Title | : | O |
Author | : | |
Rating | : | |
ISBN | : | 0000942103 |
ISBN-10 | : | 9786020325590 |
Language | : | Indonesian |
Format Type | : | Paperback |
Number of Pages | : | 470 |
Publication | : | First published February 22, 2016 |
Awards | : | Kusala Sastra Khatulistiwa Prosa - shortlist (2016) |
O Reviews
-
Seharusnya, saat pembaca berhadapan dengan karya terkini Eka Kurniawan ini memang tidak mesti mengaitkannya dengan pamor Animal Farm, Orwell. Eka sebagai sastrawan garda terdepan pasti sudah terbiasa dengan nyinyiran pembaca yang acap mengaitkannya pada Pram, Orwell dan Kafka. Menurut saya Eka ya Eka. Dia adalah salah satu dan mungkin satu yg saat ini paling terdepan dalam karya, dan konsistensinya.
Tidak semua karya harus dikait-kaitkan dengan karya-karya monumental, meski terkesan selaras dan sejenis dlm temanya. Namanya juga fabel, ya pasti tokoh non-manusia juga ikut ambil dalam penceritaan. Dan tidak semua novel fabel dewasa itu adalah orwellian.
Ekologi primata kecil berekor dalam novel O ini sering terpeleset, tidak akurat selaiknya biologi primata dan pola adaptasi dalam primatalogi yang terkesan hanya mengandalkan bentuk visual dan gerakan. Yang tertuang dalam O memang semata-mata mengandalkan riset dipermukaan. Perihal biologi primata, ekologi primata, pola adaptasi primata berekor, dan teruma fisio-ekologi primata sama sekali jauh dari kitab primatology. Padahl tokoh si kera O dituangkqn dengn porsi yg besar. Banyk kaidah primatologi yang sumir, tidak akurat, dan pada akhirnya O menjelma jadi manusia yang sempurna. Tapi lagi-lagi ini dongeng, fiksi, ya menang tidak harus benar-benar akurat dengan kaidah ilmu primata.
Ada ambisi dalam teks yang terasa lebih kuat ketimbang harus melihat kejanggalan bio-ekofisiologi primata. Eka ingin lebih dari sekadar novel / fiksi sains. Teks dikemudikan melenting ke ranah yang lebih surealis. Jadi kerancuan biologi, kultur primata dan ekologi bisa dimaafkan. Cerita yang dekat dengan gaya Eka, yang sangat obsesi dengan cerita tentang kekuasaan, sudah mampu banyak bicara.
Dengan cerita yang berlompatan ke sana ke sini membuat banyak cecabangan cerita sulit untuk dideteksi pembaca awam seperti saya. Tidak mudah memang dengan layer layer plot dengan polarisasi yang nyaris tanpa fokus yang jelas.
Tapi menulis memang perkara jam terbang. Eka mengemudikan cerita dengan apik, jadi plot acak-acakan ini bisa membentuk mozaik yang menyegarkan. Eka menulis ekologi siklus hidup berpola melingkar spt huruf ‘o’ tersandung dalam frame biologi, tapi bisa dijadikan cerita yang sangat membekas. Gagal di sisi riset primata, tapi sangat cemerlang dalam story telling. Eka meramu cerita yang dekat dengan kehidupan perkotaan di zamannya, yang lengkap dengan renik persoalan bathin dan percekcokkan jiwa. Maka tokoh kera jadi berpeluang seperti tokoh2 dalam Animal Farm.
Kerancuan dan kegagalan dunia primata dalam O disebabkan, teks primata berporos pada bentuk visual (dan gerak-gerik) semata. Eka begitu terpesona dengan primata dalam deskripsi bentuk, visual dan anatomi luar belaka. Tapi sekali lagi, dunia sastra dan sains memang harus sama sama mengalah saat dikawinkan. Visual dan perwajahan bentuk primata cukup berhasil di sini, yang lainnya belum bahkan tidak.
Bukankah dalam dunia fiksi tidak semua hal dalam dunia nyata (sains /ilmu) dapat diterapkan bukan? Eka berhasil. Sebagai novel sastra yang berhasil. -
this semi-fabel, through the life and death from the point of view of several animals (there are monkeys, birds, dogs, rats, and even pigs) offers one fundamental question: what does it mean to be a human being? it is not just a philosophical novel, it is an adventure and also a love story. it has 470 pages, finished reading it in three days and half, because it is indeed a page turner. another great work by eka kurniawan, i should say. happy thursday, folks!
-
Akhirnya bisa menamatkan buku O yang sejak dipublish akan terbit menjadi perbincangan di sosial media, di berbagai kelompok pecinta sastra. Eka Kurniawan memang sedang nge'hits' tahun ini. Dan saya termasuk menyukainya. Apalagi kalau dikasih gretongan kayak buku O ini.
Seperti dalam sinopsis bukunya, bahwa ini berkisah tentang monyet betina O yang jatuh cinta dan ingin mengawini seorang kaisar dangdut bernama Entang Kosasih. Dikisahkan monyet O dan Entang Kosasih adalah sepasang monyet di Rawa Kalong yang saling memadu cinta bahkan berjanji akan menikah di bulansepuluh.
