggal. Demikian proses buku ini berlanjut setelah menghubungi pihak editor penerbitan. Akhirnya, 24-31 Mei 2021, oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU), masa Prapesan mulai dibuka, edisi khusus terbatas bertanda tangan, sebanyak 3000 eksemplar. Luar biasa!

    Butuh waktu hingga buku ini sampai di tangan. Memang tipis, dengan dimensi lebih kecil dari buku biasa. Istilah yang mungkin bisa dikenal lebih umum dengan "chapbook", semacam bentuk publikasi karya berharga murah, berukuran kecil, berhalaman tidak banyak (hanya sekitar 40 halaman).

    Di era Eropa modern, "chapbook" adalah sejenis 'street literature' yang dicetak. Diproduksi dengan harga murah, berukuran kecil, berlapis kertas, dan biasanya dicetak pada satu lembar yang dilipat menjadi buku dengan 8, 12, 16, atau 24 halaman. Ada beberapa sebutan lain juga untuk jenis karya ini dari beberapa negara berbeda. Di Indonesia, apa sebutannya ya? Ehm...gambaran gampang yang mungkin saat ini adalah : buku saku.

    Saku, buku ini memang dimasukkan dalam 'saku'. Bukan saku baju atau celana, tapi dalam satu kantong kertas terpisah dari buku. Ide menarik untuk menggambarkan istilah 'buku saku' itu sendiri. Selanjutnya, di dalam ada pembatas buku mini bertuliskan, "Terima kasih telah membawa pulang Sumur karya Eka Kurniawan. Buku ini hanya dicetak sekali. Pada suatu saat nanti dia akan menjadi langka. Semoga kamu senang membacanya. Seperti kami yang bersuka cita saat menyiapkan kelahirannya." Ciamik! Saya yakin penerbit GPU pun bisa membaca apa yang diinginkan dan dipikirkan pembacanya.

    Selanjutnya, bagian sampul yang keren dari Umar Setiawan, pembaca akan disuguhkan ilustrasi sebuah sumur yang berada di sebuah daerah kering (dapat dilihat dari pohon-pohonnya yang tak berdaun sama sekali, dan juga tanah yang tak ada tanaman, hanya rumput), di tengah-tengahnya ada sebuah sumur, diapit oleh dua orang; perempuan dan laki-laki. Si perempuan membawa ember, dan si laki-laki dengan tangan kosong. Keduanya berdiri berseberangan sisi sumur.

    Sebelum membaca isinya, yang bisa saya bayangkan waktu itu adalah : dua orang yang saling mencintai, terpisah oleh suatu keadaan. Mereka tinggal di sebuah desa yang tidak subur (atau menjadi tidak subur), dan terpencil. Entah di tepi hutan atau di tengah hutan. Keduanya dari desa yang berbeda. Sementara desanya sedang berseteru, berebut air dari satu-satunya sumur yang berada di antara dua desa itu, mereka kena imbasnya.

    Melihat ekspresi dalam gambar dua karakter tokoh yang tidak bisa saya tebak, maka kemungkinannya adalah kedua orang saling mencintai itu baru bertemu di sumur, kemudian berpisah. Atau, sudah kenal sebelumnya tapi akhirnya terpisahkan oleh sebab sumur itu sendiri. Usianya tak bisa saya prediksi. Apakah itu masih remaja, atau sudah dewasa. Perempuan dalam gambar tampak lebih tua dibanding laki-laki. Hmm..apakah benar demikian? Mana yang kira-kira meleset, mana yang sesuai ekspektasi. Dalam waktu sekitar dua puluh menit, saya coba untuk membaca isinya hingga tuntas. Hasilnya, beberapa meleset dari yang saya bayangkan sebelumnya. Inilah mengapa saya juga suka ilustrasi buku seperti lukisan; yang detil dan 'hidup', bukan hanya sekedar tulisan atau tempelan gambar.

    Sebagai sebuah cerita, sebenarnya tidaklah luar biasa. Dalam arti, cerita ini tidak menawarkan ide yang baru, alur berkelok, atau kejutan-kejutan kecil dalam plot. Saya malah jadi merasa, cerita ini akan lebih apik, terasa lebih getir, ketika dibaca dalam format aslinya berbahasa Inggris.

