Title | : | Absolute Justice |
Author | : | |
Rating | : | |
ISBN | : | - |
ISBN-10 | : | 9786025186011 |
Language | : | Indonesian |
Format Type | : | Paperback |
Number of Pages | : | 268 |
Publication | : | First published November 10, 2016 |
Absolute Justice Reviews
-
Kalau aku jadi temennya Noriko, mungkin bakal ngelakuin hal sama. Kebenaran ndasmu~
Resensi lengkap:
http://www.tsaputrasakti.com/2018/05/... -
Akhirnya aku suka konten buku Akiyoshi Rikako lagi. Aku suka buku ini bukan karena biased (Umm, tapi pasti ada sih biased dikit mah wong Akiyoshi Rikako udah jadi penulis autobuy-ku 😂)
Tapi emang isinya pun oke, menurutku.
Cerita dimulai saat Kazuki mendapat amplop undangan warna ungu cantik dari seseorang yang dibunuhnya lima tahun lalu.
Bab pembukaan loh itu. Banyak pertanyaan di kepalaku. Kenapa Kazuki membunuh? Gimana bisa ada surat dari orang mati? Apa yang bakal terjadi pas dateng memenuhi undangannya? Tik tok tik tok.
Saking penasarannya, aku baca ini terus-terusan. Dan... ugh. Kontennya relate banget sama pertanyaan paling mendasar setiap manusia.
Apa yang akan kamu pilih? Menjadi 'benar' atau menjadi 'baik'?
Buku ini berhasil bikin aku ikutan kesel, ikutan sebel, dan ikutan merasa miris sama keadaan. Amanat ceritanya bagus.
Buku ini nyelip jadi buku Akiyoshi Rikako yang aku suka setelah Holy Mother dan Girls in the Dark.
Overall, 4🌟 dariku! Thanks to Penerbit Haru yang sudah menerjemahkan buku ini dengan baik. Kovernya juga bagusss. -
Sekarang gue ngerti kenapa orang-orang pada kesel baca novel satu ini 😂
Pertama, sinopsis di belakangnya cuma ada satu kalimat "Seharusnya monster itu sudah mati." Mau ngebayangin apa dari sinopsis kayak gitu 🙈 tapi di sisi lain, memang sangat mengundang rasa penasaran untuk baca ceritanya.
Alurnya maju mundur, tapi gue nyaman bacanya. Perbedaan waktu antara satu alur dan lainnya, jelas, jadi pembaca paham apa yang terjadi dan kapan. Terjemahannya juga enak (jauh berbeda dari novel jepang yang gue baca sebelum ini dan akhirnya gue kasih rating rendah).
Penulisnya bisa banget nyuguhin karakter yang menyebalkan tapi sekaligus bikin dilema. Paham banget gimana perasaan teman-teman dari tokoh 'itu'.
Twistnya juga menarik. Bukan twist yang bikin kaget banget, karena memang dari awal kita udah disodorin berbagai macam 'keanehan' dari tokoh 'itu'. Jadi ketika alur cerita menuju ke arah tersebut, ga heran tapi tetep ... kesel.
Kalau gue pribadi sih, pengen tahu cerita dari sudut pandang si tokoh 'itu'. Karena agak kurang diceritain di sini. -
Kesal ah.
Pokoknya kesal sama Noriko.
Jika aku temannya, mungkin aku akan melakukan hal yang sama terhadap Noriko.
Dih! Amit-amit orang seperti itu (masih kesal)
.
.
Full review
.
.
Seharusnya monster itu sudah mati…
Membaca blurb di sampul belakang yang hanya berupa satu kalimat di atas menimbulkan rasa penasaran yang berujung ingin segera membaca buku ini.
Sebelumnya aku sudah membaca tiga buku karya Akiyoshi Rikako yang diterbitkan oleh Haru.
The Girls in The Dark langsung membuatku "klik" dengan ceritanya dan tanpa sadar membaca bukunya hanya dalam satu malam tahun 2016 lalu.
Holy Mother adalah buku kedua yang aku baca dan lagi-lagi cukup membuat tercengang. Penulisan yang rapi sekali. Bahkan terjemahannya pun mampu mengecoh pembacanya.
The Dead Returns buku ketiga yang aku baca. Buku ini aku baca bulan Ramadhan kemarin dan mendapatkan cerita yang menyenangkan dan termasuk tipe buku yang fast read.
Aku punya Silence sih, namun belum kubaca. Segera deh.
Kalau "Schedule Suicide Day" belum aku miliki. Mungkin segera juga.
Membaca ulasan yang rata-rata positif terhadap buku Absolute Justice ini membuatku semakin bersemangat segera membacanya.
Membaca kata monster di sampul belakang membuatku membayangkan ada sentuhan fantasi di buku terbaru Akiyoshi Rikako ini. “Wah, ada monster.” Pikirku, apalagi covernya bernuansa gelap dengan tambahan tengkorak menguatkan kesan misterius dengan sentuhan fantasi.
Tentu saja aku salah besar. Absolute Justice ini tidak ada sentuhan fantasinya sama sekali. Malah buku ini tentang kehidupan sehari-hari. Tentang benar dan salah. Tentang rasa adil, maaf, dan rasa kemanusiaan. Tentang kejahatan dan balasannya.
“Manusia, harus menuruti aturan. Karena itu, menangkap pelaku tindak criminal yang mengganggu adalah sesuatu yang wajar. Menerima ucapan terima kasih atas itulah yang tidak masuk akal.” – Hal.20
Jujur, agak susah mengulas buku dengan tipe cerita seperti Absolute Justice ini tanpa membocorkan cerita yang ada di dalamnya. Semakin sedikit yang kalian ketahui mengenai buku ini, maka kepuasan yang kita dapatkan semakin besar pula. Semakin banyak yang kalian tahu, bisa jadi kenikmatan yang kalian dapatkan sangat jauh berkurang. Oleh karena itu, aku tidak akan bercerita banyak mengenai cerita Absolute Justice ini. Biarlah kalian yang membaca ulasan ini dan belum membaca mencari tahu sendiri dengan segera membaca buku ini.
Gaya penulisan buku ini mirip dengan “Girls in The Dark” yaitu bercerita dari beberapa sudut pandang tokoh dalam buku ini. Ada lima orang yang menjadi sahabat sejak bangku sekolah. Kazuki, Noriko, Yumiko, Riho, dan Reika. Akan ada cerita dari sudut pandang masing-masing tokoh di setiap bab.