Namun O, merasa ragu karena Entang Kosasih ingin menjadi manusia dan mengikuti jejak dongeng Armo Gundul. Di Rawa Kalong beredar dongeng bahwa monyet-monyet bisa menjadi manusia, asal mereka mengkuti jejak dan perilaku manusia.
Entang Kosasih mendorongkan revolver ke dua polisi murahan di Rawa Kalong, Sobar dan Joni Simbolon (Kedua polisi ini punya persoalan masing-masing yang ruwet dan berkelindan). Pada dasarnya, seperti dongeng, Entang Kosasih menjadi Kaisar Dangdut dengan ketenaran luar biasa (termasuk terjerat hubungan asmara dengan banyak wanita)
Sedang O ingin mengikuti jejak Entang Kosash dengan ikut topeng monyet milik Betalumur.
Fyi, di novel ini akan ditemukan banyak sekali nama, tokoh, dan di setiap tokoh dan nama punya persoalan dan irisan dengan cerita utama. Termasuk seekor anak anjing, Kirik yang menggoda rombongan topeng moyet milik Betalumur. Di akhir, yang sedikit mengejutkan bahwa O benar-benar menjadi wanita cantik yang akan dinikahi oleh Betalumur.
Novel ini mengingatkan kita pada Animal Farm yang memanusiakan hewan, dan menghewankan manusia. Banyak guyon satir dan sindiran khas realisme sosialis milik Eka Kurniawan. Ya, manusia bisa menjadi hewan bahkan lebih parah daripada hewan dengan kelakuan yang kacau. Karena seperti kutipan bahwa menjadi manusia lebih menyeramkan daripada menjadi hantu.
Aku suka!! Apalagi gaya berceritanya loncat-loncat mirip novel-novel Barat. -
O bercerita tentang seekor monyet bernama O yang yakin bahwa sang Kaisar Dangdut adalah pacarnya, Entang Kosasih, sesama monyet yang telah berhasil menjadi manusia. Demi kembali bersatu dengan pacarnya, O rela hidup sebagai topeng monyet yang merupakan salah satu jalan bagi kaum monyet untuk menjadi manusia.
This book is just wonderful.
Cara berceritanya adalah poin yang paling menonjol dari buku ini. Eka Kurniawan menggunakan cara bercerita non-linear yang berpindah dari satu karakter ke karakter lainnya. Gaya bercerita ini membuat pembaca bisa sampai pada pertengahan atau akhir sebuah kisah, sebelum akhirnya pelan-pelan mengumpulkan potongan kisah yang ada dan membentuk gambaran besar cerita.
Cara bercerita ini mengandung risiko, karena dengan mudah pembaca bisa tersesat dan lupa apa saja yang sudah terjadi sebelumnya (atau yang akan terjadi kalau mengikuti kronologi dalam cerita). Hal ini terjadi beberapa kali pada saya. Contohnya: di awal novel ada cerita tentang seekor monyet yang mengacungkan pistol ke arah polisi. Nah, bagian ini lama sekali tidak tersentuh (mungkin ada 200-an halaman), sehingga saat penulis kembali ke sini, saya sampai sempat bergumam, "Oh iya. Tadi ada yang seperti ini."
Cara bercerita yang melompat-lompat ini masih ditambah lagi dengan banyaknya karakter yang harus diikuti. Ada lebih dari sepuluh tokoh, hewan dan manusia, yang semuanya diperlakukan dengan penuturan yang seakan tidak ambil pusing apakah pembaca masih bisa mengikuti alur ceritanya atau tidak.Menjadi manusia, kau harus berjalan seperti manusia. Menjadi manusia, kau harus duduk seperti manusia. Tertawa seperti mereka, menangis seperti mereka, menderita seperti mereka, bahagia seperti mereka. (hal. 49)
Di sinilah kepiawaian Eka Kurniawan dalam bercerita tampak. Walau ada begitu banyak hal yang terjadi dan harus diikuti, perjalanan membaca kisah O sangat menarik dan memancing rasa ingin tahu. Eka paham kapan harus menggantung cerita dan bagaimana membuka rahasia yang ada dengan perlahan, lalu menyambungkan satu kisah dengan yang lainnya hingga menjadi satu rangkaian utuh.
Satu hal yang saya suka adalah bahwa novel ini memegang konsep nama O yang dijabarkan di dalam buku.Itu untuk mengingatkan betapa hidup ini tak lebih dari satu lingkaran. Yang lahir akan mati. Yang terbit di timur akan tenggelam di barat, dan muncul lagi di timur. [...]. Dunia itu berputar, semesta ini bulat. (hal. 418)
Pada dasarnya, O adalah sebuah kisah cinta. Baik itu antara manusia, binatang, maupun manusia dengan binatang. Buku yang cocok bagi yang mencari bacaan yang tidak biasa, tapi juga familiar. -
Eka Kurniawan emang 'keblinger'. Duh, O.