    Namun, di cerita "Sumur" ini saya menyukai bagaimana Mas Eka membenturkan pemaknaan dari "air" dan "sumur" dalam konteks simbolisme. Secara umum, air digambarkan sebagai lambang kehidupan, keberkahan, kemakmuran, dan kesuburan. Maka air seharusnya bisa menjadi sumber kehidupan dan penghidupan siapa pun yang memanfaatkan keberadaannya. Dari situ, diharapkan akan tercipta kerukunan dan kebaikan untuk semua orang. Konflik di pintu air menjadi bencana pembunuhan tampak kontradiktif dengan penyimbolan air yang memberikan harapan kehidupan.

    Sumur juga bisa dimaknai sebagai tempat bertemunya beberapa mata air, maka dalam novel ini diceritakan sebagai tempat pertemuan Toyip dan Siti setelah beberapa tahun tidak bersapa. Sumur di sini menjadi latar kisah, sekaligus pusat dari konflik. Toyip dan Siti akhirnya menemukan jalan untuk mengurai benang masalah yang telah kusut, di sumur. Kata-kata yang tak sempat diucapkan, serta perasaan yang tak sempat diungkapkan. Namun, ketika di satu sisi, menemukan bahagianya, di sisi lain memulai penderitaannya. Dari konflik dan ending novel, sumur justru menjadi puncak dari peristiwa tragis.

    Sebenarnya ada bagian-bagian perpindahan adegan yang saya ingin bisa dibuat lebih halus, atau ditambahkan beberapa deskripsi, tapi secara umum cerita ini dituliskan dengan bahasa yang lugas, bentuk percakapan yang sederhana, tetapi dalam setiap kalimatnya terasa terus ada pergerakan. Dalam 48 halaman, cerita ini selesai dengan meninggalkan sesuatu dalam pikiran untuk beberapa saat : 1. Apakah benar kita hidup dalam dunia 'unstoppable paradox' ? 2. Jika mau kembali melihat lebih dekat ke masa lalu, di mana letak 'kesalahan-kesalahan' hingga membuat belokan yang berujung pada peristiwa yang tidak diinginkan? Siapa yang salah, keputusan apa yang seharusnya tidak dipilih, dan andaikan benar bisa tidak dipilih, apakah akhir kisah hidup bisa jadi berbeda?

    Di sudut pikiran yang lain, saya teringat 'fenomena' kolaborasi McD dan BTS beberapa hari lalu. Inilah contoh karya yang menemukan tempatnya dengan manis. Sebuah hasil kreativitas dan kerjasama tim yang baik. Jika para fans BTS kadang mengatakan, "Hanya BTS yang begini!" maka untuk karya ini, kalimatnya menjadi, "Bukan hanya BTS yang bisa begini, Eka Kurniawan juga!"

  • Raafi

    Bagaimana mungkin buku setebal kurang dari 50 halaman ini dibandrol dengan harga sekian ?! Sebagian orang mungkin akan biasa saja karena ini merupakan karya salah satu penulis masyhur tanah air dan ada embel-embel buku ini hanya dicetak terbatas sehingga mungkin "pada suatu saat nanti dia akan menjadi langka" sebagaimana tertera pada pembatas bukunya. Dan, yah, aku termasuk "sebagian orang" itu.

    Karena ceritanya terlalu singkat, membuat ulasannya pun terasa begitu dibatasi. Intinya, ini kisah romansa seorang laki-laki bernama Toyib dan seorang perempuan bernama Siti dengan tema cinta falling-in-love-with-someone-you-can't-have. Percaya padaku bahwa deskripsi tersebut bukan termasuk spoiler karena sungguh intrik dan keseruan ceritanya ada pada bagian lain.

    Beberapa orang melihat tema yang diusung begitu "biasa", mungkin plot twist di akhirlah yang membuat kisah ini "lebih dari biasa". Eka melumuri kisah Toyib-Siti dengan bumbu lokalitas dan penderitaan yang disukai banyak orang. Nama "Toyib" dan "Siti" saja sudah begitu lokal. Bukan begitu?