“Seratus persen benar, tanpa ada rasa toleransi dan kemanusiaan, ternyata bukanlah hal yang baik.” – Hal.159
Cerita dibuka dari sudut pandang Kazuki yang mendapatkan kartu undangan pernikahan. Mendapati pengirim dari sahabatnya yang seharusnya sudah meninggal tentu saja membuatnya terkejut. Masalahnya adalah, Noriko, temannya dulu sudah meninggal dan Kazuki lah yang membunuhnya.
Kisah pun bergulir ke masa lalu dan kita akan membaca kisah yang membuat kita merenung akan kebenaran dan bagaimana masing-masing orang menanggapinya. Begitu pula dengan kisah yang dipaparkan Yumiko, Riho, dan Reika. Bagaimana kehidupan dan masalah yang mereka hadapi. Bagaimana Noriko hadir dan turut campur dalam kehidupan mereka, membuat aku sebagai pembaca meresakan desakan emosi (yang lebih banyak berwujud rasa geregetan dan kesal). Oleh karena itu,
Jika kalian sering membaca manga, menonton anime atau film dari negeri Sakura, maka kalian akan cukup familiar dengan kisah dan akhir seperti Absolute Justice ini. Bagus. Aku selalu suka.
Walaupun cerita yang cukup familiar dari negeri Sakura, yang membuat kisah Absolute Justice ini keren dan luar biasa adalah penokohan yang sangat kuat. Akiyoshi Rikako pandai dalam menciptakan karakter Noriko. Karakter Noriko yang menegakkan kebenaran dan berpatokan dengan “apakah perbuatan tersebut melanggar hukum atau tidak”. Begitu pula dengan empat tokoh lainnya dengan karakter mereka yang semakin menguatkan cerita dan emosi para pembaca.
Empat sahabat dengan masing-masing sifat dan karakter, serta interaksi dengan Noriko yang menimbulkan konflik dan motif tindakan mereka di masa lalu diceritakan dengan sangat baik.
Alur yang maju dan mundur, serta penceritaan yang tidak berulang semakin memperkuat cerita ini dan semakin memainkan emosiku sebagai pembaca. Aku sering merasa kesal sama tokoh dan kejadian di buku ini. Artinya tentu saja Akiyoshi Rikako sangat berhasil membuat cerita dengan karakter yang kuat di dalamnya. Selama membaca aku pun memiliki keputusanku sendiri jika berhadapan dengan kebenaran versi Noriko. Keputusan yang (mungkin) akan diambil juga oleh orang lain dalam situasi yang sama.
“Apakah kebenaran yang sempurna itu hal yang barbar, keras, dan jahat? Di sana tidak ada celah sedikit pun bagi kebaikan dan pengertian untuk masuk.” – Hal.226
Hal yang aku tangkap dari cerita ini adalah bahwa kebenaran itu bukanlah segalanya, kebenaran itu suatu hal yang baik namun bukanlah suatu hal yang mutlak dan menjadi patokan dalam menghukum orang yang bersalah. Hukum di dunia dibuat oleh manusia, tidak seratus persen benar dan sempurna. Selain hukum tertulis, masih ada hukum adat, sosial, hukuma moral, dan juga tentu saja agama.
Selain hubungan dengan sang maha Pencipta, ada hubungan dengan sesame manusia dan juga alam sekitar. Tidak akan menghasilkan hal yang benar jika kita menegakkan kebenaran atas dasar persepsi kebeneran kita sendiri.
Pada akhirnya, kisah Absolute Justice ini akan membuatmu memikirkan kebenaran itu apa, bagaimana kita menghadapinya, bagaimana kita menilainya, dan tentu saja membuat kita merenungi bahwa hakikat rasa kemanusiaan itu seperti apa di hadapan keadilan.
Namun, tentu saja pada akhirnya buku ini akan mengatakan
“Kebenaran itu hebat.
Kebenaran adalah… segalanya.” – Hal. 251
Aku suka buku ini dan merasa PUAS. -
Gw bingun mau nge-rate buku ini....
Sure, it's a turner pages book, ceritanya menarik, plotnya juga enak bahkan dengan alur maju mundurnya tidak mengurangi kenyamanan dan suspense nya...
TAPIIIIIIIIIIIIIII......
Gw benci banget buku ini!
Belum pernah ada cerita yang bikin gw seemosi ini. Awalnya gw cuma emosi ama Noriko, tapi kenaifan dan kebodohan teman-teman Noriko lama-kelamaan getting on my nerves!
Like.... mereka temenan dari SMA, udah banyak insiden yang melibatkan mereka dan Noriko, tapi tetep aja mereka punya pembenaran atas semua kelakuan Noriko yang kebablasan. Apalagi namanya kalo bukan BEGOOOO!
Even anak Noriko dari SD udah planed her murder, meski gagal
Anak SD lebih punya OTAK daripada perempuan-perempuan dewasa ini!
Kemudian endingnya...
Gw ngerasa Akiyoshi nulis cerita ini emang cuma niat buat bikin emosi pembacanya, dia gak kasih closure yang proper buat pembela-kebenaran-yang-kebablasan. Yah bikin kek semacam karma gitu -.- (dikira sinetron hidayah indosiar.... :p)
Terus apa-apaan itu cerita tambahan tentang anjing liar?!!!!
As if gak cukup bikin emosi sepanjang 268 halamannnnn?!!!
fiuhhhh...
You know what, tiap kali gw mau ngelanjutin baca buku ini gw mesti tarik nafas dulu, calm myself down first....
Jadi gw putusin buat gak nge-rating buku ini
Still it's a good book, Akiyoshi did it again, dia lagi-lagi menampilkan tema yang berbeda dari cerita2 dia sebelumnya
TAPI GW GAK MAU KASIH RATING!!!! -
When justice is asserted without mercy or compassion, what will the world become?
•
Hebat sekali Rikako-sensei dapat membuat sesosok monster yang luar biasa mengesalkan dalam buku ini...sampai-sampai aku pun ingin ikut membunuhnya.
•
Absolute Justice mengisahkan sesosok monster dari sudut pandang keempat korbannya.
Laju cerita cukup cepat dan membuat pembaca tak sabar untuk mengetahui endingnya.
Endingnya sendiri cukup oke menurutku.
