Komitmen Sosial dalam Sastra dan Seni: Sejarah Lekra 1950—1965 by Keith Foulcher


Komitmen Sosial dalam Sastra dan Seni: Sejarah Lekra 1950—1965
Title : Komitmen Sosial dalam Sastra dan Seni: Sejarah Lekra 1950—1965
Author :
Rating :
ISBN : -
ISBN-10 : 9786239465506
Language : Indonesian
Format Type : Paperback
Number of Pages : 240
Publication : First published January 1, 1986

Komitmen Sosial dalam Sastra dan Seni menghadirkan gambaran perjuangan realistis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), tidak saja perihal perdebatan mengenai arah kebudayaan nasional dan internasional, tetapi juga mengenai perbedaan pendapat dan pendirian dalam tubuh Lekra di pusat dan daerah. Keberagaman pandangan dan pendapat dalam Lekra tidak terbatas pada asas ideologi dan rumusan gagasan, melainkan juga soal langkah praktis dalam segala bidang kesenian untuk mewujudkan kebudayaan nasional berdasar kebenaran yang mereka yakini. Gambaran ini sekaligus membuktikan secara terbalik predikat yang selama ini disematkan terhadap Lekra, yang dicap sebagai tukang onar kebudayaan.

Jika tidak terjadi pembunuhan massal menyusul peristiwa G30S yang juga menghancurkan Lekra, organisasi kebudayaan terbesar pada masanya ini genap berumur tujuh puluh tahun.


Komitmen Sosial dalam Sastra dan Seni: Sejarah Lekra 1950—1965 Reviews


  • Christan Reksa

    Perkenalan saya pada karya2 maestro bernama Pramoedya Ananta Toer menghadirkan penasaran pada lembaga yang mana Pram pernah berafiliasi: Lembaga Kebudajaan Rakyat (Lekra). Organisasi kebudayaan sayap kiri yang menorehkan begitu banyak karya seni & mempengaruhi budaya Indonesia pasca-kolonialisme secara luas, sebelum pembantaian 1965-66.

    Akibat pembumihangusan segala jejak gerakan kiri di masa Orde Baru, untuk beberapa waktu hanya ada sedikit informasi tentang Lekra, sepak terjangnya, perang ideologinya dengan Manifes Kebudayaan (Manikebu), & dampaknya terhadap kesusastraan Indonesia. Bila ada, itu dari rival2 ideologisnya & penebar propaganda hitam atas gerakan kiri. Dampaknya, pemahaman budaya nasion Indonesia menjadi begitu homogen.

    Buku rilisan Pustaka Pias terjemahan karya Keith Foulcher pada 1986 ini merupakan riset yang menyegarkan, menawarkan sudut pandang pihak ketiga. Bukan dari pihak2 penentang yang mendominasi, bukan pula dari mantan anggota yang masih menyintas. Tak ada romantisme masa lalu ataupun celaan subjektif.

    Hasilnya adalah ulasan 15 tahun kiprah Lekra yang sungguh unik. Lahir dari kegelisahan seniman2 akan miskinnya dunia seni Indonesia yang pula tak lepas dari efek sisa budaya kolonial, Lekra adalah wadah bagi yang ingin menghadirkan karya kritis yang mewakili semangat antikolonialisme, aspirasi kelas buruh & tani, maupun kritik sosial yang menggetarkan hati dalam perjuangan menjadi bangsa yang bertumbuh.

    Riset Foulcher lebih berfokus pada karya tulis (buku, esai, puisi, roman), namun dari situ saja sudah tampak bagaimana Lekra begitu tekun menggumuli propaganda budaya sebagai penggerak rakyat yang luar biasa, bahwa ideologi harus berimbang dengan estetika (walau kadang karena terlalu fokus ideologi, estetikanya menjadi miskin), & suara2 minoritas harus dibangkitkan.

    Jelang peringatan 77 tahun Indonesia, banyak sejarah bangsa terluput. Buku ini adalah "pintu" yang baik untuk mengenali satu aspek sejarah yang dibungkam era otoriter: bahwa gerakan kebudayaan kita pernah begitu progresif, dengan segala kelebihan & kekurangannya.

  • Saad Fajrul

    Dalam pengantar buku yang disampaikan oleh Ariel Heryanto (dipublikasikan pada 1987), kita diingatkan bahwa selama ini pembahasan mengenai Lekra lebih banyak dibahas oleh orang yang tidak terlalu menyukainya atau oleh mereka yang dulu merupakan anggotanya.