  • Fatoni M

    Pertama buku ini datang, aku berteriak: KENAPA KECIL SEKALI?! Ya, buku ini lebih mirip buku saku Pramuka yang pernah kumiliki sewaktu SD. Jumlah halamannya juga hanya 51; kenapa nggak dikirim saja ke koran.

    Ceritanya tidak begitu spesial--walau begitu, aku tetap menyukai gaya tulisan Eka Kurniawan. Ini adalah sebuah kisah cinta Toyib dan Siti, dengan bencana kekeringan yang menimpa desa mereka sebagai latar belakang. Kampung yang menjadi latar dan kehidupan tokohnya, terutama Siti, begitu familiar untukku karena aku pun seorang anak kampung. Ada perasaan empati sendiri ketika aku bisa ikut merasakan apa-apa yang ada di dalam sebuah cerita.

    Ada sebuah misteri di akhir cerita--yap, misteri, tapi di akhir, menyebalkan. Sedikit membuat penasaran, tapi ya sudahlah.

    Aku rekomendasikan cerpen, yang sedikit panjang ini, untuk para penggemar Eka Kurniawan; agar merasa lengkap aja gitu, bisa baca semua karya dia.

  • yun with books

    "Kau tahu," kata Toyib. Ia tak bisa menahannya lebih lama lagi.
    "Aku mencintaimu."

    "Aku juga, dari dulu," kata Siti.



    Sumur: Sebuah Cerita bercerita tentang Toyib dan Siti, dua manusia yang tinggal di sebuah desa yang terus mengalami kekeringan. Sedikit sekali sumber mata air di kampung itu, salah satu sumber mata air adalah SUMUR.

    Membaca buku ini, itu rasanya.....

    Awal tahu bahwa
    Eka Kurniawan membuka pra pesan untuk buku ini, gue tanpa ba..bi..bu.. langsung ikutan. Ternyata, ini cerita pendek. Yang...literally super pendek, cuma ± 50 halaman. Gak akan memakan waktu lama untuk menghabiskan buku ini "sekali duduk".


    Sumur: Sebuah Cerita memiliki daya hipnotis yang sama dengan karya-karya
    Eka Kurniawan lainnya. Cerita nan sedikit namun memiliki arti yang gak akan mudah dilupakan oleh pembacanya. Dalam 50 halaman, pembaca akan disuguhkan oleh cerita yang pilu, tragis dan menyentuh.
    Betapa Toyib dan Siti menjadi dua karakter yang begitu tak terlupakan. Ada cinta yang terpendam, hingga begitu sulitnya cinta itu bersatu tanpa menyakiti orang lain dan/atau karena suatu keadaan tertentu.
    Membaca
    Sumur: Sebuah Cerita memang memberikan pengalaman yang cukup bikin tersentak. Akhir cerita buku ini pun menjadi pukulan bagi gue sebagai pembaca, bahwa cinta bisa sesakit itu.

    Baca saja, buku ini katanya hanya cetak SATU KALI dan akan berpotensi akan menjadi buku "kecil" yang langka.

  • Devina Heriyanto

    Sebuah cerita pendek soal perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap hidup manusia. Dideskripsikan seperti ini, mungkin Sumur akan terdengar sangat klise dan banal. Akan tetapi, Eka Kurniawan mengemas konflik soal sumber daya yang muncul dari perubahan iklim dalam sebuah romansa yang tragis.

    Fokus Eka pada nasib orang-orang di pedesaan yang hidup dan penghidupannya harus berubah karena perubahan iklim patut menjadi sorotan utama dari Sumur, karena meskipun kita sering mendengar cerita tentang perubahan iklim, kita masih sangat kurang membahas soal dampaknya kepada berbagai lapisan masyarakat, di kota, desa, hutan, maupun pulau-pulau kecil di Indonesia.

    Buat saya, yang menjadikan Sumur sebagai cerita yang spesial adalah melankolisme yang menaunginya. Mungkin kisah tentang jatuh cinta pada orang yang tidak bisa kita miliki sudah menjadi klise atau malah meme, tapi ketika disandingkan dengan perubahan iklim, cerita ini menjadi semacam peringatan: krisis alam ini lebih dekat dari yang kita bayangkan, cengkramannya lebih dalam dan menusuk ke kehidupan kita semua, dan pada akhirnya, yang terancam bukanlah alam, tapi manusia yang menggantungkan nasib padanya.