Dan nggak sanggup buat resensi buat novel ini kayaknya! xp -
Another bikin-sumpah-serapah novel from Eka Kurniawan.
Di 'Seperti Dendam...", Eka Kurniawan berhasil 'bermain-main' dengan stensil, nah, di O ini, doi memasukkan elemen fabel. Iya, hewan yang bisa berbicara! Liar dalam arti yang sesungguhnya. Eits, tapi tunggu dulu, tidak cuma hewan yang bisa berbicara, tapi benda mati seperti pistol revolver pun bisa berbicara!.
Masih dengan plot yang acak-adul-suka-suka-terserah-eka-kurniawan tapi masih amat sangat enak untuk diikuti.
Satu lagi yang unik di buku ini adalah hampir semua karakter (yang jumlahnya tidak sedikit) mendapat porsi cerita yang pas, istilahnya semua dapat jatah. Yaa walaupun seperti kumpulan cerita pendek yang dijadikan satu cerita panjang, akibatnya terasa all over the place dan ga fokus gitu. *halah*
Walaupun konklusinya tidak semenohok Lelaki Harimau, tapi secara keseluruhan si O ini memuaskan sekali! -
ada terlalu banyak subcerita yang mendistraksi dalam novel ini. dari yang masih bisa disambung-sambungin sampai yang nggak nyambung seperti kisah si kiai buta atau nasib si Betalumur setelah putus kontak dengan O. seperti ada setidaknya satu cerpen dan satu novelet yang bisa dicabut dari novel ini untuk membuatnya lebih terpadu, koheren, rapi. kalau mau disambungkan dengan kontrasnya fenomena binatang mau jadi manusia dengan fenomena manusia mau jadi binatang, rasanya lebih tepat judul novel ini tidak usah pakai nama O saja. kalau judulnya O ya fokus di O, subcerita gak perlu sampai mengacak-acak fokus.
kompleks untaian kata-kata di novel ini juga nggak sedahsyat deskripsi adegan-adegan di Lelaki Harimau. baca ini setelah baca Lelaki Harimau, bahkan setelah Seperti Rindu..., rasanya kebanting.
awalnya kasih tiga bintang, tapi lah Seperti Rindu,... juga saya kasih tiga padahal pengalaman baca saya di situ lebih seru daripada ini? akhirnya setelah makin banyak menyaksikan novel ini dielu-elukan padahal kok rasanya lempeng, saya memantapkan diri untuk ganti ratingnya jadi dua bintang. lagi-lagi termakan harapan akibat pujian dan rekomendasi orang-orang, jadi kecewa deh. -
Akhirnya selesai juga...cukup lama membaca buku ini, bukan karena ga bagus. Tapi rasanya kok sayang untuk segera menamatkannya.
Buku ini bukan bacaan sekali duduk. Buku ini berasa fabel yang bacanya harus mikir, ini yang dimaksud EK siapa ya... itu kok begitu ya.. Pikiran saya ga bisa berhenti menduga, menebak, menganalisis saar membaca.
Belum lagi diksinya yang tajam, dan banyak menggunakan gaya bahasa hiperbola. Quoteable-lah pokoknya.
Alur yg maju mundur dan melompat-lompat membuat saya harus awas di setiap bagian. Menarik dan membuat penasaran. -
Ini buku Eka keempat yang saya baca. Dulu sewaktu awal awal buku ini terbit, saya dibikin penasaran dengan judul dan covernya. Kenapa monyet? Kenapa O? Tapi berhubung harganya mahal dan bukan prioritas, jadi hanya masuk wishlist, belum jadi dibeli sampai beberapa hari lalu saya mendapatkan novel ini secara gratis. Terima kasih untuk SCOOP, Gramedia.com dan Gramedia Pustaka Utama \o/
Novel O bercerita tentang kehidupan para binatang di belantara Jakarta. Tersebutlah O, monyet betina yang menghabiskan waktunya untuk berubah menjadi manusia dengan bekerja di sirkus topeng monyet. Harapan O kelak dengan sering mengikuti gerak gerik manusia, ia juga akan segera menjadi manusia seperti kekasihnya dulu, Entang Kosasih. Dulu, O dan Entang Kosasih tinggal bersama sekumpulan monyet lainnya di Rawa Kalong. Mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai dan memutuskan akan menikah di bulan kesepuluh. Sayangnya, Entang Kosasih amat berambisi menjadi manusia sehingga tidak terlalu peduli dengan pernikahan itu. Suatu hari, setelah sebuah tragedi terjadi, Entang Kosasih menghilang begitu saja. Tak ada yang bisa menemukan monyet itu, sampai kelak ketika O melihat poster Kaisar Dangdut, ia percaya bahwa Entang telah berubah menjadi manusia. Yup, menjadi Sang Kaisar Dangdut yang menjadi idola banyak manusia.
