Title | : | Child of All Nations (Buru Quartet, #2) |
Author | : | |
Rating | : | |
ISBN | : | 0140256334 |
ISBN-10 | : | 9780140256338 |
Language | : | English |
Format Type | : | Paperback |
Number of Pages | : | 352 |
Publication | : | First published January 1, 1975 |
Child of All Nations (Buru Quartet, #2) Reviews
-
Bila anda berpikir Bumi Manusia dahsyat, gue akan bilang buku ini lebih Dahsyat lagi. Bahkan menurutku, buku kedua ini merupakan yang terbaik dari ke-empat Tetralogi yang ditulis.
Melanjutkan perjalanan hidup Minke dan Nyai Ontosoroh setelah masa peradilan memperebutkan Annelies, disini sisi nasionalisme mulai disinggung sedikit demi sedikit. Banyak tokoh-tokoh baru, tapi yg paling outstanding menurutku adalah perlawanan si gadis dusun yang lemah terhadap tuan tanah Belanda yg ingin mengawini-nya.
Seperti buku pertama, buku ini HARUS anda miliki dan baca. Secara tidak langsung, anda akan menyadari bahwa keadaan kita sekarang sebenarnya "tidak terlalu beda" dengan keadaan kita saat terjajah dulu. -
The second in Toer's humanistic, postcolonial epic. As with This Earth of Mankind, I spent a lot of time thinking "good lord, it's been ages since anyone's written a novel like this." Something with this degree of scope, of complexity. There's less romance and less family in Child of All Nations, and a lot more struggle. Struggle against the colonizers, struggle against the Javanese feudalists, struggles against the comprador classes, struggle against generally shitty people, struggle against one's own personal prejudices. Language becomes the key. Dutch is the language of the colonial state, Javanese is the language of the feudal past, especially in its highly Sanskritized form, English is the language of international discourse, and Malay is the language of the coming revolution, something both local and yet delinked from archaic tradition. Can't wait for the next volume.
-
“Dengan rendah hati aku mengakui, aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orangtua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat”
-Pramoedya Ananta Toer dalam Anak Semua Bangsa-
Ini adalah lanjutan dari kisahku. Kisah seorang anak yang terlahir di atas bumi manusia, dengan kesetaraan fitrah dan kelahirannya. Tanpa batas negara, suku, budaya, tempat, darah dan segalanya. Akan tetapi, pada saat yang sama, manusia mencoba menetapkan sistem, aturan dan nilainya sendiri. Manusia mengkotakkan diri dalam batasan fana negara, bangsa, suku ataupun kasta. Apakah yang disebut bangsa? Apakah yang dinamakan kasta? Dan apakah pula yang dikatakan sebagai kelas sosial?
Dengan keangkuhannya sendiri, manusia menempatkan diri mereka berada di atas sebagian yang lain. Batasan antara timur dan barat, tradisional dan modern, beradab dan biadab serta antara kulit putih dan berwarna. Apakah sebenarnya bedanya? Semua manusia berasal dari benih yang sama. Yaitu benih adam dan hawa yang akhirnya terusir dari surga. Manusia sama-sama hanyalah gumpalan tanah yang diberi ruh. Manusia juga sama-sama adalah hasil dari kompetisi sperma yang bertempur untuk bisa membuahi sel telur. Setelah berbuah, membelah, lantas tumbuh dan berkembang. Lantas apakah bedanya kita dengan mereka?? Apakah yang menjadi dasar anggapan kalau Barat selalu lebih unggul dari timur? Kulit putih lebih tinggi derajatnya dari kulit berwarna? Kalau bangsa yang satu berada di atas bangsa yang lain sehingga membuatnya merasa bebas berbuat apa saja?? Apakah ilmu pengetahuan? Budaya? Pandangan mereka terhadap diri mereka sendiri atau bahkan nafsu dan keserakahan manusia?
Anak semua bangsa merupakan buku kedua dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Anak semua bangsa adalah sebuah titik balik dalam kisah hidup seorang Minke. Bentrokan antara kekagumannya terhadap Eropa dengan realita yang dialami bangsanya. Merupakan titik balik dimana ia mulai untuk mengenal bangsanya sendiri. Mengenal dirinya sendiri.
Setelah kepergian istrinya-Annelies-, Minke berencana untuk melanjutkan studinya di tanah Betawi. Akan tetapi, siapa sangka, perjalanannya ini menjadi pemicu menuju titik balik kehidupannya. Pertemuannya dengan Khouw Ah Soe menggugah semangatnya untuk bergerak sebagai kaum muda. Sindiran sahabatnya Komer menantangnya untuk lebih mengenal bangsanya. Kenyataan dan kisah seorang petani Trunodongso serta seorang Surati cukup menyadarkannya kalau ia memang tidak cukup mengenal bangsanya sendiri. Ini adalah sebuah titik balik dari perjalanannya di atas bumi manusia.
Perrjalan mengenal kembali bangsanya bukanlah suatu hal yang mudah. Minke dihadapkan pada suatu keironisan baru. Kenyataan bahwa bangsanya cukup kerdil di tengah-tengah masyarakat dunia. Bangsa kerdil yang tidak cukup bangga memandang dirinya sendiri. Bangsa kerdil yang betah selama berabad-abad selalu menghamba pada bangsa lain, yang ironisnya terjadi di atas tanah mereka sendiri. Menjadi budak di atas bumi mereka sendiri.
Humanisme, kesadaran akan harga diri bangsa, keadilan, konflik antara barat dan timur dan kesetaraan manusia masih mewarnai buku kedua ini. Bahkan nila-nilai itu terasa lebih nyata dan menohok. Humanisme yang universal. Walaupun pada dasarnya semua manusia diciptakan setara. Akan tetapi, manusia pulalah yang telah membatasi dirinya sendiri. Kekerdilan pikiran dan mental di satu sisi dan kerakusan di sisi lain. Kebodohan di kutub yang satu, melawan modal dan ilmu pengetahuan di kutub yang lainnya.
Kita adalah apa yang kita pikirkan. Selama suatu bangsa masih memandang rendah dirinya sendiri, selamanya bangsa itu akan berharga rendah. Selama suatu bangsa tidak menganggap dirinya setara dengan bangsa lain, maka akan selamanya pula ia menjadi hamba. Penggambaran yang cukup menyentak dan menohok kesadaran. Bahkan lebih jauh dapat menjadi suatu kritik dan sindiran tajam apabila ditarik hingga era sekarang. Humanisme, keadilan, kesetaraan dan kesadaran akan diri sendiri. Lebih jauh lagi menjurus kepada sosialisme yang sama rata sama rasa?? Komunisme yang sama rata sama rasa tanpa kuasa??
Hahaha, terlalu jauh sepertinya kalau saya menariknya hingga ke arah sana. Akan tetapi bisa jadi, itu yang menjadi ketakutan kaum penguasa orde sebelumnya. Ketakutan akan kritik terhadap diri sendiri. Ketakutan melihat cacat di tubuh sendiri. Tapi ini hanyalah sebuah kemungkinan dari berjuta kemungkinan yang beredar di luar sana. Mungkin, maybe, bisa jadi, probably. Hahaha..entahlah...tak mau pusing saya memikirkannya. Saya bukanlah ahli sejarah, tata negara dan sastra. saya juga bukanlah negarawan, politikus atau birokrat. Saya bukanlah siapa-siapa. Saya hanyalah penikmat seni dan sastra. -
This is probably my favorite book of Pramoedya Ananta Toer's Buru Quartet. Last year, I re-read
Bumi Manusia and knowing the outcome of the story, I was somewhat not fascinated by it. Fortunately, this wasn't the case with "Anak Semua Bangsa." I actually enjoyed this book much more during the re-read.
Minke, the protagonist is actually a very complex character and this time I could clearly see that he was brainwashed with colonial mentality. Minke feels special for having received a Western education, which is understandable because he is a "pribumi" (native Indonesian) and most natives were denied this privilege. But several of Minke's friends challenge him to break the mold and form his own identity. Jean Marais wants Minke to write in Malay so that his writing can reach a wider audience of local people. Instead of gracefully considering Jean Marais' suggestion, Minke gets offended! How dare a Frenchman who can't even speak Dutch, suggest that Minke should stop writing in Dutch. It didn't even occur in Minke's head to write for his own people. This is why Kommer (an Indo, which back then was a term to describe Eurasian) criticized Minke for not knowing and understanding his own people. Of course, Minke gets offended again but this time he actually takes into consideration what Kommer said, accepts his criticism and makes an effort to get to know his own people - the Javanese (this leads to the story of Trunodongso).