  • Happy Dwi Wardhana

    Uhmm.... Anu...

  • ucha (enthalpybooks)

    Ketika buku mungil ini terbit beberapa bulan lalu sempat terpikir jika format eksperimental (format buku saku, 50an halaman, terbit hanya sekali) ini dilakukan penulis lain apakah bakal laku di pasaran. Akan tetapi anggapan saya jika Eka Kurniawan sudah sedemikian dikenal di Indonesia kembali buyar saat berita trending yang heboh beberapa hari lalu lewat cuitan ancaman karena kutipan dari novel #CantikItuLuka. Masih banyak yang belum mengenal karya dan penulis di negri sendiri.

    Keterangan yang ditulis di bawah judul "Sumur" adalah "sebuah cerita". Menerbitkan satu cerita pendek sendirian adalah langkah yang berani, jika buku terbit dalam kumcer, pembaca akan menilai secara keseluruhan dan memilih beberapa cerpen yang jadi favoritnya. Namun, bisa dibilang cerita yang jadi bagian dari antologi buku yang bersanding dengan puluhan karya lainnya di dunia ini sudah terbilang istimewa.

    Yang saya suka dari cerita yang dibuat mas Eka adalah bagaimana satu tema global tentang perubahan iklim disajikan dalam bentukkepedihan hubungan Toyib dan Siti dalam bencana kekeringan di kampung serta terjadinya banjir bandang. Pemilihan sudut pandang penceritaan dan tema yang realis ini yang selalu menjadi kekuatan dari penulisannya.

    Jika dari segi alur dan ending cerita bagi yang sudah membaca karya-karya panjang beliau yang lain mungkin akan terasa biasa saja. Maka keinginan selanjutnya adalah membaca cerita ini dari kumpulan antologi "Tales of Two Planets" utuh aslinya dan merasakan apakah cerita ini jadi pembeda yang kuat dari yang lainnya.

    Selain dari itu, terbitnya buku ini semakin memudahkan jika ada yang bertanya: "jika ingin membaca karya-karya Eka Kurniawan sebaiknya mulai dari mana?"

    Buku ini adalah jawabannya.

  • Stef

    Cerita nya singkat dan sederhana tapi ending twist nya like what ????

  • Vanda Kemala

    rasanya kayak baca buku rapor zaman SD.
    cuma sebentar, selesai.

  • Nike Andaru

    42 - 2021

    Gara-gara promo pre order buku ini akhirnya gugurlah puasa beli buku tahun ini (saya puasa beli buku jika target GR belum tuntas). Ya, lumayan ya puasa selama 6 bulan karena ingin sekali membaca karya Eka yang satu ini.

    Buku ini memang dibilang cerita pendek, tapi saya gak mengira kalo bukunya akan dicetak seukuran ini. Saya pikir malah bisa dicek lebih kecil lagi jadi beneran kayak muat di saku.

    Cerita tentang Toyib dan Siti ini tentulah bisa dihabiskan dalam sekali duduk.
    Cerita yang sebenarnya biasa saja, tapi memang Eka lihai meramu ceritanya menjadi sangat lokal dan tambahan twist di akhir cerita menjadikannya sesuatu sekali. Untuk buku sekali duduk, saya menyukai cerita ini.

  • Aldrina

    What a gloomy read!
    Rasanya pengen bikin AU dimana toyib, siti, dan desanya bisa dapet kebahagiaan gt.

    Awalnya w ngerasa yauda flat aja gt walau ada momen2 shocking yg membuat w makin bersimpati, tpi bagian2 akhirnya bikin w ngerasa "kasian banget asli, karena climate change sehingga membuat A begini, terus B dan C jdi begitu, trs D dan E malah jdi begini" iya betul, kayak sial trs. Jujur, w paling terkesan sama twist di akhir itu.

    Di sini dampak climate change keliatan jelas banget bisa bikin psikis menggila. Lalu dengan menggilanya psikis bisa menuju ke tindakan gelap mata yg tentunya berdampak tdk baik di kemudian hari.

    W jg suka cara penulis menggambarkan gmn naasnya hubungan toyib dan siti, bahkan hampir ga ada celah buat punya momen manis lagi.