O kemudian ikut bersama seorang pemuda menyajikan atraksi topeng monyet. Meski pemuda itu sering pelit dan kasar terhadap O, tapi O selalu sabar dan menjalankan perintah majikannya dengan sepenuh hati. Manusia manusia yang melihat O disiksa sering heran, mengapa O tidak pergi saja dari majikannya. Apalagi sebenarnya setiap O dan majikannya kembali ke "rumah" mereka, yaitu sebuah gedung kosong dan berhantu, monyet itu akan dilepas dari rantainya.
Selain O, buku ini juga menceritakan kisah Kirik, anak anjing yang sering menghampiri O dan menyuruhnya kabur dan membebaskan diri dari manusia. Ada juga kisah tentang Sobar, seorang polisi yang jatuh cinta dengan kekasih seorang bandit. Ada cerita tentang Kakatua, yang kabur dari sangkarnya dan hidup bebas tanpa majikan. Dan masih banyak lagi tokoh dalam buku ini yang kisahnya saling berkelindan.
Hal pertama yang ada di pikiran saya saat awal membaca buku ini adalah gimana cara ngafalin tokoh tokoh berserta namanya? Tapi ternyata, meski ada puluhan tokoh, saya bisa membedakan satu sama lain dengan mudah dari ciri-ciri yang diberikan penulis. Mungkin juga karena sebagian besar berupa hewan yang kelakuannya mirip manusia (ya iyalah, ini kan Fabel), mungkin juga karena nama-nama unik yang diberikan penulis kepada tokohnya sehingga makin mudah membedakannya.
Satu hal yang saya suka dari novel novel Eka adalah caranya bercerita yang acak tapi tertata. Jangan tanya alurnya karena pembaca dibuat menebak-nebak dan mencoba membuat korelasi sendiri antara isi bab satu dengan yang lainnya, apakah saat itu alur yang dipakai adalah alur maju atau mundur. Untuk tokoh-tokohnya, seperti buku Eka lainnya, memiliki banyak cela dan duka dalam hidupnya. Karakter para hewannya agak unik karena saya rasa mereka malah memiliki pikiran yang lebih luas daripada para manusianya. Atau memang ini disengaja ya? Jadi di cerita ini ada beberapa hewan yang lebih manusia daripada manusia dan ada beberapa manusia yang lebih binatang daripada para hewan.
Membaca buku ini, anehnya, membuat saya penasaran sekaligus tersindir dengan ironi-ironi sosial yang disampaikan dalam cerita. Saya penasaran bagaimana akhir cerita dari masing-maisng tokoh, apakah ada yang mendapatkan akhir bahagia? Tapi yang utama adalah apakah O akhirnya bisa menjadi manusia dan bertemu pujaan hatinya? Ah, sebuah buku yang menyenangkan untuk dibaca, padahal awalnya saya khawatir tidak dapat menyelesaikannya. -
Saya menyukai novel ini, tapi saya punya harapan lebih pada seorang Eka Kurniawan.
Mencontek komentarnya Mang Eka buat novel 1Q84-nya Murakami, saya menganggap novel alusi dari Animal Farm-nya Orwell (yg sama-sama bikin 1984) ini bisa dibilang: "Seperti mie rebus yang kelewat lama dimasak. Percintaan yang kelewat lama, keburu lelah sebelum orgasme."
Ini nasihat bagi saya: sehebat apa pun kau menulis, jangan mengalusikan karya Orwell. hehe -
Selesai dari minggu lalu, baru bikin reviewnya sekarang x))
Review lengkap di sini:
http://ariansyahabo.blogspot.co.id/20... -
Memang hanya Eka Kurniawan yang bisa menulis seberantakan sekaligus serapi ini.
-
People have stories, and these stories cross one another.
Saya senang bagaimana Eka bercerita tentang karakter tokoh-tokonya secara mendalam. Sekalipun dari sudut pandang orang ketiga, tapi narasinya serasa diceritakan dari sudut pandang masing-masing tokohnya. Hal begini memberi kesan kalau setiap karakter yang bercerita itu adalah manusia yang rapuh, begitu juga kehidupannya dijalani dengan struggling dan suffering.
Bukan justifikasi juga atas motif atau tindakan karakternya, hanya memberi penyadaran dan pemahaman, kalau manusia cuman mau bahagia, dan sekadar buat bahagia itu susahnya bukan main dan musti menderita dulu.
Betalumur misalnya, terkesan jahat dan kadang menyiksa O, tapi kalau dilihat bagaimana dia berjuang hanya untuk sekadar hidup tiap harinya, serta perasaan menderita yang dilampiaskannya dengan membeli minum dari hasil jerih payahnya tiap hari, kita jadi berpikir dua kali sebelum menjudge tindakannya.
Tokohnya buanyak, ini bisa saja jadi blunder kalau tidak dibarengi kemampuan bercerita yang baik. Untung Eka punya modal dalam hal ini, tak perlu diragukan. Coba pikir, muatan filosofis bisa dibawa ke dalam nuansa kehidupan perkotaan sehari-hari yang kental. Memukau betul. Setiap tokoh yang muncul memiliki persinggungan, semuanya saling terhubung.