Maaf aku ngga bisa cerita banyak, khawatir spoiler, mendingan teman-teman baca dan nikmati sendiri kekesalannya...eh, keseruannya.
•
Moral of the story:
don't let a monster breed. -
Anti-villain: a villain with heroic goals, personality traits, and/or virtues. (*dari situs TV Trope)
Ini buku kelima dari Akiyoshi Rikako yang saya baca…. dan kali ini, sinopsis cover belakangnya sangat pelit informasi. Hanya satu kalimat, yang seakan-akan menantang, ”Ayo, ayo, penasaran kan isinya tentang apa? Penasaran kan ‘monster’ di sini maksudnya apa?” Hahaha… dan seperti sebelum-sebelumnya, saya membabat habis buku ini dalam kurang dari dua hari dengan bahan bakar berupa rasa penasaran.
Jadi, keunggulan utama novel ini adalah gambaran sosok anti-villain yang efektif. Walaupun bukan merupakan narator atau protagonis, sosok ini sangat mendominasi isi bukunya. Plot, konflik, tema, hingga struktur—semua elemen narasi berputar di sekelilingnya, dan kelakuannya juga sangat ampuh memancing emosi dari pembaca. Entah berapa kali saya geleng-geleng kepala, ketawa guling-guling, atau bahkan nyaris melempar bukunya, saking edannya sepak terjang si tokoh yang satu ini.
Ada beberapa titik lemah yang muncul karena hal itu. Pertama, ada kesan repetitif karena banyak penekanan tentang hal yang sama, meski diceritakan dari beberapa sudut pandang. Kedua, saking dominannya sang tokoh sentral, penokohan karakter-karakter lainnya jadi terasa lemah atau kurang mendalam. Ketiga, ada kesan bahwa si tokoh tersebut terlampau dipaksakan untuk dibenci oleh pembaca, padahal penokohannya dan prinsip yang diwakili oleh dirinya bisa dibuat lebih halus dan abu-abu.
Namun, pada akhirnya saya tetap merasa judul ini istimewa. Kesimpulan ceritanya memang tak terduga (seperti biasa), tapi alih-alih twist-nya, saya lebih terkesan oleh penceritaan epilog dan cerpen tambahan . Ada endapan psikologis mencekam yang tertinggal, dan sukses membuat saya kepikiran semalaman setelah menyelesaikan bukunya.
Ada pertanyaan.... apa karena saya tumbuh di lingkungan negara yang terkenal permisif terhadap hukum, penolakan untuk menyimpang dari peraturan barang sedikit pun jadi terasa amat menyebalkan? Apa kita terlalu sering menggunakan ‘faktor kemanusiaan’ sebagai justifikasi untuk menyimpang dari peraturan, padahal alasan sebenarnya adalah untuk keuntungan pribadi?
.....dan di lain sisi, saya juga tersadar bahwa semakin banyak sosok 'Pahlawan Pembela Kebenaran' yang muncul di sekitar kita, mereka yang menggunakan hukum/peraturan tertulis sebagai senjata untuk melakukan persekusi dan mengganyang pihak-pihak tertentu, baik untuk memajukan agenda pribadi/golongan..... maupun sekadar untuk kepuasan batin karena sudah berhasil 'menegakkan kebenaran dan keadilan'. -
This book literally wanted to test my patience and sanity.
-
BUKU TERMENYEBALKAN YANG PERNAH AKU BACA!!!
Ya, aku sampai menulisnya dengan huruf kapital karena buku ini semenyebalkan itu. Karakter Noriko yang akan membuat kita sebal dari awal hingga akhir membaca buku ini. Argh, rasanya ingin membanting bukunya karena saking keselnya sama tokoh Noriko.
Hmm, Absolute Justice (kebenaran yang absolut)
Buku yang sangat menguras emosi pembacanya untuk tetap sabar. Buku ini diceritakan dari beberapa sudut pandang yaitu Kazuki,Yumiko,Riho dan Reika. Mereka semua adalah sahabat Noriko semasa SMA. (hmm hampir mirip girls in the dark ya)
Pahlawan kebenaran atau monster yang mengatasnamakan kebenaran?
Overall kesel banget sama ceritanya -
Setelah beberapa kali ketinggalan buku diskon akhirnya dapat juga dengan harga yang oke buat kantong! Baca dan menamatkan ini dalam seharian penuh karena bukunya segera di adopsi teman! Keblenger?
Baca ulasan lebih lengkap di
https://fictionornonareokay.wordpress... -
Pertama-tama, buku ini cocok banget bagi yang ingin melepas kangen dan merasakan aroma thriller sejenis Girls in the Dark (karya Akiyoshi Rikako yang terdahulu) sekali lagi. Menurut saya, ini buku yang paling mirip dengan Girls in the Dark.
Alur penceritaannya mirip, diceritakan dari sudut pandang empat wanita yang merupakan sahabat karib dari Noriko Takaki, sang Absolute Justice.
Satu per satu kisah pertemanan pribadi mereka dengan Noriko dikupas. Apa yang mereka sukai dari Noriko dan apa yang membuat mereka benci.
Misteri telah diungkap dari bab-bab awal, tetapi tidak mengurangi rasa penasaran saya untuk mengetahui bagaimana kisah mereka selama bertahun-tahun. Semua memiliki masalahnya masing-masing.
Buku ini lebih menekankan ke sisi thriller dibandingkan dengan misteri. Tidak ada plot yang spesial seperti pada Holy Mother tetapi plot twist-nya cukup membuat saya merinding disko waktu membaca di jam satu pagi.
Seperti biasanya, gaya penulisan Akiyoshi yang misterius mampu membius saya untuk terus membaca chapter demi chapter.
Satu lagi, judul Absolute Justice ini sangat "mencerminkan" cerita dari novel ini, seperti judul Holy Mother yang benar-benar menceritakan tentang "ibu yang suci". Saya suka dengan judul yang sangat bermakna dibalik Absolute Justice.
Dan tentunya, ini menjadi buku Akiyoshi favorit kedua setelah Holy Mother.
Good job, sensei! Thank you Penerbit Haru, ditunggu selalu terjemahan buku Akiyoshi Rikako berikutnya. :) -
Absolute Justice bercerita tentang Kazuki yang berteman dengan Noriko setelah Noriko menolongnya dari pelaku pelecehan seksual. Awalnya Kazuki mengagumi rasa keadilan di dalam diri Noriko yang begitu luar biasa, tapi pelan-pelan dia merasa ada sesuatu yang salah dengan keadilan yang Noriko miliki.