    Lalu, w suka penggambaran sumur itu sendiri sebagai simbolisasi harapan untuk 2 topik besar dalam cerita ini.

    Mungkin klo bisa dibilang, intinya penulis mau blg "climate change's effects are terrifying and it's real" dan tentunya dengan bumbu2 percintaan naas

  • htanzil

    Cerpen panjang Sumur adalah sebuah kisah yang muram sejak awal hingga akhir, namun bukan berarti cerpen ini menjadi tidak menarik. Kisah Toyib dan Siti dituturkan dengan kalimat-kalimat lugas dan padat. Tak ada kalimat yang mendayu-dayu untuk melukiskan kehidupan muram para tokoh-tokohnya. Dibalik kemuraman kisahnya tampaknya ada maksud yang hendak disampaikan oleh penulisnya yaitu bagaimana perubahan iklim menyebabkan lingkungan alam yang berubah. Perubahan yang tidak hanya berdampak luas pada kehidupan masyakat secara umum melainkan berdampak baik secara fisik maupun psikis pada entitas yang terkecil yaitu individu-individu dalam keluarga.

    lengkapnya silahkan baca di

    https://bukuygkubaca.blogspot.com/202...

  • Truly

    Secara garis besar, buku ini bercerita tentang kisah cinta antara Toyib dan Siti. Sejak usia belia Toyib sudah menyukai Siti. Layaknya seorang remaja yang jatuh cinta, ia juga melakukan berbagai hal guna menarik hati Siti, seperti pergi ke sekolah dan pulang bersama. Atau memberikan hadiah anak ayam yang akan dipelihara Siti hingga siap disembelih saat malam Lebaran. Keluarga mereka juga bersahabat.


    https://trulyrudiono.blogspot.com/202...

  • Iman

    Memesan buku ini di hari pertama prapesan di gramedia (dot) com dibuka. Tanpa pengetahuan dan asumsi apapun, cukup kaget setelah melihat 'cuplikan' rupa dari 'buku' ini. Walapun diterbitkan oleh penerbit ternama, saya tidak bisa mengalihkan pendapat saya bahwa buku ini terasa bernuansa "DIY" dan "zine". .
    .
    Sebagai pembaca (hampir semua) karya-karya Eka Kurniawan, bukan menjadi sebuah kejutan disajikan bab pertama dengan muatan-muatan 'mengenaskan'. Tidak butuh lama untuk menyesuaikan tempo untuk mendapatkan alur dan alir yang tepat. Saya menyukai setiap kegetiran yang 'lunak' maupun 'pekat' disajikan di buku ini, lumrah.
    .
    Buku ini punya reputasi dan rekognisi. Apalagi, 10 tahun kemudian. Saya masih berharap Eka kembali membuat mahakarya layaknya Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas maupun Cantik Itu Luka. Saat itu terjadi, saya akan membaca buku ini lagi. Lihat saja apakah masih menimbulkan kesan yang sama.

  • Launa

    "Kau lihat, kekeringan di mana-mana dan sekali hujan datang, sungai meluap dalam angkara. Kau dan aku tak tahu kenapa semua itu terjadi, dan mungkin kita juga diamuk kemarahan." (Halaman 41)

    Cerita Sumur menggambarkan kepedihan di antara Toyib dan Siti yang mulanya akrab. Satu tragedi mengubah hubungan keduanya dan memaksa mereka untuk saling menghindar. Toyib dan Siti bertemu lagi di sebuah sumur dan kecanggungan pun timbul ketika Toyib menyapanya. Sumur menjadi saksi bisu atas pertemuan dan perbincangan Toyib dan Siti sekaligus peristiwa tidak terduga yang kembali memisahkan mereka. Kisah pedih Toyib dan Siti memang singkat, tetapi membekas dan bikin terhanyut. Cerpen Eka belum pernah gagal memikat saya ❤️

  • Spillminttea

    Sebetulnya, saya jadi penasaran sama translasi English-nya. Buku ini memang sangat ringkas dan sebenarnya sangat bisa menjadi magis yang sangat nyata seperti sentuhan Mas Eka di setiap tulisannya. Hanya saja, agak disayangkan, cara merampungkan ceritanya yang notabene sangat berpotensi lebih meski harus menambah beberapa lembaran lagi biar seperti novella yang utuh dan kuat untuk menaungi sumur menjadi media penyampaian apik untuk cerita pedesaan.