Minke went on a vacation with Nyai to her village, where they stayed at the home of Nyai's brother Sastro Kassier. To the horror of Nyai and Minke, a similar fate like Nyai's has befallen to her brother's own daughter Surati. Nyai is furious at her brother for allowing history to repeat itself, especially when he knew how much it hurt her. In the flashback, we come across a plague, which ironically, I am reading in the time of coronavirus.
"Dusun di sebelah sana, yang telah ditinggalkan oleh Surati, telah dibakar oleh Kompeni, tumpas bersama pepohonannya yang berpuluh tahun dipelihara oleh penduduknya selama ini. Tulangan sendiri tak pernah dibakar. Dokter didatangkan dari seluruh Jawa untuk menumpas. Pabrik gula besar tak boleh tumpas karena cacar. Modal harus tetap hidup dan berkembang. Orang boleh mati."
Minke cannot imagine a country that isn't ruled by Europe. When he hears that Japanese people are offered equal rights like European citizens in the Dutch East Indies, because Japan has made tremendous technological progress, turning it to a country to fear, Minke is absolutely amazed. But he is also surprised when he meets a liberal Dutchman, who informs him about what is happening right next door in the Philippines: the Filipino educated class wants independence. Minke is shocked. How can an Asian country that isn't Japan, ask for such a thing! Minke begins to realize that European civilization isn't as perfect as he was taught in school. Spain and USA strike a deal and betray the Philippines. The European law disregarded his Islamic marriage to Annelies and have taken her away in the cruelest manner. The law is designed to protect the interests of the European colonizers and their capital. The native people stood not a chance.
"Seribu advokat tak bisa kembalikan anakku padaku," sekarang bukan saja suaranya, juga bibirnya [Nyai] gemetar. "Tak ada satu advokat pun bersedia mengurus perkara Pribumi lawan Totok. Tak ada cara di sini."
When Minke wants to pursue more education, he is faced with the terrible truth that he will just be a screw in a huge machine keeping the Dutch colonial government in control. Yet there's so much that he needs to learn and those things are not taught in school. Minke finds out that the majority of newspapers in the Indies are funded by the sugar companies, who will never report on the abuse suffered by Javanese sugar farmers. Minke also meets a young Chinese man Khouw Ah Soe who illegally entered the Indies to remind the Chinese people on the archipelago that China needs to catch up with the West in terms of technology and governance. The setting of the novel is around the turn of the 20th century. Pramoedya Ananta Toer really brought to life the colonial Indies and the diverse people that inhabited that space.
"Anak Semua Bangsa" literally continues right after
Bumi Manusia. There's no pause. I was a bit confused when it came to the story of Robert Suurhof since I had completely forgotten about him and that he was also in love with Annelies. Pramoedya Ananta Toer narrated this entire Buru Quartet to his prison mates when he was serving time on Buru Island. He only managed to put it in writing several years later. While I was reading this book, I couldn't help but feel that Pramoedya Ananta Toer would've been outraged by what is going on in the world today, and he would've definitely found the right words to describe what is happening now.
"Bangsa-bangsa yang menolak kekuasaan modal akan mati merana dan lumpuh tanpa daya. Masyarakat yang melarikan diri daripadanya akan menjadi masyarakat jaman batu. Semua harus menerimanya sebagai kenyataan, suka atau tidak." -
Buku kedua, Tetralogi Pulau buru karya Pramudya Ananta Toer. Buku ini sekaligus buku terakhir yang kubaca tentang kisah Minke, alias Tirta Adi Surjo, yang pada tahun 2006 lalu akhirnya diakui dengan gelar pahlawan Nasional. Acak.
Kisah di buku kedua ini menceritakan babak baru hidup Minke setelah ditinggal istrinya Annelies. Annelies yang patah hati, semakin lemah dan jatuh sakit dalam perjalanan dan akhirnya meninggal di negeri moyangnya Netherland. Jauh dari orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Murung.
Juga cinta, sebagaimana halnya setiap benda dan hal, mempunyai bayang-bayang. Dan bayang-bayang cinta itu bernama derita. Tak ada satu hal pun tanpa bayang-bayang, kecuali terang itu sendiri.
Minke tetap tinggal bersama mertuanya, Nyai Ontosoroh. Juga tak ingin hidup dalam bayang-bayang Nyai Ontosoroh yang selalu dikaguminya_perempuan pribumi yang mampu mandiri dan menghujat kolonialisme. Tapi selalu saja ada masalah yang menahan Minke untuk melanjutkan sekolahnya ke Batavia sebagai dokter. Agaknya semua bermuara pada upaya perampasan hasil jerih payah Nyai, dari keluarga almarhum Suaminya sekaligus pembunuh Annelies. Mereka terus berjuang mempertahankan haknya, sampai akhirnya hanya bisa mengandalkan lisan saja.
Para sahabat Minke mengajaknya berkenalan dengan semangat pembaharuan selain eropa. Eropa yang selama ini satu-satunya tempat dia memandang, sebagai sebagai peradaban yang lebih tinggi mulai berhadapan oleh negara-negara di Asia yang berusaha menyaingi eropa.
Adanya Pengakuan Belanda terhadap Jbangsa epang yang dianggap setara dengan bangsa Eropa. Geliat Cina yang ingin menjadi Republik, dan yang terdekat Philipina, dengan Jose Rizalnya kemudian menjadi negara Republik yang pertama di Asia.
Seperti yang terekam dalam kata Khow Ah Soe_aktifis tionghoa yang terlunta-lunta demi cita-cita kaum muda bangsanya: "Kami harus serasikan Cina kami dengan kekuatan eropa, tanpa menjadi eropa. Seperti halnya dengan Jepang".
Atau belajar dari Jepang, dalam sebuah seminar:
Setiap orang Jepang yang meninggalkan negerinya, apakah dia kuli nenas di Hawaii, apakah dia koki kapal bangsa lain, apakah dia koki pada sebuah Mansion di San Fransisco, apakah dia pelacur di kota-kota besar di dunia, semua mereka adalah jantung dan hati bangsa Jepang, tidak bisa terpisahkan dari negerinya, leluhurnya dan bangsanya.
Kelak mereka kembali ke negerinya, membangun Jepang setara dengan Eropa.
Perubaahan bangsa-bangsa sekitar, membuat Minke terheran heran. Belajar dari peradaban yang bukan eropa, awalnya aneh, baru dan tak terbayangkan bisa terjadi. Bagaimana sistem kerajaan mulai ditinggalkan dan berganti dengan republik. Revolusi perancis sebagaimana di eropa juga terjadi di Asia. Dan bentuk pemerintahan baru dicapai dengan istilah asing yang baru didengarnya yaitu bernama Organisasi.
Mungkin ini sebabnya, judul buku ini menjadi anak semua bangsa ya?
Karena memang banyak pembelajaran dari negara selain eropa. Bagai bayi semua bangsa dari segala jaman, yang kemudian tumbuh. Dan kelak menjadi cikal bakal tumbuhnya nasionalisme di Indonesia.
Karir menulis Minke semakin menanjak. Tak hanya berbahasa Belanda, dia juga ditantang menulis dalam bahasa Inggris. Tapi sahabat-sahabat terdekatnya justru mendesaknya menulis dalam bahasa yang dianggapnya rendah. Bahasa bangsanya, bukan bahasa Jawa, tapi bahasa Melayu. Bahasa tanpa kasta.
Pada buku ketiga, kelak bahasa inilah yang dipilih menjadi alat perjuangan, alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Minke memperkuat bahasa melayu melalui surat kabar "Medan Prijaji"nya. Bahasa iniah yang jadi cikal bakal pemersatu dan lahirnya Indonesia. Andai Minke menggunakan bahasa Jawa, mungkin Indonesia pun tak pernah ada.