    Buku ini hadir sebagai orang ketiga yang bukan merupakan kawan maupun lawan. Dari sanalah saya berangkat untuk membaca buku ini dan mencoba memahaminya. Banyak hal yang bisa ditelaah lebih jauh lagi selama saya membaca buku ini. Buku yang bagus yang bisa membantu kita untuk mengenal sedikit lebih dalam mengenai salah satu organisasi seniman yang sangat besar di eranya.

  • Andika Pratama

    Bagaimana ketika kita mampu melihat sejarah perkembangan suatu Bangsa melalui mata elang atau spectator yang tidak terlibat sebagai simpatisan ataupun oposisi dari perang ideologi yang melibatkan kelompok-kelompok tertentu (seperti Lekra)? Sedari awal, di pengantar buku ini Ariel Heryanto menekankan bahwa "kisah" yang selama ini kita dengar mengenai tumbuh-kembang Lekra sebagai salah satu kantung budaya dibentuk oleh kelompok yang membencinya.

    Minimnya akses terhadap bacaan yang mampu menjelaskan secara komprehensif sepak terjang salah satu kantung budaya terbesar di Asia ini membuat andil Lekra dalam perkembangan budaya Indonesia sendiri dipertanyakan. Buku ini, tentu saja, hadir sebagai tandingan dari wacana dominan yang sudah dikonstruksi sedemikian rupa oleh rezim Orde Baru selama 32 tahun masa pemerintahannya. Lekra yang disematkan dan dituduh sebagai alat propaganda politik PKI tentu saja tidak memiliki tempat dalam rentetan sejarah yang hendak dikenang pada masa itu.

    Ditulis oleh Foulcher sebagai pengamat dari sudut pandang ketiga, buku ini mencoba tetap netral dan mempertahankan sudut pandang demikian dalam menganalisis dan menjabarkan rentetan waktu kejadian yang membentuk Lekra hingga pembubarannya.

    Dengan gaya penulisan yang singkat, padat, dan jelas, buku ini menurut saya cukup mudah dimengerti dan menambah refrensi bacaan untuk melihat bagaimana "sejarah" Indonesia dibangun. Analisis Foulcher mengenai pandangan ideologis Lekra juga dilakukan berdasar pada data yang lengkap. Tidak cuma sampai di situ, Fouclher juga menjelaskan bagaimana penerapan ideologi Lekra yang terpengaruh oleh aliran "realisme sosialis" ala Maxim Gorky, juga aliran "realisme revolusioner" ala Mao ikut merasuk dalam praktik kerja kreatif anggota-anggotanya yang meliput Pramoedya Ananta Toer, dan nama-nama besar lainnya di masa tsb.

    Membaca buku ini, kita seolah diperlihatkan bahwa penyematan julukan seperti "tukang onar kebudayaan" justru tidak tepat sasaran mengingat betapa besar andil Lekra dalam mengukuhkan kebudayaan nasional secara utuh dan bagaimana Lekra melihat bentuk integrasi antar budaya daerah dan budaya nasional itu sendiri. Semangat anti-imperialisme tentu saja mengalir dalam setiap langkah kerja Lekra yang didasari pada ideologi "realisme sosialis" yang dipercaya harus dimiliki tiap seniman guna memiliki kesadaran untuk memihak rakyat.

    Foulcher tidak hanya menitikberatkan pembahasan pada corak budaya nasional, namun juga ikut andil dalam menelisik polemik yang selama ini selalu membelah arus budaya Indonesia: Lekra vs Manikebu. Dalam polemik ini, Foulcher melihat bahwa bagaimana pun corak ideologi budaya yang diusung keduanya memiliki kemiripan pada beberapa aspek, yang sebenarnya membuat Lekra dan Manikebu sebagai dua mata koin yang tidak dapat terpisahkan.

    Selain itu, di dalam buku ini dihimpun pula beberapa karya sastra anggota Lekra yang selama ini terbit melalui redaksi Zaman Baru sebagai bahan perbandingan dan pengukuhan definisi dari corak ideologis Lekra yang bergeser direntang 1950-1959 dan 1960-1965. Karya-karya yang dihimpun tentu saja adalah karya "utama" yang selama ini memiliki bentuk "revolusi" estetika, baik secara stilisik (puisi) maupun struktur naratif (prosa), dengan demikian pembaca pun dapat mengerti bagaimana definisi "karya revolusioner" yang dimaksud oleh Lekra sendiri.