Puluhan tahun setelahnya, Kazuki menerima undangan pernikahan dari Noriko. Hal ini membuat Kazuki takut dan menghubungi ketiga sahabatnya: Yumiko, Riho, dan Reika. Bersama ketiga sahabatnya sejak masa sekolah itu, Kazuki berusaha menemukan siapa yang berpura-pura menjadi Noriko, wanita yang telah mereka bunuh itu."Pokoknya aku tidak punya minat pada hal lain selain hal yang benar. Dan aku tidak bisa memaafkan kesalahan." -Noriko (hal. 39)
Novel yang sungguh mengaduk perasaan. Rasanya siapa saja yang membaca novel ini bisa paham kenapa Kazuki, Yumiko, Riho, dan Reika sampai membunuh Noriko. Yah, kecuali kalau kamu punya tunnel vision tentang keadilan seperti Noriko. Saya yang baca saja rasanya gemas dengan Noriko yang memandang hidup dengan sebuah lensa hitam-putih. Hanya ada benar atau salah bagi Noriko.Noriko bukan orang jahat. Tidak, tidak salah lagi, ia orang yang baik karena selalu melakukan hal yang benar. (hal. 61)
Sebenarnya novel ini tidak terlalu berat ke unsur thriller-nya. Ceritanya tidak berupa kisah detektif yang mencari petunjuk dan mengungkapkan teka-teki, tapi lebih kepada kehidupan para tokohnya serta hubungan mereka dengan Noriko. Bagaimana keempat wanita yang adalah sahabat Noriko bisa menyukai dan percaya dengan Noriko, tapi kemudian bersama-sama membunuhnya.
Secara keseluruhan, Absolute Justice adalah novel yang mampu mengaduk perasaan pembaca. Di satu sisi ingin mendukung penegakan hukum dan keadilan yang Noriko miliki, tapi di sisi lain juga membuat pembaca bertanya mengenai bagaimana sebaiknya hukum dan keadilan itu ditegakkan. -
Duh, buku ini harus ku review seperti apa ya? Jujur bingung. Sepanjang membaca buku ini, aku emosi banget. Astaga. Apalagi kalau udah melihat si tokoh utama muncul.
Pada intinya, buku ini menceritakan mengenai pembunuhan terhadap Takaki Noriko oleh 4 orang sahabatnya, yaitu Kazuki, Reiko, Yumiko, dan Riho. Namun, beberapa tahun kemudian, mereka mendapatkan surat dengan nama Noriko sebagai pengirimnya. Tentunya mereka kaget karena mereka mengira telah berhasil membunuh Noriko. Mengapa mereka sampai tega membunuh sahabatnya sendiri? Itu lah yang akan dikupas oleh penulis dalam buku ini.
Setiap tokoh mendapat babnya sendiri-sendiri untuk mengungkapkan alasan kekesalan mereka terhadap Noriko. Namun, Noriko sendiri tidak mendapatkan bagian untuk bercerita dari sudut pandangnya. Walaupun begitu, Akiyoshi-sensei menghubungkan cerita setiap tokoh dengan sangat apik sehingga menjadi satu cerita keseluruhan.
Jangan terlalu berharap akan ada plot twist yang mantap seperti Holy Mother karena itu tidak akan ada. Namun, Absolute Justice secara keseluruhan akan lebih memainkan emosi dan pikiran para pembaca hingga membuat pertanyaan besar "apa sebenarnya kebenaran yang sempurna itu?" "Bagaimana yang bisa disebut sebagai kebenaran?"
Dari novel ini, saya dapat melihat bahwa keadilan yang tidak dibarengi dengan kemanusiaan akan sangat berbahaya.
Saya harus berterimakasih kepada teman saya Lia karena sudah merekomendasikan buku ini. Benar-benar buku yang menguras emosi di awal tahun, hahaha. -
~wuih! (★ω★)💦
Mengutip Pontius Pilatus, "Apakah kebenaran itu?"
Untungnya Pilatus ngga ikut tampil di buku ini. Kalo ketemu Noriko, bisa-bisa Pilatus ngga cuma cuci tangan, tapi cuci muka, gosok gigi, dan mandi sekalian~
Noriko berjasa besar bikin pembaca yang mudah kegoda buku lain untuk tetap membaca buku ini sambil misuh-misuh. Namun, mendekati akhir dan ketika sampai di garis finish, pembaca bukannya ketawa melambai-lambai ala pelari maraton, "horeee akhirnya kelar satu buku tbr", tapi malah jadi kepikiran macem-macem.
Apa itu kebenaran?
Apa kebenaran tiap individu berbeda, dan kebenaran yang diakui hanyalah kebenaran individu yang memiliki kesamaan secara mayoritas?
Apa jika kita benar secara individu tapi salah secara kebenaran-mayoritas, kita tetap disalahkan?
Di mana keadilan? Apa di individu yang tidak tersangkut sama sekali dalam kebenaran dan ketidakbenaran individu yang diadilinya?
Secara teori, mungkin bisa dijawab dan dibenarkan. Karena semua ada undang-undangnya, semua ada hukumnya.
Tapi secara praktek, semua bisa jungkir balik sesuai situasi dan kondisi individu yang diadili.
Karena itulah sistem keadilan ndak terletak di satu orang manusia. Novel ini berhasil menceritakan 'monster' yang hidup dengan menghakimi dan menjalankan keadilan secara sepihak, serta 'melahap' "kebenaran" dirinya sendiri melalui ketidakbenaran orang lain.
5☆ untuk pembolak-balikan kebenaran ala monster! (≧▽≦)
Buatku, tetep berlaku kata-kata James (*bukan tokoh di novel ini juga ^^): "Belas kasihan akan menang atas penghakiman." -
Siapa yang sudah bikin klub buat haters-nya Noriko? Aku mau daftar. Ini mungkin novel karya Akiyoshi Rikako yang paling bikin kepingin terus misuh-misuh. Ada nggak ya orang kaya Noriko di dunia nyata? Amit-amit dah jangan sampai ketemu sama psikopat kayak gini. Jadi was-was, jangan-jangan ada juga satu-dua orang pembaca yang setuju sama sikap Noriko. *lirik kanan-kiri dengan cemas.