  • cindy

    Kisah pendek yg bikin nyesek. Endingnya apalagi!!! Sepertinya semua jalan bagi Toyib dan Siti untuk bersama sudah tertutup, kandas dan kerontang, tepat seperti sumur itu.

  • Naim al-Kalantani

    Tidak berkisar pada cuaca sahaja, bahkan cerita tragis-pilu yang penuh simbolisme.

  • San

    Hah!

    Ini adalah buku
    Eka Kurniawan yang pertama kali saya baca dan langsung berkesan. Untuk buku 51 halaman ini, bobot beban yang dirasa sepertinya bukan berada pada kertas-yang tentu saja sangat ringan-namun terasa pada dada. Bukan bermaksud berlebihan tapi bagi saya pribadi, beliau berhasil mengantarkan kegetiran yang dirasakan oleh Toyib dan Siti kepada pembaca melalui cerita ringkas yang masih bisa dinikmati.

    Ketika membaca dan mencerna alur cerita dari buku ini, pikiran saya seketika memutar ulang beberapa potongan adegan pada cerpen dan novel dari
    A.A. Navis (
    Robohnya Surau Kami,
    Jodoh: Kumpulan Cerpen,
    Kemarau), yang sesuai dengan ciri khasnya--membalutkan kisah tragis ke dalam setiap cerita, serupa dengan cerpen ini, begitu telanjang dengan kisah-kisah pilu.

    "Kemarau" pada dasarnya adalah kenyataan hidup yang bukan hanya dialami oleh Toyib dan Siti, melainkan kita semua, sedangkan "sumur" adalah benang merah yang mempertemukan kita yang senasib, dan mungkin juga akan kembali memisahkan kita.

    It was really painful

  • Wahyu Novian

    Sumur ini cerita pendek pertama Eka Kurniawan yang saya baca. Sewaktu saya keranjingan dan maraton baca novelnya, saya belum cocok baca cerpen--suka merasa kurang dan ingin lanjut. Sekarang cerpen jadi format yang sangat mudah untuk saya putuskan suka atau nggak. Sumur, cerita pendek dalam satu buku (format yang baru tahu ada), saya suka dan jadi ingin baca cerita-cerita pendeknya yang lain.

    Ceritanya sederhana. Tentang Toyib dan Siti, yang menyimpan perasaan ini itu dan terhubung dengan sumur sumber kehidupan di kampung mereka. Eh, atau nggak, ya? Masih banyak sepertinya yang saya tangkap: tentang keluarga dan bertetangga, tentang hidup di desa kecil yang sedikit harapan tapi tetap bertahan, tentang rumah yang menjadi tempat kembali lagi karena memang tidak ada lagi, sampai tentang bumi yang makin sulit untuk ditinggali. Terutama tentang perasaan, yang tak kunjung mati. Hmm, nggak tau sih. Bisa jadi alasan saya saja untuk menjelaskan kenapa saya bisa suka dengan ceritanya (mengulas satu cerita pendek saja lebih susah ternyata.)

    Yang paling menyenangkan mungkin lebih ke membaca cara Eka Kurniawan menuliskan cerita yang sangat lokal dan mudah dipahami--seperti novel-novelnya yang saya suka juga. Membuat saya berdebar karena terasa menguping rumor-rumor di kampung sendiri.

  • ifan

    ada yang hal-hal yang terlintas begitu saya menyelesaikan—hmm apa ya disebutnya, buku cerpen(?)— Sumur karangan Eka Kurniawan. hal-hal ini pun sebenarnya ya selalu terlintas ketika saya menyelesaikan buku fiksi yang bertemakan urbanisasi—yang mana ada orang-orang desa yang terpuruk di desanya, sehingga memutuskan untuk berpindah ke kota dengan pengharapan hidup lebih baik,

    Sumur pun melakukan perulangan yang kurang lebih sama, ada tokoh Toyib dan Siti, karena sebuah insiden dan kondisi, membuat Siti harus pergi ke kota, sedangkan yang terlambat mengetahui kepergian Siti, turut ingin menyusul kekasihnya, hingga terjadi kemalangan demi kemalangan.