Sebelum menulis dalam bahasa Melayu, Minke digugat untuk mengenal bangsanya sendiri. Baru saja hmulai menulis tentang bangsanya, Minke membongkar kekejaman kapitalis Industri Gula di Tulangan Sidoarjo. Praktek perampasan tanah rakyat!. Membuat bangsanya menjadi budak di tanah sendiri. Dan agaknya praktek ini masih juga tersisa hingga sekarang. Tak pemerintah, maupun pemilik modal. Dengan alasan pembangunan mencaplok hutan dan tanah rakyat, mengganti dengan tambang, jalan tol atau apalah. Hasilnya, rakyat tak juga sejahtera, makin miskin. Tapi yang pasti memperkaya pemilik modal.
Pelajaran penting buat Minke yang akhirnya menyadari bahwa Surat kabar bisa memihak. Keberadaan surat kabar tempatnya bekerja ternyata untuk mengukuhkan kekuatan pemilik modal yang mendanai keberadaannya. Bangsanya harus membuat sendiri surat kabar yang menyuarakan kepentingan bangsanya.
Agaknya aktifis saat ini perlu kembali menyadari kembali hal ini ditengah derasnya Media massa saat ini. Benarkah berpihak pada Rakyat?.
Seperti tema yang juga diangkat novel tetralogi buru lainnya, buku kedua ini juga mengenalkan Tulisan sebagai kekuatan perubahan. Di belahan dunia manapun.
Setelah baca semua tetralogi pulau buru, aku makin gak ngerti kenapa buku ini sempat dilarang. Ada pula yang beri cap buku kiri. Apa yang ditakutkan dari buku ini ya??!
Isinya tentang cikal bakal nasionalisme yang kelak menjelma menjadi Indonesia. Tentang kekuatan menulis dan perannya terhadap lahirnya Indonesia. Tentang kegerahan terhadap kolonialisme, dan keingin berhenti dari 'kecanduan' penjajahan. Tentang kemanusiaan. Tentang pencarian Jati diri bangsa. Tentang keinginan untuk berubah, kemudian bersatu, dan berjuang melalui organisasi dan pers.
Kupikir...cuma mental penjajah yang takut buku ini di baca orang banyak. -
''Anak Semua Bangsa''
* "Barang siapa tidak tahu bersetia pada azas, dia terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati. (''Mama, 4)
* "Nama berganti seribu kali dalam sehari, makna tetap. (''Mama, 20)
* "Kalau hati dan pikiran manusia sudah tak mampu mencapai lagi, bukankah hanya pada Tuhan juga orang berseru? (''Panji Darman/Jan Dapperste, 33)
* "Kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu. (''Jean Marais, 55)
* "Mendapat upah karena menyenangkan orang lain yang tidak punya persangkutan dengan kata hati sendiri, kan itu dalam seni namanya pelacuran? (''Jean Marais, 59)
* "Jangan kau mudah terpesona oleh nama-nama. kan kau sendiri pernah bercerita padaku: nenek moyang kita menggunakan nama yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dunia dengan kehebatannya—kehebatan dalam kekosongan. Eropa tidak berhebat-hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu pengetahuannya. Tapi si penipu tetap penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu dan pengetahuannya. (''Mama, 77)
* "Benih yang tidak sempurna akan punah sebelum berbuah. (''Mama, 79)
* "Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat. Di mana pun ada malaikat dan iblis. Di mana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis. Dan satu yang tetap, Nak, abadi : yang kolonial, dia selalu iblis. (''Mama, 83)
* "Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (''Mama, 84)
* "Dengan ilmu pengetahuan modern, binatang buas akan menjadi lebih buas, dan manusia keji akan semakin keji. Tapi jangan dilupakan, dengan ilmu-pengetahuan modern binatang-binatang yang sebuas-buasnya juga bisa ditundukkan. (''Khouw Ah Soe, 90)
* "Pernah kudengar orang kampung bilang: sebesar-besar ampun adalah yang diminta seorang anak dari ibunya, sebesar-besar dosa adalah dosa anak kepada ibunya. (''Robert Suurhorf, 98)
* "Inilah jaman modern, Minke, yang tidak baru dianggap kolot, orang tani, orang desa. Orang menjadi begitu mudah terlena, bahwa di balik segala seruan, anjuran, kegilaan tentang yang baru menganga kekuatan gaib yang tak kenyang-kenyang akan mangsa. Kekuatan gaib itu adalah deretan protozoa, angka-angka, yang bernama modal. (''Miriam de La Croix, 107)
* "Apa akan bisa ditulis dalam Melayu? Bahasa miskin seperti itu? Belang bonteng dengan kata-kata semua bangsa di seluruh dunia? Hanya untuk menyatakan kalimat sederhana bahwa diri bukan hewan. (''Minke, 114)
* "Tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri. (''Kommer, 119)
* "Kartini pernah mengatakan : mengarang adalah bekerja untuk keabadian. (''Kommer, 121)
* "Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit. (''Kommer, 199)
* "Kehidupan lebih nyata daripada pendapat siapa pun tentang kenyataan. (''Kommer, 199)
* "Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia. (''Kommer, 204)
* "Revolusi perancis, mendudukkan harga manusia pada tempatnya yang tepat. Dengan hanya memandang manusia pada satu sisi, sisi penderitaan semata, orang akan kehilangan sisinya yang lain. Dari sisi penderitaan saja, yang datang pada kita hanya dendam, dendam semata...(''Kommer, 204)
* "Orang rakus harta benda selamanya tak pernah membaca cerita, orang tak berperadaban. Dia takkan pernah perhatikan nasib orang. Apalagi yang hanya dalam cerita tertulis. (''Mama, 382)
* "semua yang terjadi di kolong langit ini adalah urusan setiap orang yang berfikir. (''Kommer, 390)
* "Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana. (''Kommer, 390) -
Sebenarnya ulasan saya ini tugas sekolah pas disuruh bikin resensi buku sih, haha.
https://expellianmus.blogspot.co.id/2... -
In the first part of the Buru Quartet, Bumi Manusia (This Earth of Mankind), our protagonist, Minke, a Native Javanese was attending an exclusive Dutch high school (HBS) and then married a beautiful Indo-European, Annelies, who is a daughter of a wealthy Dutch and his concubine, Nyai Ontosoroh.
"In humility, I realized I am a child of all nations, of all ages, past and present. Place and time of birth, parents, all are coincidence: such things are not sacred."
In the second part, Anak Semua Bangsa (Child of All Nations), Minke has graduated and is learning the world from many people of different backgrounds. The closest one is his mother-in-law. She is self-taught; she has never been to any school, except that of life itself. She proves herself time and time again to be capable of defending her principles and self respect. She shows Minke what he can never learn at school.
"You're an educated native! While Native people are not educated, it is you who must ensure they become educated. You must, must, must speak to them in a language they understand."
The editor of the newspaper he used to write while attending HBS challenged him to write in Malay, the language of the Natives. This leads him to learn about his own society, the peasants, the injustice, the gap between theories and the reality, and more importantly about himself.
"Good, you have admitted that. Now, if a Native starts to talk to you in high Javanese will you advise him to switch to low Javanese? Ha, you can't answer. You are still not able to give up the comforts and pleasures that are yours as an inheritance from your ancestors -rulers over your own native fellow countrymen. Yea're a cheat! The ideals of Liberty, Equality, and Fraternity of the French revolution?
I shriveled in shame. Yes, I had to admit it: I was still unable to give up the benefits of my heritage. When someone spoke to me in low Javanese, I felt my rights had been stolen away. On the other hand, if people spoke to me in high Javanese, I felt I was among those chosen few, placed on some higher plane, a god in a human's body, and these pleasures from my heritage caressed me."
The story is also about people fighting back, resisting the worst of colonial oppression and greed. The world is changing in the early 20th century. China is awakening, Japan is considered equal to the West, and the Filipino people have created the first Asian republic (although briefly).
"We fought back, Child, as well and as honorably as possible." -
Melanjutkan buku pertama, dimana tokoh Minke begitu mengagumi kebudayaan Eropa yang dianggapnya superior tak bercela, buku ini menampilkan pergeseran pandangan. A disillusionment. Kekecewaan bahwa Belanda atau Eropa bisa sama busuknya dengan raja-raja Jawa yang korup itu. Kepenulisan Minke, yang selama ini hanya dalam bahasa Belanda, mulai didorong-dorong oleh sahabatnya untuk menjamah ranah bahasa Melayu juga. Bahasa adalah bagian penting dari jati diri. Cerita ini dengan indahnya melukiskan pergulatan mencari jati diri ini.