Tapi ada yang aneh. Mau sememuja apa pun pada kebenaran, Noriko kan manusia biasa. Masak dia bisa sesempurna itu dalam menjalankan hukum-hukum yang ada? Pinginnya sih ada bagian waktu dia ngelakuin kesalahan and taste her own medicine. Terus di Jepang apa nggak ada hukum atau pasal untuk perbuatan tak menyenangkan, teror, dan mengorek-korek kehidupan pribadi orang lain seperti yang dilakukan Noriko? Dan kalau baca soal hukum-hukum di novel ini, hukum pajak di Jepang itu ribet, ya. Sampai ada yang untuk pajak donasi segala. Masa donasi dikasih pajak? *atau di sini sebenarnya juga ada?
BERSAMBUNG -
Noriko lu tuh gak diajak.
-
"Seharusnya monster itu sudah mati..."
Dengan satu baris blurb berisikan kata "monster", saya langsung berasumsi kalau buku ini akan memiliki style yang serupa dengan Silence (walau itu tidak mengurangi keinginan saya untuk tetap membeli buku ini- ya, Akiyoshi Rikako merupakan salah satu author autobuy untuk saya). Namun rupanya, setelah saya mulai membacanya, buku ini jauh lebih mirip dengan Girls in the Dark.
Dimulai dari alur yang digunakan pada Absolute Justice, di mana pembaca akan dibawa untuk melihat masa lalu/latar belakang dari keempat tokoh utamanya. Kemudian, inti permasalahan pada Absolute Justice yang berakar pada sesosok "monster".
Namun tentunya, tidak berarti kalau tidak ada bedanya antara membaca Girls in the Dark dan Absolute Justice. Menurut saya, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Girls in the Dark lebih terasa kelam dan gelap- lebih kental akan misterinya, sementara Absolute Justice tidak membuat saya merasakan ketegangan tersebut. Namun di sisi lain, saya merasa kalau Absolute Justice ini lebih- "dinamis", bisa dikatakan. Mungkin hal tersebut dikarenakan karakter yang ada di dalamnya masih tetap diceritakan berusaha "melangkah" di masa kininya, tidak seperti pada Girls in the Dark di mana fokus dari cerita sepenuhnya ada di masa lalu dan para karakternya hanya dapat "duduk manis" mendengarkan.
Absolute Justice sendiri, bercerita tentang bagaimana keempat tokoh utama: Kazuki, Yumiko, Riho, dan Reika menghabiskan masa lalu mereka dengan sesosok yang mereka anggap monster: Noriko. Keempatnya bertemu Noriko pada saat mereka masih bersekolah, dan pada saat itu mereka "tidak sengaja" terlanjur bersahabat dengan Noriko tanpa mengetahui 'bahaya'nya. Bahaya apa? Bahaya bahwa Noriko adalah "monster" keadilan; sang "absolute justice" yang tidak mempedulikan hal apapun selain kebenaran, termasuk perasaan dan alasan mereka melakukan sesuatu. Bagi Noriko, aturan harus selalu ditepati; kesalahan sekecil apapun harus ditindak. Tidak ada ruang toleransi.
Dan kini, lima tahun sejak terakhir kali keempatnya bertemu dengan Noriko, Kazuki tiba-tiba saja menerima sebuah surat berwarna ungu muda dari Noriko. Namun Kazuki yakin... kalau Noriko seharusnya sudah mati- karena ia sendiri yang telah membunuhnya.
Memang tidak banyak "misteri" yang memberikan saya tanda tanya selama membacanya- kecuali mungkin seperti bagaimana Kazuki sudah membunuh Noriko? Namun, saya pun sama sekali tidak dapat berhenti membaca buku ini. Dalam one-sitting, saya berhasil menyelesaikan buku ini saking penasarannya untuk membalik halaman setiap kali saya selesai membaca satu halaman.
Saya juga menyukai tema yang diangkat dalam Absolute Justice, yang juga dapat menjadi sebuah "perenungan" bagi pembacanya: sejauh manakah "kebenaran" itu harus ditegakkan? Apakah harus segala "rasa" disingkirkan hanya demi kebenaran? Apakah membawa pulang alat tulis kantor harus dihitung sebagai "korupsi", dalam contoh ekstrimnya? Saya ikut dapat merasakan kebimbangan dari Kazuki dan teman-temannya, yang terombang-ambing antara "Ya, Noriko memang benar. Aku tahu yang kulakukan itu salah, tapi menganggap itu tidak masalah untuk dilakukan karena merasa itu hal yang sepele." dan "... gila. Gila, apakah memang harus sebegitunya? Bukankah itu dilakukan untuk tujuan yang lebih baik? Masak tidak boleh?".
Sementara itu, untuk masalah ending dan twist, kali ini bisa dikatakan keduanya lebih mudah untuk ditebak dibandingkan dengan Girls in the Dark dan Holy Mother. Tidak begitu susah untuk menyambungkan satu dengan satu dan menjadikannya dua, namun tetap saja ada bagian yang pada akhirnya membuat... merinding.
Overall, saya cukup puas dengan karya Akiyoshi Rikako yang satu ini secara objektif. Namun secara subjektif, sebenarnya ada sedikit kekecewaan karena harapan saya yang lebih tinggi; karena saya masih mengharapkan sesuatu yang berbeda dari Girls in the Dark namun memiliki kesan "WAH" yang sama- seperti Holy Mother, misalnya.
Final Rating: 4/5 -
Thrilling.
Dari awal sampai hampir akhir pembaca dibuat tenggelam habis-habisan di dalam ceritanya--seperti biasa Akiyoshi Rikako-sensei selalu bisa menghanyutkan pembacanya dengan gaya penceritaan yang menarik. A real page turner, selesai dalam beberapa jam saja. Saya nggak ingat kapan terakhir kali baca buku yang bikin saya deg-degan sendiri karena merinding dan ketakutan sampai takut membalik halaman tapi penasaran....................
Sosok Noriko, antagonis sejati. Kagum banget sama Akiyoshi-sensei yang bisa menciptakan karakter seperti Noriko. Mengerikan. Terobsesi kebenaran. Annoying di tingkat yang nggak pernah ada karakter lain yang meninggalkan kesan seperti itu. Luar biasa.