Ini bikin saya lagi lagi berhenti sejenak bacanya buat berpikir, kalau setiap orang atau hewan atau mahluk di dunia ini memang saling terhubung.
O yang mau jadi manusia, serta beberapa tokohnya yang berubah jadi binatang hanyalah alegori atau simbol dari siklus kehidupan, yang berputar dan terus berulang. Kita semua terhubung. Kematian akan melahirkan kehidupan, dan begitu pula kehidupan pada saatnya akan menjadi kematian. Begitulah alam. Kita pun bagian dalam alam, tak hanya hidup dalamnya, tapi juga tidak lepas dari hukum-hukumnya.
Suatu hari kita bakal mati, jadi tanah atau dimakan cacing dan belatung, dari membusuknya jasad kita bakal muncul bentuk kehidupan baru, begitu kehidupan baru itu akan mati, muncul lagi kehidupan baru yang lain. Begitu seterusnya.
Narasi dalam novel ini ditampilkan sepotong-potong dan pendek-pendek, kita bakal baca potongan cerita-cerita, dan musti menghubungkan cerita yang satu dengan lainnya. Misal kita baca cerita di halaman pertama, tapi baru nemu kelanjutan ceritanya halaman-halaman akhir. Sebenarnya bukan masalah besar, tidak sulit menghubungkan potongan cerita-ceritanya, hanya saja beberapa cerita saya pikir tidak ditempatkan secara bijak, jadi terasa menggantung sendiri diantara cerita lainnya. Saya suka plotnya, walau sedikit bingung di bagian ending. -
"Bukan cinta yang membuat kita buta, tapi keyakinan." – O
Penulis, sebagaimana juga pekerja kreatif lainnya, tidak hanya dituntut untuk melahirkan karya-karya bagus yang menghibur pembaca, namun juga dituntut menghadirkan karya-karya yang selalu menghadirkan karya yang berbeda dari karya sebelumnya. Penulis harus berani melakukan eksplorasi gaya kepenulisannya, teknik penceritaan dan lainnya demi menyuguhkan karya menarik yang berbeda dari sebelumnya. Adalah suatu kemandegan dalam proses kreatif jika penulis melulu menyajikan cerita dengan gaya yang sama. Pembaca akan merasa cepat bosan dan dapat menebak arah cerita, alih-alih terhibur dengannya.
Sekali waktu sastrawan Agus Noor pernah mengatakan bahwa menulis setamsil dengan bercinta, jika dilakukan dengan gaya yang sama, kebosanan akan mengikutinya. Sehingga, mutlak bagi penulis untuk mengeksplorasi gaya menulis demi menghadirkan karya-karya baru yang selalu berbeda demi terus memikat pembaca.
Itulah yang saya rasakan di sepanjang pembacaan karya-karya Eka Kurniawan , salah satu penulis Indonesia yang paling menonjol dalam sorotan kesusastraan dunia saat ini. Membaca karya-karya Eka Kurniawan dari awal, sejak Cantik Itu Luka sampai yang terakhir O, maka kita akan melihat bagaimana Eka tak henti berevolusi, menghadirkan cerita-cerita memikat yang tak sama dengan sebelumnya.
Selanjutnya:
http://willy-akhdes.blogspot.co.id/20... -
** Books 41 - 2018 **
Buku ini untuk menyelesaikan tantangan Tsundoku Books Challenge 2018
3,4 dari 5 bintang!
Ide ceritanya sebenarnya menarik berkisah tentang dua monyet yang bercita-cita ingin menjadi manusia sehingga melakukan tingkah laku yang menyerupai manusia
Disisi lainnya banyak sekali kisah sampingan yang nantinya nyambung sama kisah si monyet. Mulai kisah pak Polisi, Penjaga Surau, Tukang topeng monyet, penyiksa anjing dan yang mau gak mau saya simpulkan bahwa dibuku ini Eka Kurniawan ingin menampilkan begini lo sifat manusia yang beragam mulai yang baik hingga yang jahat
Ada beberapa bagian yang membuat saya tidak bernafsu dan malah sedih membacanya karena saya selalu gak suka membaca penganiayaan terhadap hewan apalagi disini eksplisit banget pendeskripsiannya =__=a
Tapi tetap sih Cantik itu Luka masih belum terkalahkan dari semua karya Eka Kurniawan yang saya baca. Saya soalnya berhasil terpukau dengan pemaparan sejarah dan settingnya yang detail luar biasa
Sabtu, 23 April 2016
Terima kasih banyak lho Bukabuku.com yang berhasil bikin dompet tipis dengan diskon 30%
Happy World Book day! >_< -
Sebentar biar saya sebutin tokohnya mulai dari makhluk hidup sampai benda mati
1. Entang Kosasih(monyet)
2. O(monyet)
3. Armo Gundul(monyet)
4. Sobar
5. Joni Simbolon
6. Revolver
7. Dara
8. Toni Bagong
9. Betalumur
10. Kirik(anjing)
11. Mat Angin
12. Ma Kukung (agak lupa)
13. Siti(kakaktua)
14. Syekh... (lupa)
15. Manikmaya(tikus)
16. Todak Merah(tikus)
17. Jarwo Edan
18. Wulandari (anjing)