Dibuka dengan kisah kematian Annelies, mau tidak mau buku ini membuatku patah hati.
Adegan penutup yang sangat mengesankan. Kemarahan, kesedihan dan harga diri kebangsaan berkelit berkelindan dalam dialog antara Ir. Maurits Mellema dengan Nyai Ontosoroh dan para sahabatnya. Maysaroh, gadis kecil putri pelukis perancis yang diam-diam menaruh hati pada sang nyai, paling mewakili kepedihan para orang dewasa dalam ruangan itu. Dia memekik sedih dan murka saat mengetahui sarjana rupawan dihadapannya itulah pembunuh Kak Annelies kesayangannya.
Minke masih juga gagap dan tidak bertaring dihadapan kekuasaan kolonial Eropa. Sementara Nyai Ontosoroh seakan mewakili nasib pribumi masa itu: kita hanya bisa melawan dengan kata-kata!
---------------------------
PS: A generous gift from Lita :-) -
2 dari 4 - Tetralogi Buru.
Suka banget banget banget sama buku kedua ini. Plotnya mengalir cepat tapi tetap detail. Di buku ini karakter-karakter pendamping seperti Nyai Ontosoroh dan Jean Marais tidak banyak disorot, tapi justru bermunculan beberapa karakter baru yang menandai transisi dari periode Bumi Manusia. Paling menarik adalah ketika muncul karakter Khouw Ah Soe juga Trunodongso yang walaupun singkat, tapi kehadirannya sangat signifikan dalam menggugah dan membuat Minke berefleksi tentang apa yang selama ini telah dilakukannya untuk bangsanya. Buku Anak Semua Bangsa memang menyorot transformasi pemikiran Minke yang lambat laun makin terketuk dan terbuka, dari yang awalnya hanya menerima kini berani mempertanyakan. Sebagai bagian dari roman sejarah, Anak Semua Bangsa tidak hanya berhasil menceritakan periode berbangsa yang pelik tapi juga membuat kita mempertanyakan pada diri sendiri, sudahkah kau kenal bangsamu sendiri?
Setelah ini lanjut buku ketiga, cuuuus! -
Kalau dalam membaca Bumi Manusia aku seringkali terbayang figur Iqbaal ketika membayangkan Minke, kali ini, tak ada Iqbaal lagi. Buku ini luar biasa menunjukkan bahwa setelah urusan cinta, menjadi dewasa juga berarti mengenali diri dan sekitar. Hidup bukan sekadar roman belaka. Dan kita cuma manusia; bukankah pada kemanusiaan kita bersandar?
Buku ini adalah salah satu favoritku dari Pram. Aku menemukan diriku beberapa kali tersenyum membacanya. Pun aku merasakan tegang di beberapa bagian. Jauh lebih menarik daripada buku sebelumnya.
Misalnya, seru sekali membayangkan bagaimana Minke harus mempertanyakan kembali kebenaran dari jalan yang telah ia pilih--menulis dalam Bahasa Belanda--untuk pelan-pelan belajar bahwa ia sesungguhnya perlu menulis dalam Bahasa Melayu. Pikiran dan tingkah laku sudah maju dan menampakkan ciri seorang terpelajar, tapi apa guna jika tak digunakan untuk bangsa sendiri? Maka beranilah ia menulis soal sepupu iparnya dan seorang petani bernama Trunodongso--keduanya Pribumi dan korban dari kolonialisme. Dari sanalah ia menyadari bahwa walaupun pengetahuan Eropa sudah ia kuasai dalam kepala, ketika turun dan mengalami apa yang dilakoni oleh sesama bangsanya, ia tetap bukan siapa-siapa. Hanya seorang anak dan cucu dari bupati, dengan segala keistimewaannya bisa mengecap nikmatnya bersekolah di H.B.S.. Bahkan Minke beberapa kali merasa jijik dan tak nyaman serba-serbi Pribumi. Lucu sekali. Namun, terasa relevan pula untukku.
Selama ini, setelah aku berpusing-pusing makan beragam literatur filsafat, bersua dengan orang-orang hebat, bergumul dengan perihal ndakik-ndakik, apa sih yang sudah kuberikan untuk tanah kelahiranku, Bali? Apa guna pengetahuan setinggi langit jika kampung halaman tak kukenali? Mana yang kau pilih, egomu untuk meninggikan diri dan namamu, atau kerendahhatian untuk berada berasama sesama saudara-saudarimu? Ah, Minke, terima kasih sudah menyadarkanku. Aku harus terus belajar dan tetap merunduk.
Oh ya, kembali lagi, aku suka bagaimana halaman-halaman terakhir dari buku ini membuatku merasakan sesuatu. Kini aku mulai penasaran, apa titik klimaks setiap seri tetralogi ini memang berada di akhir? Atau cuma perasaanku saja? -
Hapus air mata dan lepas semua duka lara..lihatlah keadaaan disekelilingmu;
“Sebagaimana kita akan tetap terkenang pada hari ini, dia pun seumur hidup akan diburu-buru oleh kenangan hari ini, sampai matinya, sampai dalam kuburnya.” Nyai Ontosoroh
“Ya Ma, kita sudah melawan, Ma, biarpun dengan mulut.” Minke
Ini adalah kisah tentang duka..tentang kehilangan..Annelies..Ini juga merupakan sebuah periode bagi Raden Mas Minke..untuk bangkit dari kesedihan..lewat sepotong cerita dari Tulangan, Sidoarjo..Daerah asal Nyai Ontosoroh, Minke menemukan Kisah Nyai Surati dan petani Trunodongso..kisah yang secara tidak langsung menyingkap tabir masa lalu kelam bagi sang tuan besar Mellema..dan dari Tulangan, Minke yang sudah terbiasa menikmati segala sanjung puja lewat garis bangsawan yang dimilikinya, melihat dengan mata kepalanya sendiri..kenyataan bahwa rakyat jelata tak berdaya..melawan kekuasaan bangsa Eropa..Lewat para sahabatnya yang merupakan anak segala bangsa; Jean Marais, Kommer, Khouw Ah Soe dan korespondensinya dengan keluarga de la Croix (Herbert, Sarah dan Miriam)..juga lewat guru sekaligus ibu mertuanya; Nyai Ontosoroh..Minke disadarkan untuk tak melulu membanggakan peradaban Eropa..untuk tak selalu mengunggulkan catatannya dalam bahasa Belanda..lewat anak segala bangsa..kesadarannya mulai tergugah.. bahwa untuk melawan segala bentuk ketidakadilan yang mendera bangsanya..ia harus menulis dalam bahasa bangsanya..dan berbuat sebaik-baiknya bagi bangsanya..
Berhasilkah Minke mencapai tujuannya?? -
Masih ingat gaya bercerita buku-buku teks Sejarah waktu sekolah ga'? gaya penulisannya kurang pasti objektif, kronologis, dan penuh tanggal-tanggal yang wajib kita hapalin karena selalu muncul di ujian.
Keknya emang itu satu-satunya cara para penulis buku teks yang digunakan di sekolah-sekolah buat mempertahankan keobjektifannya dan “tidak memihak”. Tapi, kalok nDaru bilang sih hal kekgini bikin sejarah menjadi kering — kehilangan nuansa, sepanjang nDaru ngikutin buku sejarah dari SD mpe SMA, gak ada yang membawa kita bisa merasaken "feel" ato greget kronologi kejadiannya. Kita endak tahu seperti apakah keadaan emosi suatu zaman. Kita endak bisa menyatu dan ikut merasakan apa sih yang dialami tokoh-tokoh sejarah di masa itu. Kita hanya tahu bahwa Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Tapi kita endak pernah tahu apakah beliau sempat tidur sejak diculik pemuda ke Rengasdengklok, apa beliaunya bahagia?apa beliaunya malah takut? Tiba-tiba saja ditodong disuruh mbikin naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Trus mbikin UUD buwat negara yang baru saja laer ini.
Lha...baru di buku Anak Semua Bangsa, kita bisa melihat sudut kehidupan yang lain yang diceritakan buku teks sejarah tentang zaman kebangkitan nasional. kalok buku teks sejarah menghadirkan tokoh sentral macam Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, dan dr. Cipto Mangunkusumo, Pramoedya memulainya dari tokoh fiktif bernama Minke, seorang pribumi yang nDaru yakin gak pernah dicatat sejarah manapun.