Akiyoshi-sensei sangat berhasil menyajikan kompleksitas perasaan Kazuki, Yumiko, Riho dan Reika terhadap Noriko. Bagaimana awalnya simpati, bagaimana kemudian mempertanyakan, bagaimana kemudian merasa tidak nyaman, tapi akhirnya menyalahkan diri sendiri karena Noriko memang selalu benar, hingga kemudian tak tahan lagi dan meledak. Tentu saja pembaca mengerti dan berpihak pada keempat sahabat itu. Dunia yang sudah gila begini tidak butuh orang seperti Noriko.Kebenaran Noriko terlalu vulgar, sampai membuat mata ingin berpaling darinya. Kebenaran itu tidak memedulikan tempat, tidak memedulikan siapa orangnya, menunjukkan kebenaran tanpa etika, kebenaran yang memaksa. Orang-orang hanya bisa menunduk di hadapan kebenaran yang telanjang bulat tanpa mengenakan pakaian yang bernama fleksibilitas dan kepedulian. (hal 160)
Novel yang sangat mendalam dalam menyoroti hitam putih kehidupan. Saya salut sekali bagaimana Akiyoshi-sensei menyampaikan bahwa dunia ini semestinya abu-abu, bukan hanya soal benar dan salah karena setiap manusia punya alasan di balik tindakan-tindakannya yang barangkali tidak sesuai norma dan aturan--sesuatu yang harus didengarkan dan dipahami dulu, bukannya langsung dihakimi. Menjadi benar belum tentu baik. Sebagai orang yang masih terus-menerus belajar untuk menjadi perseptif, memahami orang lain, dan tidak menghakimi, saya ngeri sekali andaikan sosok seperti Noriko benar-benar ada di dunia ini. Sebagaimana analogi dalam buku ini: pahlawan berhasil mengalahkan monster jahat, tapi pertarungan mereka itu menghancurkan kota. Jadi bisakah dibilang pahlawan itu sama saja dengan monster? (jadi ingat isu ini diangkat dalam Captain America Civil War, haha)
Noriko gila. Keberadaannya hingga saat ini pun masih menghantui kepala saya.
Novel ini mungkin tidak mengandung twist gila seperti Holy Mother atau Girls in the Dark, tapi meninggalkan annoying aftertaste yang luar biasa dan perasaan merinding yang sulit dihilangkan. Isu dan ceritanya pun begitu melekat di pikiran. Yah, meskipun diakhiri dengan ending yang tidak terlalu memuaskan--setelah cerita yang begitu intens dari empat sudut pandang, lalu akhirnya begitu doang? Namun, novel ini bisa masuk ke salah satu jajaran teratas novel terbaik Akiyoshi-sensei setelah dua judul yang saya sebutkan tadi.
Ngomong-ngomong, sampulnya seram banget. Saya selalu menaruh buku ini di kasur dalam posisi terbalik--sampul belakangnya di depan. Tapi sampul belakangnya--dan blurb yang cuma sebaris itu--juga seram....................... -
Lagi-lagi, rasanya aku kepingin sungkem sama Akiyoshi Rikako sensei. Saat selesai membaca dan menutup buku ini rasanya ada kekaguman yang aneh, "Wah kok bisa terpikir cerita seperti ini?" Pertanyaan yang sama seperti saat aku selesai membaca 3 buku Akiyoshi Rikako sebelumnya pun kembali muncul.
Saat membaca buku ini aku merasa dilema dan kegelisahan yang timbul tenggelam, terutama karena adanya sosok yang disebut-sebut sebagai monster di sinopsis buku yang hanya satu kalimat. Lalu, sebenarnya juga aku merasa sedikit relate dengan sosok monster itu, yang terus terngiang-ngiang dan meninggalkan sensasi aneh di akhir cerita.
Kebenaran, ya? Dari dulu aku selalu dijuluki sebagai orang yang sangat lurus oleh teman-temanku, ternyata ada yang jauh lebih lurus daripada aku, tapi lurusnya brutal. Dan aku setuju dengan kata-kata Riho yang mengatakan bahwa kebenaran Noriko terlalu vulgar dan kelewat batas.
"Kebenaran itu tidak memedulikan tempat, tidak memedulikan siapa orangnya, menunjukkan kebenaran tanpa etika, kebenaran yang memaksa. Orang-orang hanya bisa menunduk di hadapan kebenaran yang telanjang bulat tanpa mengenakan pakaian yang bernama fleksibilitas dan kepedulian."
Lalu, setelah selesai membaca buku ini, aku juga jadi bertanya-tanya, "Kebenaran itu sebenarnya apa, sih?"
Selama membaca buku ini, aku membayangkan Noriko sebagai iblis alih-alih monster. Kenapa? Karena dia seolah terlihat baik di depan dan care dengan teman-temannya, tapi nyatanya.. Yah minta dicekik sih emang.. Dan lagi ada beberapa bagian yang membuatku bertanya-tanya, "Noriko ini sebenarnya menyuarakan kebenaran atau menyuarakan pembenaran, sih?"
Noriko.. Noriko.. Kok bisa Akiyoshi Rikako sensei menciptakan karakter "menarik" yang begitu meninggalkan bekas seperti itu.
Sebenarnya aku agak penasaran dengan karakter Noriko dan ingin tahu juga kenapa dia bisa membentuk idealisme seperti itu. Karena di buku ini, karakter Noriko hanya diceritakan dari sudut pandang teman-temannya. Eh, tapi dari cerita mereka saja sudah bikin aku kesal setengah mati dengan Noriko.
4.5. bintang aku berikan untuk buku ini. Plot twistnya? Tetap ada, dong. Gak yang bertebaran di mana-mana seperti Holy Mother atau yang bikin melongo kaget seperti Girls in the Dark, tapi plot twistnya membuatku merasa bergidik ngeri.. Mantap.. -
Buku kedua dari Akiyoshi Rikako yang saya baca setelah “Holy Mother”. Dibanding Absolutely Justice ini, saya merasakan HM lebih kuat intensi emosinya.
AJ ini juga menarik, membuat premis “Apakah seseorang akan memihak dan memilih, jika kebenaran datang dengan dua sisi wajahnya?” Dan heyyy kebenaran punya dua sisi wajah?
Bagi saya, tokoh Noriko yang dianggap sebagai penjaga gerbang kebenaran ini tidak menyebalkan. Dia benar, tidak salah. Namun, untuk menghadapi posisi sekaku itu, maka yang seharusnya bisa luwes adalah respon.