19. Rudi Gudel
20. Rini Juwita
21. Mimi Jamilah
22. Marko
23. Uyung
24. Kaisar dangdut (Entang Kosasih/manusia)
25. Kamelia (O/manusia)
26. Rohmat Nurjaman
27. Nyai Banjarwati
28. Si buta yg suka ngaji (lupa namanya)
29. Si wanita gila (pacarnya sibuta)
30. Temennya sibuta yg jadi penghulu
Banyak kan tokohnya masih ada yang kecret kayaknya. Cerita kali ini semi Fabel menceritakan semangat binatang yang ingin jadi manusia pun sebaliknya. di Novel kali ini Eka Kurniawan kayak ngasih tau kepembaca bahwasanya manusia dan binatang itu acapkali punya kedudukan yang equal, menurut saya lho😆 Manusia yang kebinatang2an dan Binatang yg kemanusia2an. Pola ceritanya loncat2 tapi enak diikuti dan masih gampang diingat, khas dia banget. worth to read -
Penulisan Eka Kurniawan tak dapat nak pertikaikan betapa hebatnya. Dari Cantik itu Luka, kepada Lelaki Harimau sampai ke O novel2nya tak pernah mengecewakan. Seperti yang tertulis di bahagian blurb, O sebuah novel berkisahkan tentang seekor monyet bercita-cita menikah dengan Kaisar Dangdut. Tema tentang reincarnation berputar-putar dalam novel ini. Gaya plot yang melompat-lompat menambahkan lagi betapa membaca buku yang setebal 470 halaman bukanlah perkara yang membosankan. Bacalah sendiri, secara peribadi karya Eka semua sedap!
-
mengecewakan. baca buku ini, seolah melihat EKA yang tak berkembang. dari gaya ucap dan bahasa, tema, fokus, tokoh dll nyaris tak berubah banyak dari buku-buku yang lalu. penurunan yang sangat besar di saat dia sudah dianggap penulis besar. tak ada kebaruan yang menonjol, terlihat cari aman, dan yah, setelah baca O apa yang kamu dapat sih? :3
-
Tonton review di sini:
https://youtu.be/1i6tmOXGZoM
Baca review di sini:
https://www.riodestila.com/2023/04/re...
Sebenarnya sih 4.5 bintang, tapi Goodreads terbatas. Alasan nggak sampai 5 bintang karena ada beberapa plot yang tiba-tiba kebut dan beralih mendadak dengan cepat, terburu-buru selesainya. -
Kumpulan kisah, tapi bukan kumcer. Ini novel tentang O, kawan-kawannya, dan kawan-kawan dari kawan-kawannya.
Bukan tanpa sebab jika novel ini dibuka dengan satu kutipan dari Hikayat Seribu Satu Malam. Novel ini memang bentuk modern dari kisah klasik tersebut. Puluhan kisah di dalam buku ini terjalin berkat seekor monyet bernama O. Sesuai dengan blurb-nya, "tentang seekor monyet yang ingin menikah dengan Kaisar Dangdut."
Bukan tanpa sebab pula jika novel ini menuliskan satu kutipan dari Animal Farm sebelum bab terakhir. Novel ini memang bentuk modern dari fabel klasik tersebut. Puluhan kisah di dalam buku ini mengisahkan tentang binatang dan manusia yang mirip binatang, yang memelihara binatang, yang mempekerjakan binatang, yang membunuh binatang, yang dibunuh binatang, bahkan sampai yang berubah menjadi binatang dan berasal dari binatang.
Unsur surealisme kental terasa dalam novel ini, dan Eka Kurniawan yang demikianlah yang kusukai. Ditulis dengan alur yang maju-mundur, setting yang berubah-ubah, sudut pandang yang bergonta-ganti membuat novel ini menjadi luar biasa. Nikmati proses naik-turunnya emosi yang akan dipermainkan bak di atas roller coaster. Kisah-kisah kematian yang pilu bertebaran, tapi tak akan mampu kita tangisi berlama-lama. Pun dengan kisah-kisah lucu atau bahagia tak akan mampu kita tertawakan terus-menerus. Semua ibarat huruf O itu sendiri.Itu untuk mengingatkan betapa hidup ini tak lebih dari satu lingkaran. Yang lahir akan mati. Yang terbit di timur akan tenggelam di barat, dan muncul lagi di timur. Yang sedih akan bahagia, dan yang bahagia suatu hari akan bertemu sesuatu yang sedih, sebelum kembali bahagia. Dunia itu berputar, semesta ini bulat. Seperti namamu, O. (hal. 418)
Buku ini sangat tepat kubaca seusai melahap Sapiens. Sebab petaka dalam novel ini diawali dari sebuah dongeng, fiksi. Bedanya, di sini Eka tidak memberi garis tegas dalam kognitif tokoh-tokoh binatang dan manusia. Banyak tokoh binatang yang dimanusiakan. Tak kalah banyak pula tokoh manusia dengan sifat kebinatangan. Tak lupa, kritik terhadap penguasa, terhadap manusia, dan terhadap agama tetap terselip dengan rapi sepanjang cerita.Huh, manusia. Dari sampah kembali ke sampah. (hal. 470)
-
Gue bukan tipe pembaca romantis, lebih realistis. Ga gitu suka mikir juga. Hahaha.