Minke berasal dari kelas masyarakat yang jarang dipotret oleh buku sejarah. Si Minke ini termasuk pribumi yang beruntung karena bisa sekolah di HBS, sekolah bikinan Belanda yang waktu itu cukup ngetren di ranah Eropa. Karena pinter, ia jadi penulis di sebuah harian berbahasa Belanda, sesekali menulis dalam Bahasa Inggris,pokoknya Eropa-minded banget lah, disamping itu Si Minke ini juga cenderung congkak karena kedudukan dan kepinterannya.
Dari kacamata seorang yang sama sekali endak punya kepedulian terhadap bangsanya sendiri — bahkan dikisahkan si Minke ini endak mau menulis dalam bahasa Melayu sama sekali — kita diberikan gambaran seluas-luasnya tentang corak, emosi, dan budaya masa-masa itu tanpa batas. Dari mendalami Minke berproses dari Eropa-minded menuju ke kesadaran cinta tanah air dan pentingnya kemerdekaan ini, kita merasa dekat dan rasanya masa tersebut begitu dekatnya dengan semua proses kemerdekaan bangsa ini.
Anak Semua Bangsa cuman sebuah potret kecil kehidupan Minke. Kata paman Wikipedia--dapet dari non Darnia--Roman ini merupakan buku kedua dari Tetralogi Buru: Bumi Manusia, Rumah Kaca, dan Jejak Langkah. nDaru sendiri udah baru mbaca yang Anak Semua Bangsa ini sama Bumi Manusia, tapi buku yang kedua ini yang lebih nyantol di jidat nDaru.
Roman ini masuk dalam kategori berat buat dibaca, apalagi ni buku menceritakan kebangkitan nasional dari sisi yang beda, jadi buku ini nDaru rasa tetap endak cocok buat anak-anak sekolah. Buku teks yang konvensional keknya masih lebih baek buat memberikan dasar pengetahuan bagi mereka. Mungkin roman ini sesuai untuk mereka yang udah matang dalam menyikapi sejarah dan ingin memperkaya pengetahuan tentang masa-masa kebangkitan nasional.
Sekian gacoran sayah yang sok analis inih..slamat mbaca bukunya!! -
In the first part of the Buru Quartet, Bumi Manusia (This Earth of Mankind), our protagonist, Minke, a Native Javanese was attending an exclusive Dutch high school (HBS) and then married a beautiful Indo-European, Annelies, who is a daughter of a wealthy Dutch and his concubine, Nyai Ontosoroh.
"In humility, I realized I am a child of all nations, of all ages, past and present. Place and time of birth, parents, all are coincidence: such things are not sacred."
In the second part, Anak Semua Bangsa (Child of All Nations), Minke has graduated and is learning the world from many people of different backgrounds. The closest one is his mother-in-law. She is self-taught; she has never been to any school, except that of life itself. She proves herself time and time again to be capable of defending her principles and self respect. She shows Minke what he can never learn at school.
"You're an educated native! While Native people are not educated, it is you who must ensure they become educated. You must, must, must speak to them in a language they understand."
The editor of the newspaper he used to write while attending HBS challenged him to write in Malay, the language of the Natives. This leads him to learn about his own society, the peasants, the injustice, the gap between theories and the reality, and more importantly about himself.
"Good, you have admitted that. Now, if a Native starts to talk to you in high Javanese will you advise him to switch to low Javanese? Ha, you can't answer. You are still not able to give up the comforts and pleasures that are yours as an inheritance from your ancestors -rulers over your own native fellow countrymen. Yea're a cheat! The ideals of Liberty, Equality, and Fraternity of the French revolution?
I shriveled in shame. Yes, I had to admit it: I was still unable to give up the benefits of my heritage. When someone spoke to me in low Javanese, I felt my rights had been stolen away. On the other hand, if people spoke to me in high Javanese, I felt I was among those chosen few, placed on some higher plane, a god in a human's body, and these pleasures from my heritage caressed me."
The story is also about people fighting back, resisting the worst of colonial oppression and greed. The world is changing in the early 20th century. China is awakening, Japan is considered equal to the West, and the Filipino people have created the first Asian republic (although briefly).
"We fought back, Child, as well and as honorably as possible." -
This is the second volume of the Buru Quartet, a story about Indonesia in roughly 1900, and coping with /withdrawing from Dutch rule - the Dutch certainly don't seem to have much to recommend them as colonial masters. The story is about a Javanese writer/journalist who was married to a half-breed who was then taken away from him by her Dutch father's family, and then died - Minke, the main character continues to live with his strong-willed mother in law, a Javanese woman who overcame the hardships of being forced into a concubinage at an early age, and who certainly is one of the strong women of literature. I read the first volume on a prior trip to Indonesia, where I read the second volume - may hold the rest for another trip.
This story does get preachy from time to time, and the basic story is soap opera-ish, but it does give a good sense of life under colonialism and emerging strains of nationalism (particularly as they are able to find out that the Philippines had revolted against the Spanish).
Toer wrote/composed this while in prison for political reasons about 40 years ago (1973) and first relayed the story to his fellow inmates - given that no one knew when they were going to get out, a long serial story with diversions would have been welcome. In this book more so than in the first volume I did get the sense of this as a story that continues on - while the reading does not suggest an oral history per se, the content, and the lack of need to be concise, does come through. -
Dalam Bumi Manusia, Minke seorang anak bupati, lulusan HBS -sekolah eropa, yang tidak semua pribumi bisa bersekolah disana- , begitu bangga nya dengan keeropaannya. Apalagi tulisan-tulisannya-sebagai Max Tollenaar- dalam bahasa Belanda sudah mulai dikenal banyak orang. Kini (di buku Anak Semua Bangsa) ia mulai digugat untuk mengetahui keberadaan bangsanya sendiri.Setelah Jean Marrais dan Kommer "melukai" hati Mingke dengan menyebutkan ia tidak kenal dengan bangsanya sendiri, Mingke mulai menemukan nasionalisme didalam hatinya yang ia sebut sebagai "benua baru". Didalam buku ini Mingke belajar tentang Revolusi Prancis, Jepang, China, sampai pergerakan di Filipina yang dimotori Jose Rizal. Mingke juga mulai menemui bahwa selama ini ia hanyalah menjadi budak kolonialisme dan mendapati semuanya seperti kulit apel yang mengkilat diluarnya ternyata dalamnya penuh ulat dan busuk.
Saya juga menyukai buku ini karena karakter Nyai Ontosoroh bisa juga terlihat sangat rapuh sekaligus sangat kuat, kadang sampai-sampai karakter Mingke berada pada bayang-bayang Nyai Ontosoroh. Satu hal yang saya petik dari buku ini, kebobrokan moral bangsa yang sekarang terlihat terutama korupsi dan kolusi adalah buah dari kolonialisme selama berabad-abad. -
I really liked this book. The further I get into the tetralogy the more I feel like the narrator. Fascinating, tragic, inspiring, and a page turner. He's both a feminist and a misogynist, a colonialist and a revolutionary. He sounds like a coherent deconstructionist. To know that such a person existed...
-
Anak Semua Bangsa, adalah roman kedua dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Salah satu buku terbaik yang pernah saya baca. Tidaklah berlebihan rasanya bila penerbit Lentera Dipantara menyatakannya sebagai Sumbangan Indonesia untuk Dunia.
Ketiga roman pertama Tetralogi Buru (termasuk Anak Semua Bangsa) menempatkan Minke, seorang Pribumi terpelajar lulusan HBS sebagai tokoh utama. Minke adalah gambaran pemuda Pribumi yang selalu dilanda kegelisahan akan nasib bangsanya sebagai bangsa jajahan, kegelisahan yang dilandasi nurani kemanusiaan yang pada akhirnya menjadi landasan berpikir dan bertindak: karena dan untuk bangsanya.