Noriko hadir sebagai orang yang membantu (sisi wajah pertama dari kebenaran), hingga membuat orang-orang begitu kagum dan percaya. Namun, di kesempatan lain, ia bisa dianggap sebagai pelaku teror yang mengancam, melakukan hal yang dianggap berlebihan hingga mengganggu sebab mempertahankan posisi kebenaran (sisi wajah kedua dari kebenaran).
Akiyoshi seperti sedang memberi contoh bagaimana hukum buatan manusia bekerja di dunia. Bahwa kebenaran (hukum) bisa digunakan untuk membela dan memihak sesuai dengan kepentingannya. Inilah gambaran dari perspektif lain.
Dari konteks orang-orang yang diganggu, mereka sadar melakukan kesalahan. Tapi Noriko bisa juga dianggap terlalu mencampuri urusan orang lain. Terlalu peduli hingga melewati batas. Noriko seharusnya bisa disalahkan atas itu, hanya saja tidak bisa dituntut karena memang tidak bisa ditunjukkan bukti keterlibatan Noriko dalam mengganggu kestabilan emosi. Seperti misal terjadi dalam kehidupan nyata : bisakah membuktikan bahwa alasan bunuh diri seseorang sebenarnya dipengaruhi oleh kesepian dan sendirian? Trigger yang tidak bisa diukur karena tidak terdeteksi jelas.
Yang bisa dilakukan orang-orang yang terganggu dengan Noriko, seharusnya adalah menghindarinya. Ini yang seharusnya dilakukan, tapi alurnya dibuat tidak. Ini menurut saya cukup aneh.
Jika saja kawan-kawan Noriko bisa mendeteksi lebih cepat apa yang akan bisa terjadi, mereka seharusnya pelan-pelan menjauh, memasang batasan, bukan justru sebaliknya. Nyatanya, yang terjadi justru mereka merasa Noriko bukan ancaman. Menceritakan rahasia padanya jelas adalah kesalahan. Cara berpikir Noriko jelas bisa dibaca, bukan orang yang tak bisa ditebak.
Rasa terima kasih dan utang budi kadang membuat seseorang menjadi merasa terikat. Di situlah jebakannya.
Cara bercerita yang banyak percakapan, halus, pace cukup cepat, memudahkan pembaca. Banyak sudut pandang yang coba diangkat penulis, saya apresiasi. Hanya saja, terlihat aneh karena justru pada bagian dunia Noriko sendiri justru tidak diberikan gambaran dua sisi. Padahal pembaca mendapatkan gambaran detil 2 sisi dari cerita masing-masing tokoh.
Konteks Noriko ke anaknya dijelaskan, tapi bagaimana situasi Noriko-suaminya? Bukankah seharusnya juga mengalami banyak masalah? Terasa ada penggiringan opini pembaca untuk membuat pada akhirnya “niat” itu muncul dari orang lain dan mengaburkan ada 1 sisi yang tidak diungkap dengan cukup, justru dari orang terdekat Noriko.
Lantas, siapa yang salah? Semuanya. Apa tidak ada yang benar? Semua benar. Pada akhirnya setiap orang akan memanggul sendiri hukumannya. Di sisi mana pun ia memihak. -
Actual rate: 4.5🌟
“Iya deh lu si paling penegak kebenaran 😒😒😒”
Itu isi pikiran aku selama baca buku Absolute Justice HAHAHA 😭🙏, bawaannya emang pengen ngeroasting Noriko terus.
#VioReads2023
Cerita dimulai dengan keterkejutan Kazuki saat menerima undangan dari Noriko. Hmm.. padahal Noriko sudah ia bunuh bersama 3 temannya yang lain, yaitu Yumiko, Riho, dan Reika. Kok bisa? Diceritain juga dari sudut pandang masing-masing tokoh apa alasan dan pemicu yang membuat mereka ingin memusnahkan Noriko.
Selain itu, alurnya juga mundur ke waktu SMA. Awal mula tingkah laku Noriko yang aneh mulai terlihat. Pelan-pelan guys.. masih mempertanyakan maksud dari kelakuan Noriko itu gimana. Tapi makin lama emg beneran aneh!! Gabisa ditolerir 😭😭😭
Jujur aja, aku bisa merasakan kenapa temen-temennya bisa kesel.. dan mungkin nyimpen dendam juga. Karena Noriko nggak punya hati Nurani, dia sangat mengedepankan apa yang benar di mata hukum. Ada homeless numpang di gedung terbengkalai saat musim dingin? Dilaporin dong, karena melanggar hukum yaitu memasuki properti orang tanpa izin 🙂.
Cerita di Absolute Justice tidak mengutamakan kasus pembunuhan dan penyelidikannya, melainkan memang ingin memainkan emosi pembaca saja 😅. Tapi, sensasi itulah yang teman-teman bisa rasakan kalau baca buku Akiyoshi Rikako.
Plot twistnya 😳😳 nggak mengejutkan.. tapi bikin merinding. Makin parah! Konsep ceritanya belum pernah aku temuin, baru tau juga sebenarnya ada orang kayak gini HEHEHE 🌝. Pace dari alurnya juga di mantain, gaada sekalipun aku tbtb kehilangan minat bacanya.
For me, aku bisa kasih 4.5
🌟Kalau diceritain juga dari sudut pandang Noriko, dan kenapa dia bisa terbentuk jadi pribadi seperti itu, this book will deserve 5 stars. -
Eh, entah mo nulis ripiu apa aku inih, lha wong hatiku masih geram banget sama tokoh buku ini. Istilah "monster" masih kebagusan kaliii.... Teman2nya juga sih, ud tau si monster tabiatnya gitu, lha kok malah nyari perkara cerita yg gak perlu2. Ngajak kerja bareng segala... hadddeeehh....
Pokoknya, ini cerita paling menjengkelkan yg pernah kubaca.
Tapiiii.... ini artinya juga, Akiyoshi-sensei did it again. Buku ini sekali dibaca sulit sekali dilepaskan sampai akhir. Karakter2nya masuk banget, bikin emosi teraduk-aduk. Pemilihan sudut pandangnya membuat si karakter utama punya dua peran, villain sekaligus victim. Dan sesuai pemilihan judulnya, ending di sini memilih kemenangan Lady Justice tanpa pandang bulu. (sesungguhnya aku berharap penyelesaian yg berbeda, tidak dengan kematian, tapi... misalnya dengan dia sendiri ketanggor masalah hukum yg selalu didewa-dewakannya itu, biar lebih puitis gituh *halah*). Meskipun dmkn, twistnya di akhir epilog tambah bikin bengong, lalu ada tambahan cerita yang maaaaakin bikin bergidik dan berpikir, monster banget dah ini.