    hal-hal yang terlintas ya perihal betapa tidak membahagiakan desa hingga orang-orang harus berbondong-bondong ke kota, kondisi alam yang kacau balau—yang saya asumsikan terjadi ya gegera krisis alam akibat globalisasi, hingga kota pun tidak mengindahkan kehadiran mimpi orang-orang ini. dan jadilah, semuanya terpuruk oleh problematika orang kota yang mereka tidak tahu-menahu sebelumnya.

    tapi sampai kapankah lingkaran setan ini terus-menerus berlanjut?

  • Sintia Astarina

    Menulis kisah dua insan tentang "jatuh cinta dengan orang yang tak bisa dimiliki" bisa jadi hal yang membosankan, atau mungkin biasa-biasa saja. Lewat cerita pendek ini, Eka Kurniawan sebenarnya menaruh perhatian lebih soal perubahan iklim (terutama di Indonesia) dan dampaknya bagi hubungan anatarmanusia.

    Mungkin, selama ini kita lebih paham bahwa perubahan iklim berdampak pada suhu yang jadi lebih panas, permukaan air laut yang meningkat, permukaan tanah yang menurun sehingga menyebabkan banjir di mana-mana, dan sebagainya. Lalu, apa?

    Kita tahu bahwa perubahan iklim mampu mentransformasi planet kita. Jangankan planet, bahkan Eka Kurniawan menggambarkan dampaknya lewat hal sepele sekali pun: sumur. Siapa sangka, sumur yang adalah sumber kehidupan, nyatanya juga bisa jadi sumber malapetaka?

    Aku jadi teringat, dalam TedWomen 2018,
    Katherine Hayhoe (seorang ilmuwan) pernah mengatakan bahwa masih banyak yang nggak peduli dengan isu perubahan iklim ini. Padahal, dengan tahu apa yang sedang terjadi dengan Bumi kita, manusia bisa bersiap dengan apa yang akan terjadi di masa depan.

    "That it affects future generations, not me, it affects others but not me, it affects people who live over there, but not me. And why is that dangerous? Because if it doesn't affect me, why do I care?"

    Ia juga menekankan pentingnya ada banyak pembicaraan soal isu ini, "If we do not have these conversations, how do we expect the world to change?"

    Dan ya, kupikir Sumur bisa jadi salah satu bentuk "pembicaraan" itu. Ketika bersentuhan langsung dengan isu perubahan iklim dan dampaknya pada hubungan antarmanusia, tapi dibalut apik dalam kisah romansa dan lokalitas yang banyak disukai masyarakat, semoga pembaca akan lebih mudah memahaminya.

    Semoga.

  • SofinahRA

    Saat membaca buku ini entah kenapa yang muncul dalam benak adalah Ma Gendik dan Ma Iyang (Cantik Itu Luka) --mungkin karena sama-sama tragis.

    Kisah cinta Toyib dan Siti sebenarnya sederhana saja. Tapi Eka mampu mengemas cerita dengan menarik dan tetap memiliki bobot. Bukan sekedar kisah cinta yang berkeliaran di situs baca remaja.

    Tetap melihat kekhasan Eka menulis dalam buku ini. Kisah cinta tragis, adu parang, dan kritik sosial. Dikemas menarik.

    Tapi sayang, karena cerita yang pendek jadi tidak bisa menikmati narasi-narasi Eka yang panjang dan detail seperti biasanya. Narasi dalam buku ini terkesan terbatas.

    Buku yang cukup mengesankan. Layak dimiliki. Dan sekedar informasi, buku ini hanya dicetak sekali!

  • bayu

    Dicetak dengan format yg unik, ukuran bukunya tergolong mini, halamannya juga cuma 50 halaman, ukuran font nya juga gede2 , jadinya kaya semacam booklet, hal itu yg membuatku bisa nyelesaiin buku ini dalam sekali duduk.