Kalau roman bagian pertama, Bumi Manusia, merupakan periode penyemaian dan kegelisahan, maka roman bagian kedua ini, Anak Semua Bangsa, adalah periode observasi atau turun ke bawah mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah Pribumi yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa. Dalam Anak Semua Bangsa, Minke dihadapkan antara kekaguman pada peradaban Eropa dan kenyataan di lingkungan bangsanya yang kerdil. Sejak kedatangan Khouw Ah Soe seorang aktivis pergerakan Tionghoa, surat-surat keluarga De la Croix, teman Eropanya yang liberal, dan khotbah politik Nyai Ontosoroh, mertua sekaligus guru agungnya, kesadaran Minke tergugat, tergurah, dan tergugah. (Lentera Dipantara)
Roman ini sarat akan pesan dan pengajaran tentang nasionalisme dan humanisme, terutama tentang kepedulian dan kecintaan terhadap bangsa sendiri. Berlatar belakang Indonesia di akhir abad 19, setting dibangun dengan gambaran yang detail baik dari latar cerita, kebiasaan, maupun budaya dan pola pikir pada zaman tersebut. Indonesia, yang dalam buku ini disebut sebagai Hindia Belanda, diceritakan masih dalam masa kolonialisme sebagai bangsa terjajah. Pribumi terutama golongan lemah adalah pihak yang paling tidak berdaya menghadapi dua penjajahan sekaligus, yakni penjajahan dari Belanda kolonial dan penjajahan dari raja-raja Pribumi sendiri yang dalam masa itu berada di bawah lambang Bupati, Pangreh Praja dan aparat-aparat pemerintahan tradisional Jawa lainnya.
Minke pasca kepergian Annelies istrinya, dalam buku ini dikisahkan mulai berusaha turun gunung untuk mengenal bangsanya. Tuduhan sahabat-sahabatnya bahwa Minke tak mengenal bangsa sendiri, karena ia hanya mau menulis dalam Belanda, enggan menulis dalam Melayu, bahasa yang notabene dikuasai oleh sebagian besar bangsanya dibandingkan dengan Belanda yang terbatas penggunanya.
Minke dalam upayanya turun gunung, kemudian mengenal kehidupan tertindas petani gula yang dalam cerita ini diwujudkan melalui sosok Trunodongso. Petani dengan sawah seluas lima bahu, namun hidup dalam kekurangan dan penindasan karena tanah warisan yang dimilikinya direbut paksa oleh pabrik gula. Pabrik gula, wujud penguasa dan penjajah baru dalam jaman modern, yaitu deretan angka bernama modal.
Penyaksian diri Minke atas ketidakberdayaan Trunodongso dalam menghadapi rakusnya pabrik gula mencaploki tanah petani, pengetahuannya akan kisah Surati - gadis muda yang dijual ayahnya kepada Belanda penguasa pabrik gula hanya karena untuk menyelamatkan jabatan sang ayah, surat-suratnya dengan keluarga De la Croix yang brilian, penuh dengan pemikiran jaman baru yang kritis, kemudian perbincangannya bersama Ter Haar, teman Eropa yang liberal dan mengajarkan Minke tentang nasionalisme dan memetik pengalaman dari berbagai bangsa-bangsa dunia. Dan yang terakhir, pelajaran kehidupan dari Nyai Ontosoroh, mertuanya, seorang perempuan Pribumi yang berdiri tegak menentang Eropa dan kolonialismenya dengan segala keberanian, kegigihan, kerja keras, wibawa dan kecerdasannya.
Semua pemikiran, ketidakberdayaan, dan kegelisahan itu diceritakan sambung-menyambung dari satu guru dan pengalaman ke guru dan pengalaman lainnya, terus menumpahi Minke tanpa memberinya jeda, yang pada akhirnya mengubah pandangan Minke tentang hidup itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Kommer, salah seorang sahabatnya, "Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir."
Minke pun mulai menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan dan kegelisahan, dan mulai ada sesuatu yang bangkit dari dalam dirinya, nasionalisme dan kemanusiaan yang semakin kuat untuk melawan kekuatan penjajah kolonialisme, yang didasari atas satu alasan : karena dan untuk bangsanya.
Cerita berjalan relatif lambat, karena banyak di antara bagian buku hanya menceritakan pemikiran Minke sendiri. Pemikiran yang mengembara, menemukan informasi, mencerna kemudian memproses menjadi sebuah kesimpulan, di mana bagian ini hanya terjadi dalam kepala Minke, sehingga seolah waktu berhenti untuk beberapa lama karena yang dilakukan pembaca hanya diam membaca penuturan Minke dan berusaha untuk memahami. Namun demikian, karena tema dan penulisan yang menarik, yang membawa saya tenggelam dalam kalimat-kalimatnya, maka alur yang lambat itu tidak menjadi masalah.
Tokoh favorit saya dalam buku ini, tentu saja, Nyai Ontosoroh. Perempuan pribumi terpelajar, berani, cerdas dan berwibawa yang berdiri menentang ketidakadilan kulit Putih, Eropa kolonial. Nyai Ontosoroh adalah guru Minke dalam kehidupan, mengajarkan kepada Minke banyak hal, pendapat, pertimbangan dan sudut pandang yang tidak diperoleh Minke dari orang lain apalagi dari sekolah, dengan begitu maka Nyai Ontosoroh banyak memberikan pengaruh pada Minke. Sosok Nyai Ontosoroh ini diceritakan maju melampaui jamannya, bahkan di jaman sekarang pun tidak semua perempuan dapat berpikir dan bertindak demikian.
Dalam buku ini beberapa kali disebutkan bahwa Minke adalah lulusan HBS yang mengesankan bahwa HBS adalah gelar pendidikan yang membanggakan, maka saya pun tertarik untuk browsing soal HBS ini. Ternyata memang benar, HBS atau kependekan dari Horgere Burger School adalah sekolah lanjutan tingkat menengah pada zaman Hindia Belanda, serupa dengan SMP dan SMA. Proporsi Pribumi untuk dapat bersekolah di HBS sangat rendah, pada tahun 1900-an (di masa Minke) Pribumi hanya 2% saja dari total siswa HBS, sementara lainnya adalah anak-anak Totok Eropa atau Peranakan. HBS di Hindia Belanda dirancang sama dengan HBS di Belanda sehingga standar kurikulumnya tinggi dan ketat. Karena tuntutan kurikulum yang tinggi tersebut, maka tingkat kelulusan sampai mendapatkan ijazah HBS hanya 25% dari total siswa. Di HBS para siswanya wajib lulus pelajaran 4 bahasa: Belanda, Jerman, Inggris dan Perancis. Pantas saja dalam buku Minke diceritakan bisa bicara, membaca dan menulis dengan berbagai bahasa tersebut.
Ada satu lagi hal menarik yang beredar di kalangan pembaca Pram, yaitu bahwa sosok Minke dalam buku ini terinspirasi (bahkan mungkin setengah bagian cerita ini merupakan representasinya) dari tokoh nyata bernama Raden Mas Tirto Adi Suryo. Seorang pelopor pergerakan Indonesia dan tokoh pers nasional, yang sempat terlupakan oleh masyarakat kita.
Lewat buku ini, Pramoedya Ananta Toer sekali lagi membuktikan kebesaran namanya sebagai seorang sastrawan Indonesia, yang menulis karya besar justru ketika menjadi tawanan politik di Pulau Buru. Karena kekhawatiran bahwa dia takkan bisa keluar dari pulau itu hidup-hidup, dan kecemasan bahwa cerita ini akan terkubur bersamanya tanpa sempat dituliskan, maka Pram mulai menuturkan kisah ini secara lisan kepada rekan sesama tawanan di pulau tersebut. Ketika akhirnya Pram berhasil menuliskan cerita ini, dan pada tahun 1980 menerbitkannya, hanya berselang beberapa bulan dari penerbitan buku tersebut dicekal dilarang beredar oleh Jaksa Agung pada masa itu. Baru 20 tahun kemudian, buku ini kembali diterbitkan dan beredar di Indonesia.
Saya pribadi sangat menikmati dan merekomendasikan buku ini. Setidak-tidaknya sekali kita perlu membaca buku-buku yang sarat nilai kebangsaan seperti ini, sebagaimana mengutip kalimat Philip Vermonte dalam artikelnya tentang Pram, "Agar kita tidak menjadi angkatan muda yang mati rasa justru di era ketika penguasa hampir tidak mungkin lagi memasung dan memenjara pikiran anak bangsanya sendiri." -
Sekarang saya tahu kenapa Pram pernah menjadi nominee Nobel Sastra.