Aku gak bakal pengin re-read novel ini sampai kapan pun, tapi Akiyoshi-sensei, sekali lagi, ku menjura padamu. -
"Kebenaran yang 'tanpa busana', terlalu benar, tanpa rasa kemanusiaan. Pornografi kebenaran." -p160
Kesal, sangat kesal hingga rasanya hampir meledak. Itu yang saya rasakan sepanjang membaca buku ini. Tapi entah kenapa saya sangat menikmatinya, mungkin karena Akiyoshi Rikako sensei berhasil mengemas berbagai macam isu sosial di dalam bukunya. Sebagai mahasiswa sosiologi, saya sangat tertarik dengan isu kesetaraan gender, mobilitas sosial, perbedaan budaya, dan juga stigmatisasi yang dimasukkan Akiyoshi Rikako sensei ke dalam buku thrillernya. Berkat buku ini, saya menyadari bahwa kebenaran yang tidak diiringi oleh rasa kemanusiaan bukanlah kebenaran yang sesungguhnya. Terima kasih Akiyoshi Rikako sensei untuk bukunya, selamat hari buku! -
Ewwww doa ku kali ini semoga dijauhin dari orang macem Noriko. Aamiin
Keren banget ceritanya, dah gak bisa dipungkuri lagi AR ini kalo buat cerita riset nya gak main-main, sampe ke perkara hukum juga dibahas detail.
Karakter Noriko yang diciptain AR juga sukses buat aku gak nyaman (padahal Noriko fiktif wkwk) cara pendekripsian karakter noriko yang gila kebeneran nya juga masuk akal, meskipun konflik dari karakter lainnya cukup umum tapi waktu diblend sama karakter Noriko yang bisa dibilang freak, bener-bener jadi konflik yang rumit dan lagi-lagi berhasil kebawa emosi. Errr
Masih belum bisa kasih 5⭐️ karna di akhir masih bisa ketebak dan gampang banget ketebaknya. Meskipun di akhir ada side story tapi karna udah tau karakter Noriko gimana ya jadi gak kaget lagi. -
Mulai baca siang tadi dan sekarang selesai, wah tepuk tangan untuk diriku yang nganggur banget ini 😅 tapi memang seseru itu, sampai sayang kalau ngga segera selesai. Blurb yang cuma sebaris itu berhasil bikin penasaran. Plot twistnya oke, page turning, idenya keren. Buku yang berhasil mengombang-ambingkan perasaanku mau condong ke siapa, satu sisi noriko benar di sisi lain ya aku manusia biasa yang punya rasa maklum dan simpati. Yang pasti buku ini jadi salah satu favoritku
-
Norikoooo, berdosa sekali kamu noriko.
Tidak boleh begitu, Norikooooo. -
Aku lega dia mati.
Bbrp tahun lalu, aku baca The Witch of Portobello by Paolo Coelho dan sampai sekarang masih tersimpan dg baik pernyataan yg maknanya krg lebih sama; bahwa ketiadaan seseorang membuat hidup seseorang lainnya bahagia.
Yg sesungguhnya kenyataan semacam itu tu begitu menyedihkan bagi manusia.
Bagaimana mungkin ada org bisa bahagia/ lega ketika seseorang/ kita mati?
Sama banget dg harapan teman² Noriko yg merasa sesak krn keberadaannya, aku pun merasa sesak dan muak.
Dia memang benar.. tp benar tdk selalu baik. Jelasnya, tdk sepaket. Meski tdk semuanya, kebenaran Noriko banyak disertai kerusakan dan menganggu krn tiadanya toleransi dan kesempatan kedua.
Mungkin di dunia ini ada perkara yg mmg tdk layak diberikan kesempatan kedua. Perkara² tertentu. Menggelapkan uang negara, misalnya.. *eh 🙊
Lalu knp sih ya Kazuki, Riho, Rieka dan Yumiko tdk meninggalkan Noriko? Knp sih ttp mau melibatkan dia?
Ya itu yg disayangkan. Padahal sah-sah saja sesungguhnya jk kita melepaskan tmn yg mulai dirasa toxic. Seseorang berubah baik sudut pandang, pemikiran dan tingkah laku. Kalau diri tdk nyaman, tdk wajib utk mempertahankannya meskipun dia pernah menjadi tmn terbaik. Menurutku. Kalaupun suatu hari nanti kita menerima kembali, terpulang pd keputusan nanti di masa yg akan datang berikut konsekuensinya..
Dan utk Noriko ini, benernya sih dia tdk berubah sejak pertama jd teman mrk. Hny saja mrk punya pertimbangan sendiri².
Rate 4.4⭐ buku ini sangat emosional untukku. Di antara perasaan marah, sesungguhnya aku jg merasa sedih utk Noriko.. 🥺🤧
Eniwei, aku penasaran dg GITD yg kabarnya jg bagus banget!
⚠️ Spoiler alert!!
Ending Absolute Justice, di antara perasaan aku tau apa yg dirasakan Ritsuka selama tinggal bersama Noriko dan membuatku susah hati, aku ditampar keputusan akhirnya dia akan menjadi apa. Dan bahkan, ya, aku bertanya² kapan dia mati.. 😩🤦🏻♀️ Iya, kompas moralku mungkin kacau krn aku menginginkan seseorang mati.. tp kurasa aku bakal nemu tmn yg pemikirannya sama dgku.. 😳✌️ anak itu mungkin lbh menyeramkan drpd ibunya.. 😩🤦🏻♀️🙈 -
karena penulis dan penerbit ga ngasih sinopsis apapun di belakang bukunya, jadi review kita sesuaikan juga.
this book just the type that i don't want to put it down before i finish it.
p.s. yg udah baca, ada ga yg suka dengan karakter Noriko? :)) -
Pas selesai baca, jadi paham kenapa bagian blurb novel ini hanya menulis kalimat, "Seharusnya monster itu sudah mati..."
sekali lagi suka dengan karyanya akiyoshi rikako. -
Sebel, kesel, marah. Semua campur jadi satu.