Jadi, ketika gue baca buku O yang sekaligus jadi perkenalan pertama gue dengan karya Eka Kurniawan, gue murni menikmatinya sebagai kumpulan kisah kehidupan bermacam-macam makhluk yang mungkin aja terjadi di dunia ini, nggak pake mikir susah-susah nyari makna tersirat whatsoever yang coba disampaikan penulis.
Tapi gue ulang ya: Gue menikmati.
Bener kata Eka Kurniawan kalau buku ini semacam kisah 1001 Malam, yang ceritanya bermacam-macam tapi terjalin terus. Nggak heran, gue juga kayak si Sultan, yang bersabar menikmati sepotong demi sepotong ceritanya hari demi hari (bukan malam demi malam). Eh gini-gini gue pernah baca buku 1001 Malam lho... Tau dah tuh buku dari mana, pokoknya berseri gitu. Nah sialnya, gue cuma dapet buku pertamanya doang, jadi gue nggak pernah tau akhirnya. Beneran, ga ikhlas banget sampai ke akhir cerita, walau gue penasaran setengah mati!
Kisah O yang mencari kekasihnya, Entang Kosasih, yang kabarnya berhasil menjadi manusia; Kisah Kirik yang dikejar-kejar manusia yang mau membalaskan dendam temannya kepada ibu Kirik yang sudah dimakan belatung; Kisah cinta kiai buta dan wanita gila; Kisah polisi yang menembak anaknya sendiri; Kisah Manikmaya, tikus cantik pembaca tanda-tanda... Dan banyak lagi.
Yang pasti, kesimpulannya: Terkadang binatang bisa lebih manusia daripada manusia dan manusia bisa lebih binatang daripada binatang.
Two thumbs up, tapi saya belum tertarik baca karya-karya lain Eka Kurniawan sih... hahaha... Nanti-nanti mungkin (kalo diskon gede) *digeplak*
Full review:
http://readinginthemorning.blogspot.c... -
O, entang kosasih, rini juwita, betalumur, marko, sobar, dara, banyak tokoh yg diceritakan disini, manusia dan binatang.
Penghubungnya: O dan Entang Kosasih, monyet! Selain monyet, ada juga anjing: kirik, leo, wulandari. Selain itu: ada babi, burung beo, tikus, ular sanca. Semua binatang dan tokoh ada ceritanya masing-masing. Jalan ceritanya maju mundur, berpindah-pindah dari satu tokoh ke tokoh lain. Tapi masih mudah diikuti ko, jalan cerita mengalir dan enak dibaca.
Takjub :) -
Speechless. xD
Karakternya benar-benar banyak, begitu juga dengan semua karakterisasi dan ciri khas masing-masing kisah. Memang Eka Kurniawan ini belum puas kalau belum membuat banyak jalinan cerita jadi satu. Tapi saya, puas, sih. (Dan sebenarnya bakal agak bingung kalau gak konsen baca ceritanya, soalnya agak lompat-lompat)
Salah satu buku yang sangat saya suka untuk mengakhiri tahun 2018.
(Dan, ya, ini challenge saya jadi berkurang bukunya karena hectic dan mood yang ke mana-mana). -
Buku Eka terlama yang aku beresin. Awal-awal pusing karena banyak banget tokohnya, mulai dari binatang, manusia, sampai senapan.
Tapi mereka semua ini punya benang merahnya sendiri-sendiri. Ibarat kata, ada karmanya sendiri-sendiri.
Ini memang tentang O, monyet betina yang bermimpi untuk menikahi Kaisar Dangdut yang diduga merupakan reinkarnasi kekasihnya yang bernama sama, Entang Kosasih. -
Tidak seperti bukunya yang hanya terdiri satu huruf, O, ceritanya justru terdiri dari puluhan karakter yang nasibnya saling beririsan. Dari kaleng sarden, anjing, monyet hingga manusia. Bukan karya terbaik Eka tapi karyanya yang paling enak. Dah itu aja, saya mau dangdutan.
-
Buku pertama Eka Kurniawan yang saya baca. Mungkin nanti saya akan mencoba mencari buku karya Eka lainnya.
-
Point ceritanya biasa saja-- agak fantasi dan dramatik, tentang hal seharian dan kisah masyarakat setempat merangkumi manusia dan haiwan. Naratornya silih ganti, bertukar kasus plot dan isi cerita namun dalam babak yang sama. Imaginasi aku diubah pada setiap bab-bab pendek walau ia kadang agak mengganggu dan confusing bila penceritaan diselang-seli antara realitas dan imbas semula. Idea bagus, variasi cerita dari sudut pandangan berbeza dengan bahasa dan susun ayat yang descriptive--permainan kata dalam ritma bersahaja dan alur naratifnya kemas sekali.