    Suatu langkah besar menerbitkan buku ini dalam bahasa Indonesia, untuk mengembalikan lagi sejarah bangsa yang hilang.

  • Joshua

    Sebuah karya yang penting untuk mengenal dan mulai memahami sejarah sastra di Indonesia secara utuh. Lekra, sebagai lembaga yang memiliki tujuan dalam mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan kerakyatan hampir tidak memiliki jejak yang dapat dipelajari atau diakses secara mudah, bahkan di Indonesia dewasa ini. Kebobrokan penulisan sejarah oleh Orde Baru telah berhasil menghapus bagian penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia.

    Buku ini menuliskan kembali sejarah tersebut secara umum, luas, dan mudah dimengerti. Tidak hanya analisis penulis terhadap kronologis peristiwa yang dilewati Lekra dalam periode tersebut yang disajikan secara padat dan singkat, tetapi juga penyajian kembali karya-karya Lekra yang dianggap penulis penting dan/atau dapat diakses turut memberi gambaran kepada pembaca bentuk dari seni kebudayaan yang "revolusioner" dalam konteks Lekra.

    Saya sangat berterima kasih atas kehadiran buku ini dalam Bahasa Indonesia oleh Pustaka Pias. Terjemahan masih memiliki kekurangan dengan membutuhkan pembaca untuk menyesuaikan diri dengan gaya penulisan kembali dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah, setidaknya ini yang harus saya tempuh dengan melewati Bab 1. Namun, melewati bab-bab berikutnya, saya kira pembaca tidak lagi akan mengalami kesulitan dalam memahami arti atau pesan yang ingin disampaikan kalimat per kalimat.

  • Adhimas Prasetyo

    Salah satu buku yang cukup penting tentang perkembangan sejarah sastra Indonesia. Dalam buku ini, Lekra diangkat bukan dengan cara stigmatik maupun heroik. Keith Foulcher, sebagai orang ketiga-meminjam istilah dari Ariel Heryanto-memaparkan bagaimana Lekra berkontestasi di tengah arena sastra di Indonesia dengan apa adanya. Buku ini menjelaskan tentang ketegangan Lekra ketika mencoba untuk merumuskan bentuk seni sastra yang memiliki komitmen sosial sekaligus dapat diterima baik oleh anggota Lekra sendiri, juga oleh masyarakat.

    Terjadi pertentangan di dalam tubuh Lekra untuk mencari bentuk yang paling sesuai dengan cita-cita Lekra. Paham realisme sosialis yang diadopsi oleh Lekra pada akhirnya membatasi Lekra untuk bersaing secara estetika dengan lawan ideologisnya. Salah satu hal yang menarik dalam buku ini adalah pemaparan tentang bagaimana anggota Lekra menentang sekaligus menganggumi karya penulis yang berada di luar kelompoknya, yaitu si individualis Chairil Anwar.

    Menurut saya, terjemahan dari cetakan pertama buku ini masih bisa disesuaikan lagi dalam kaidah bahasa Indonesia untuk lebih memudahkan pembaca. Selain itu masih ada beberapa salah tik yang luput dari penyuntingan.

  • Fajrina Nadya

    Tidak ada kata terlambat untuk apapun. Seperti dalam membaca buku ini. Kita haruslah sadar bahwa Lekra adalah bagian dari sejarah kita. Penulis buku ini, Keith Foulcher, merupakan pihak ketiga yang melihat bagaimana Lekra sebagai sebuah organisasi kebudayaan. Sungguh penggambaran dan pejelasannya begitu detail dan membuat kita terperangah karena dalam zamannya, Lekra memang sebuah organisasi kebudayaan yang begitu brilian. Nama-nama dalam buku ini pun mungkin sangat familiar bagi kita semua. Sungguh buku ini haruslah dibaca untuk menambah sudut pandang baru.

    Lebih jauh dari itu, yang benar-benar saya sukai adalah adanya antologi sastra Lekra. Kereeeeeennn bangettt!!! Bintang 4 untuk semua kesempurnaan ini uwuu apik tenan, terutama terjemahannya. Sungguh luar biasa!

  • Audya

    Karya yg tepat untuk dijadikan anak pertama Pustaka Pias. Buku ini menjadi pegangan penting untuk siapa pun yg ingin melacak jejak perkembangan Lekra. Kita bisa mengetahui bagaimana Keith Foulcher membaca dan menuliskan kembali sejarah organisasi ini secara detail serta berimbang.