Berbeda dengan Bumi Manusia yang masih berkutat mengenai kisah cinta dan distorsi idealisme Minke terhadap pemerintahan Hindia Belanda, dalam Anak Semua Bangsa mulai diputarbalikkan segala yang tadinya, saat di Bumi Manusia, diagung-agungkan oleh Minke; kemajuan dan keagungan peradaban Eropa. Dalam Bumi Manusia Minke masihlah seorang terpelajar yang mengagungkan Eropa dan mengkerdilkan bangsanya sendiri, sampai ketidakadilan mengenai Annelies, istrinya, membuka matanya mengenai sikap Belanda yang sesungguhnya terhadap kaum Pribumi, namun selesai begitu saja dengan akhir yang menggantung. Dalam sekuelnya kali ini, setelah terlepas (atau dipaksa untuk melepas) dari masa berkabungnya, Minke semakin membuka matanya atas nasib bangsanya sendiri, yang terjepit di bawah kekuasaan penjajah. Dan pembukaan matanya ini diprakarsai oleh sindiran sahabatnya, Jean Marais, atas ketidakinginan Minke untuk menulis dalam bahasa Melayu, bahasanya sendiri.
"Apa kau tak mau tahu?" bantahku, "hanya orang kurang atau tidak berpendidikan saja membaca Melayu?" (hal 72)
"Apa akan bisa ditulis dalam Melayu? Bahasa miskin seperti itu? Belang-bonteng dengan kata-kata semua bangsa di seluruh dunia? Hanya untuk menyatakan kalimat sederhana bahwa diri bukan hewan?" (hal 152)
Ya. Alasan Minke tidak mau menulis dalam Melayu atau Jawa adalah karena baginya bahasa tersebut hanya dipergunakan oleh orang tidak berpendidikan, Pribumi tidak berpendidikan, sementara jika ia ingin menjadi penulis, ia seharusnya menulis dalam Belanda, dengan kans pembaca yang lebih terpelajar. Sungguh ironis, kala membaca bahwa justru Jean Marais-lah, seorang Prancis, yang berusaha menyadarkan Minke akan keperluannya menulis dan berseru untuk bangsanya sendiri. Bukan hanya Jean saja, ketika semua bujukan lembut pelukis itu tak dapat menembus dinding ego Eropa Minke, Kommer pun juga turut turun tangan. Kommer sendiri adalah seorang peranakan Indo yang mengesampingkan darah Eropanya dan memutuskan untuk menulis Melayu. Lagi-lagi, ironis.
Kata Kommer terhadap Minke:
"Ya, Tuan, bukan Pribumi yang justru merasa punya kepentingan memberi kabar dalam Melayu dan Jawa pada Pribumi. Kan itu hebat, Tuan. Bukan Pribumi! Juga bukan Pribumi yang merasa berkepentingan bahasa Melayu dan Jawa berkembang baik. Bahasa miskin? Tentu. Semua yang dilahirkan memulai hidup tanpa mempunyai sesuatu kecuali tubuhnya dan nyawanya sendiri. Tuan tak terkecuali." (hal 153)
"Tanpa mempelajari bahasa bangsa-bangsa lain, terutama Eropa, orang takkan mengenal bangsa-bangsa lain. Bahkan tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri. Dan tanpa mengenal bangsa-bangsa lain, orang takkan mengenal bangsa sendiri dengan lebih baik." (hal 158)
Buku yang sangat ambisius, kalau boleh mencatut salah satu review teman saya. Di seluruh buku dari awal hingga akhir penuh selentingan tentang nasionalisme dan ajakan untuk mengenali bangsa sendiri, dan menyuarakannya kepada bangsa sendiri, dengan bahasa sendiri. Bukan dunia internasional, bagi Pram, yang patut diajak bangkit dan kagum pada bangsa kita, melainkan bangkitkan pengetahuan akan bangsa sendiri dengan cara bercermin dari dunia-dunia lain, dan dengan itu ajaklah semua rakyat untuk mengubah bangsanya di mata dunia. Semua. Bukan hanya satu-dua.
Sebuah novel yang berhasil menampar muka saya berkali-kali dengan selentingan tentang menjadi penulis bangsa yang baik dan semangat nasionalismenya. Sembah sujud untuk Pramoedya Ananta Toer.
5 bintang untuk kejeniusan karya anak bangsa.
Tabik, Indonesia! -
Buku ini tidak seindah buku pertama, dimana Minke sudah mulai menemui kepahitan-kepahitan hidup, kehilangan dan ketertindasan. Fase turun ke bawah, begitu Pram menyebutnya, memperkaya sudut pandang Minke tentang apa yang sedang dialami bangsanya, bagaimana sebenarnya para Belanda dan Eropa yang selama ini dia kagumi. Hingga akhirnya dia bisa memutuskan dan mengambil sikap, apa yang harus dia lakukan sebagai seorang lulusan HBS, apa yang akan dia lakukan untuk orang-orang yang tertindas oleh kaum Belanda terpelajar nan kapitalis. Perjalanan dan kontemplasi Minke menghasilkan keputusannya untuk hjrah, dia bukan lagi seorang penulis yang hanya mengarang cerita-cerita indah berbalut tragedi jajahan, namun menjadi jurnalis yang berani menyuarakan pendapat tentang kebenaran dan keadlian, meskipun keadilan seolah tak pernah berpihak pada kaum pribumi. Perkembangan watak Minke di sini cukup membesarkan hati, mengingat betapa naifnya pemuda ini sebelumnya dalam memandang hidup dan kebanggan menjadi separuh bagian bangsa Eropa lewat ilmu dan wawasannya. Bukan hanya Minke, tokoh-tokoh lain yang tampak sekelebatan saja di Bumi Manusia, bahkan beberapa tampak tidak penting, justru banyak mengambil porsi menarik dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Jan Darpersten, Darsam, Jean Marais, Kommer, bahkan si Genit Minem sekalipun. Di sini juga diungkap identitas si Gendut yang menyebabkan keresahan hati Minke, juga sepak terjang Robert Mellema pasca kejadian menggemparkan di rumah plesirah Ah Tjong. Semua dikemas dengan runtut dan tentunya, bahasa yang menghanyutkan seperti biasa. Namun yang paling menarik, tentu saja sang Bintang, Nyai Ontosoroh. Pandangannya tentang kehidupan mulanya sama seperti pandangannya terhadap jalannya perusahaan (berkisar pada untung-rugi), berpindah pada kemanusiaan dan persahabatan. Dan tampilnya dia pada closing Anak Semua Bangsa ini boleh dibilang epic, seperti klimaks drama sebelum tirai diturunkan.
-
Buku ini selesai gue baca waktu dalam perjalanan pulang dari bandung ke Jakarta. Gue ke Bandung dalam rangka sebuah seminar waktu itu.
Satu pelajaran yang sangat gue petik dari buku ini adalah mengenai diri kita sendiri.
Kalau gue boleh membayangkan bagaimana perasaan seorang Minke, yang adalah anak seorang bupati, lulus dari sekolah yang dikhususkan untuk pribumi mengecap ilmu Eropa, penulis artikel koran yang gape' dalam berbahasa belanda, akan berada setinggi apa kebanggaan yang dia miliki? Di tengah-tengah kemiskinan dan kepahitan hidup di bawah kolonial, boleh jadi itu adalah suatu kebanggaan besar. kemanapun Minke pergi, orang-orang bawahan akan memanggil dirinya dengan sebuat 'Ndoro' dan memanggil diri mereka sendiri dengan sebutan 'sahaya'. Alangkah agungnya menjadi seorang 'Ndoro'.
Tapi apa yang menampar dari buku ini adalah kenyataan bahwa menjadi orang yang terpelajar dengan segala ilmu dari dunia barat, bukan berarti dirimu berguna bagi bangsa. Untuk apa semua pengetahuan itu, kalau kamu tidak bisa membuat bangsamu menjadi lebih cerdas dan pintar? Kamu hanya akan menjadi 'budak' dari dunia barat saja.
Satu buku lagi yang gue suka dari Pramoedya Ananta Toer, buku yang membuka pikiran, menemplak amat sangat, walaupun harus gue akui, gue setengah mati ngebacanya (terutama waktu di awal-awal). Lantaran, gue lupa, gimana buku pertamanya, Bumi Manusia, berakhir.