Dari kisah Entang Kokasih dan sepucuk revolver ke hal jatuh cinta dan kematian ke polisi dan pemburuan, kisah si anjing kecil dan hal tikus-tikus yang hidup di gorong-gorong ke adegan balas dendam yang sureal juga barangkali tak masuk akal antara manusia dan sekumpulan monyet. Dan semuanya bermula di Rawa Kalong, tempat kejadian semua penghuni secara kebetulan bertemu dan bersilang jalan cerita. Mesejnya aku suka terutama bahagian plot berkait hal cinta dan perasaan-- ia antara tiada harapan dan berhenti berharap. "Kau mungkin akan hidup dengan dibalut cinta, tapi mungkin tidak bahagia. Kau juga bisa hidup bahagia, meskipun tanpa cinta. Tapi tentu saja kau bisa memperoleh semuanya, sebagaimana bisa terjadi kau tak memperoleh keduanya."
Magisnya bila aku rasa naratifnya makin draggy tapi aku masih mahu kekal baca dan terasa kisahnya penting walau penulis sudah bawa aku ke mana-mana. Karakter yang ramai, sampai penghujung bab juga masih ada karakter baru yang muncul. Ending-nya walau sedikit saspens dan agak menyayat hati tapi aku suka. Biasa saja, tapi cukup hiburannya. -
Tanpa maksud untuk menurunkan nilai buku ini, saya memberi bintang empat. O adalah Karya Eka Kurniawan pertama yang saya baca. Ekspektasi awal membuka buku ini adalah, saya akan dihadapkan pada cerita sarkasme mengenai pandangan manusia terhadap binatang, dan sebaliknya. Hingga di halaman akhir, ekspektasi saya tidaklah keliru, namun dengan porsi yang sedikit. Ini bisa jadi pemahaman saya yang kurang atau memang sengaja disajikan Eka Kurniawan.
Bagi saya, plot cerita ini terlalu kompleks, mundur-maju-mundur-maju lagi-maju dst. Saya dibuat bingung olehnya. Untungnya, Eka mahir menyiasatinya dengan membuat setiap babak cerita ringkas.
Transisi di setiap cerita bisa dikatakan cukup halus sehingga sering kali mengecoh pembaca. Saya sering kali "tertipu" ketika saya mengira dua babak cerita masih berkisah tentang satu tokoh, ternyata menceritakan tokoh lainnya. Begitu seterusnya, sebab banyak sekali tokoh yang Eka hadirkan dalam bukunya ini. Selain tokoh O itu sendiri, ada beberapa tokoh binatang lain seperti anjing, ular, tikus, dan burung kakatua, serta beberapa tokoh manusia.
Porsi cerita tokoh O saya kira tak banyak. Bila diprosentasekan mungkin hanya 40%, sisanya berkisah tentang tokoh lain. Yha meskipun ujungnya masih satu benang merah dengan tokoh O.
Awal membaca buku ini saya dibuat ragu untuk menuntaskannya, sebab di beberapa bab awal bercerita mengenai anjing dan monyet yang disiksa, luka di badan, dan akhirnya menjemput ajal. Sebagai orang yang tidak menyukai binatang berbulu, ini membuat bulu kuduk saya merinding, membayangkan penyiksaan dan beberapa hal tentang binatang.
Bila diminta memberi label pada novel ini, saya akan mengatakan bahwa saya bingung melekatkan label apa. Novel ini bisa disebut satire, thriller, atau romance, bergantung pembaca mau ambil sudut pandang yang mana.
Terlepas dari komentar-komentar saya di atas, saya bertepuk tangan pada Eka Kurniawan yang tidak menjadi penulis kebanyakan. Ia hadir bagai angin segar di ranah cerita fiksi dengan mengambil tema yang mungkin tidak banyak orang terpikirkan. Eka mengkritisi jalan pikir manusia era modern lewat karakter binatang, lewat "sudut pandang" mereka. -
Baca O bikin saya inget satu panel dari Hellboy
Dari cerita, O adalah cerita Eka Kurniawan paling luas. Karakternya banyak banget, dan sering gonta-ganti sudut pandang juga. Lumayan merepotkan memang, apalagi yang belum terbiasa. Ceritanya tetap menarik kok, Premis "Monyet yang ingin menikahi Kaisar dangdut" itu enggak bohong. Bahkan ceritanya sebenarnya bukan tentang itu saja.
Novel ini asik, lucu, rumit, dan rada edan. Standar Eka Kurniawab lah. Banyak Hal yang gak bisa kalian duga. -
Membayangkan eka kurniawan sangat menikmati menulis O. Merasa beruntung O saya jadikam novel Eka Kurniawan pertama saya, jadi sedikit tahu sebelum membaca Seperti Dendam seperti apa arah kejenakaan dan absurditas Eka