    Menceritakan Toyib dan Siti, pemuda pemudi desa yang saling mencintai. Kekeringan yang melanda desanya menjadikan sebuah sumur menjadi sumber air utama untuk kebutuhan sehari-hari warga desa. Sumur itulah yang menjadi saksi bisu lika-liku kehidupan mereka berdua.
    Bukan sekedar kisah romansa , cerita ini juga mengangkat isu lingkungan, lebih tepatnya perubahan iklim. Justru menurutku isu inilah yang menjadi kunci cerita ini. Ternyata perubahan iklim itu menyebabkan banyak terjadi peristiwa dan tragedi, salah satunya romansa Toyib dan Siti.

    Setuju sama review salah satu book influencer yg bilang ngerasa biasa aja setelah selesai baca buku ini, aku pun ngerasa demikian. Alur ceritanya bagus, aku bener2 menikmati jalan ceritanya. Tapi aku kurang suka sama endingnya. "Eh, udah gini doang?" kurang lebih gitu kesan terakhir setelah nyelesaiin buku ini . Mungkin aku yg terlalu tinggi berekspektasi.

  • Pauline Destinugrainy

    Ceritanya kurang dari 50 halaman, tapi karena penasaran saya ikut membeli buku ini.

    Toyib dan Siti tumbuh besar bersama. Karena masalah air, Ayah Toyib membunuh Ayah Siti. Siti tak mau lagi bertemu dengan Toyin, dan sebaliknya Toyib tak punya muka bertemu Siti.

    Bertahun-tahun kemudian, air kembali mempertemukan Toyib dan Siti. Hanya saja, luka di masa lalu membuat keduanya masih menjaga jarak. Masing-masing menempuh jalan hidupnya, untuk akhirnya kembali bertemu di sebuah sumur.

    Kesulitan hidup membuat cinta Toyib dan Siti menjadi kandas. Namun mereka menjadikan sebuah sumur sebagai mediasi di antara keduanya.

  • Mia An Nur

    Toyib dan Siti menambah daftar panjang kisah dua sejoli yang memilukan. Tak ada yang pasti dari perasaan "saling" bila takdir menggariskan untuk tak bersama.

    Seperti tulisan Eka lainnya, kisah pedih kembali dituangkan yang kali ini dibuat dalam format cerita pendek. Senang rasanya usai membaca Sumur karena masih bisa menemukan kekhasan Eka dalam bercerita. Meski tak ayal hatiku terasa retak juga mengingat perjuangan Toyib dan nasib Siti.

    Akhir kata, aku jauh lebih senang karena bisa berkesempatan memeluk karya yang dicetak terbatas ini. Penantian hampir sebulan demi prapesan kini telah terbayar tuntas.

  • Dedul Faithful

    Aku pikir buku ini akan lebih tebal dari dugaanku. Aku kira kurleb lima puluh halaman yang ada di dalamnya memuat font dengan ukuran lebih kecil. Ternyata dugaannku salah.

    Cerita yang ada di dalamnya sangat menyedihkan dan tentu saja menawarkan konflik yang bisa bikin emosi. Endingnya enggak ketebak. Kayaknya udah memenuhi semua aspek standar sebuah cerpen.

    Akan lebih baik jika cerita dalam buku disatukan dalam kumpulan cerpen saja agar harganya bisa lebih murah. Maksudnya dari segi kemasan, agaknya ini kemahalan enggak sih? Setuju enggak? Cuma ya, siapa yang gak mau ngoleksi karya-karya Eka. Bisa aja strategi penerbitnya.

  • Bunga Mawar

    Hanya perlu kurang dari setengah jam untuk membaca buku ini. Sebuah cerita yang bahkan (buat saya) lebih singkat daripada cerpen "Cinta Tak Ada Mati", salah satu cerita Eka Kurniawan dalam buku kumcer berjudul sama.

    Satu kalimat sebagai ikhtisar buku, "Yang menderita bukan hanya aku dan kamu, tapi semua orang."

  • Fathiyah

    Aku suka dengan narasinya yang gak berbelit-belit. Gaya bahasanya teratur dan konflik yang disuguhkan cukup buat membangkitkan emosi. Tapi aku kurang sreg di ending. Ads rasa kurang puas aja gitu

  • Karina

    Bukan tipikal cerita yang punya alur berkelok-kelok. Sederhana tapi tetap painful :(
    Ilustrasinya menarik, suka.