Anak Semua Bangsa mengangkat satu isu krusial bagi gue. Boleh aja lulusan luar negeri, tapi kalo' kita nggak kenal bangsa sendiri dan bagaimana kita seharusnya ikut berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, lalu, ilmu itu buat apa? -
this is the second book of the quartet and i really wish i didn't wait so long after reading the first before reading this one. i read the first book almost a year ago or more and i couldn't remember some events which were kind of important. they weren't essential to the plot of the second but they were mentioned and i was dissapointed i couldn't recall them. i think i would've liked it even more had i been able to remember much of the first book. other than that though i really enjoyed this book, equally as much as i remember enjoying the first. minke and all of the other characters return and carry on in their various colonial/anti-colonial roles and discussions. minke learns he needs to be more involved with his people rather than with the dutch colonialist aristocracy he mainly associates himself with and his main dilemma throughout is whether he should write in dutch or his native language. if he writes in dutch or even english the world can read it but the people cant and also wont trust him, but he considers the native language of his country to be crass and thinks the people are mostly illiterate so they wont read his writings anyway. he basically is being compelled by circumstances as well as all of his friends and acquaintances to step out of his aristocratic/educated role and give up his ingrained misgivings about class in javanese society, similar to what he had to deal with in his misgivings about the role of women in javanese society in the first book.
-
Selesai baca "Anak Semua Bangsa", buku kedua dari Tetralogi Buru Pram.
Meneruskan kisah Minke dan Nyai Ontosoroh tentang perlawanan mereka terhadap sikap, perilaku, dan hukum Eropa. Pada buku kedua ini Pram memasukkan lebih banyak informasi tentang Jepang, Belanda, Filipina, dan Cina. Sedikit menyinggung Spanyol, Amerika, dan Inggris. Pembahasan mengenai Revolusi Perancis paling banyak. Karena lebih banyaknya informasi terkait hal-hal tersebut, romannya jadi kurang terasa, sehingga "Anak Semua Bangsa" lebih terasa seperti buku pelajaran sejarah.
Namun, cara Pram bercerita lagi-lagi sangat nyaman diikuti dan membuat saya betah membaca paragraf demi paragraf informasi sejarah yang ia masukkan lewat berbagai tokoh, dialog, dan narasi. Saya diberi informasi tentang sejarah dengan cara yang menyenangkan sehingga saya tidak merasa sedang diajari tentang sejarah.
Pada "Anak Semua Bangsa", terdapat beberapa bagian yang terasa seperti cerita misteri, thriller, yang membuat saya berpikir bahwa Pram sangat bisa menulis cerita-cerita bergenre tersebut dengan sangat bagus jika dia ingin. Dan tentu saja semakin banyak "kampret! sial!" yang saya lontarkan selama membaca buku kedua Tetralogi Buru ini.
Meskipun demikian, saya memberi hanya 4 dari 5 bintang untuk Anak Semua Bangsa. Lebih sedikit satu bintang dari buku pendahulunya: Bumi Manusia. -
Membaca seri kedua dari Tetralogi Pulau Buru ini ibarat mengubek-ubek kembali luka lama bangsa kita sebagai bangsa yang pernah dijajah kekuasaan kolonial. Tiga ratus lima puluh tahun dijajah (meskipun fakta sejarah terbaru menunjukkan bahwa Kerajaan Aceh baru berhasil dikuasai Belanda pada awal abad ke-20) telah memunculkan sebuah lebam sejarah yang mengharu-biru. Penjajahan yang sekian lama telah menorehkan semacam persepsi bahwa semua yang Eropa niscaya lebih jaya dan lebih perkasa. Rasa minder, malas, kurang kreatif dari bangsa ini seolah merupakan wujud tak tampak namun sangat menggelisahkan, bukti dari masifnya penindasan budaya dan mental secara sistematis oleh sebuah kerajaan kecil di Eropa selama bertahun-tahun lampau. Sampai sekarang pun, orang kita sering kali merasa segan atau minder duluan kalau bertemu orang asing, terutama rakyat kecil, orang kebanyakan. Padahal, bukankah orang Eropa itu juga manusia seperti kita? Mereka hanya anak dari bangsa yang berbeda.
“Kau harus bertindak terhadap siapa saja yang mengambil seluruh atau sebagian dari milikmu, sekali pun hanya segumpil batu yang tergeletak di bawah jendela. Bukan karena batu itu sangat berharga bagimu. Azasnya: mengambil milik tanpa ijin: pencurian; itu tidak benar, harus dilawan.”
Ulasan di
https://dionyulianto.blogspot.com/201... -
It was amazing! Pram is brilliant!!
Saya yakin belum atau mungkin tidak ada yang sepintar beliau dalam mengolah kata - kata, melebur dengan emosi dan menjadikannya senyawa dalam karya - karyanya! Roman ke - dua setelah "Bumi Manusia" ini meneruskan episode lanjutan di kehidupan Nyai Ontosoroh, Minke, dan bumi nusantara itu sendiri. Nyai Ontosoroh dan Minke saling menguatkan setelah berita meninggalnya Annelies Mellema di Nederland bahkan hubungan merekapun lebih terlihat sebagai ibu dan anak, ketimbang mertua dan menantu. Mereka pergi meninggalkan Wonokromo dan Minke melihat lebih jelas apa yang terjadi diluar pengetahuannya, pemberontakkan pabrik gula, manifestasi relasi kuasa tuan tanah terhadap pekerja bahkan ternyata koran tempat ia biasa menulis adalah "koran gula" dibawah kungkungan kaum kuasa. Minke semakin tertampar oleh kesadarannya sendiri terhadap pribumi, orang yang sedarah dengannya, yang warna kulitnya sama degannya - ia tak tahu apa - apa karena ego-nya yang memuja Eropa. Pram dengan luwes menuangkan ide pikirnya ke dalam roman ini dan memanifestasikan mereka ke dalam tokoh - tokohnya, dari mulai penjelasan tentang Untung Surapati hingga Jose Rizal.
Saya merekomendasikan roman ini - sangat:) -
"Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berfikir" (halaman 522)
"ilmu pengetahuan dan hukum hukumnya tinggal pelembungan kosong tanpa daya" (halaman 396)
"kalau keadaan terganggu, perdagangan pasti ikut terganggu, produksi terganggu, harga terganggu" (halaman 398)
terlepas dari sedu sedan minke pergi meninggalkan wonokromo-surabaya-tulangan, saya lebih menaruh perhatian pada saat minke mulai merasai kondisi objektif bangsanya ketika bertemu dengan seorang petani bernama trunodongso. ditambah adegan bertemunya minke dengan Ter Haar, minke seakan digaploki batu realitas yang bernama, kekuatan modal. dimana segala keterkilauan dunia modern yang ia pelajari di hbs di goncang habis habisan. humanism, jabatan, nasionalisme china,perang, koran dan segala hiasan ttg dunia modern yang ia dapatkan di Surabaya ternyata bergravitasi pada kekuatan modal. -
Sungguh menyesal karena baru tahu karya sebagus ini sekaligus bersyukur masih bisa menikmati karya Tetralogi yg kedua dr Pram.
"Kau tak kenal bangsamu sendiri", Jean Marais
Sindiran terhadap Minke karena selalu membuat tulisan dgn bahasa Belanda sedang dia tidak pernah menggunakan bahasa Melayu yg dipahami kaum Pribumi. Sebenarnya juga terjadi di masa kini, globalisasi.
Adalagi yg menarik
"Tanpa kegembiraan, tanpa keceriaan, orang akan berputar-putar dalam penderitaan itu saja.", Kommer
Banyak sekali kalimat-kalimat dalam cerita ini yg sebenarnya juga merefleksikan di masa sekarang..Tak kuasa memberikan review sebagai pembaca yg ulung...hehe :) -
~Aku adalah bayi semua bangsa dari segala zaman, yang telah lewat dan yang sekarang.~
Beberapa hari lalu selesai kubaca. Saking menikmati, yang muncul di catatan bukannya komentar tentang buku ini tapi justru ide-ide baru. Secara keseluruhan, membaca karya Pram masih tetap terasa sama--seperti lepas mengarungi samudra, membuka banyak pertanyaan tapi membiarkanku menemukan sendiri jawabannya. Ah memang, buatku karya bagus tak butuh komentar, hanya perlu dirasakan.
Kata Ilana Tan, sesederhana itu. 😊😊 -
Kelanjutan dari yang pertama. Membuat penasaran hubungan T.A.S dengan Annelis. Tapi menyakitkan di saat awal membaca, pembaca sudah diberikan shock therapy oleh pengarang
-
Separuh membosankan separuh keren