Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas by Eka Kurniawan


Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Title : Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Author :
Rating :
ISBN : 6020303934
ISBN-10 : 9786020303932
Language : Indonesian
Format Type : Paperback
Number of Pages : 245
Publication : First published April 1, 2014
Awards : Kusala Sastra Khatulistiwa Prosa - shortlist (2014)

Di puncak rezim yang penuh kekerasan, kisah ini bermula dari satu peristiwa: dua orang polisi memerkosa seorang perempuan gila, dan dua bocah melihatnya melalui lubang di jendela. Dan seekor burung memutuskan untuk tidur panjang. Di tengah kehidupan yang keras dan brutal, si burung tidur merupakan alegori tentang kehidupan yang tenang dan damai, meskipun semua orang berusaha membangunkannya

“Wrapped in a Chinese kung fu-styled novel and almost as brutal and dark as Chuck Palahniuk’s Fight Club, Eka has maintained his place on the frontlines of Indonesian writers.” — Adisti Sukma Sawitri, The Jakarta Post

Dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, Eka menulis dengan semangat bermain-main yang cerdik dan lihai.” — Anton Kurnia, Jawa Pos

“Seperti dua novel Eka sebelumnya, novel ini dipenuhi tokoh-tokoh dengan karakter yang ‘tidak waras’. Ketidakwarasan tokoh-tokohnya, di luar motif hasrat s-e-k-s yang menggerakkan mereka, juga menjadi cermin dari ketidakwarasan zamannya.” — Aris Kurniawan, Koran Tempo


Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas Reviews


  • Kevin Ansbro

    "Whatever happens, I’m a man. But I’m a man with a soft dick…"
    (Not my words, but those of Ajo Kawir, the main character in the book).

    Javanese teenager, the aforementioned Ajo Kawir, is forced to witness an act of barbarism that mentally scars him and condemns him to a life blighted by erectile dysfunction. His limp penis thereafter nestles like a newly-hatched bird, insignificant in size and in perpetual slumber. Even a photograph of a bikini-clad woman with thick armpit hair (one of his predilections) can't wake the poor thing and it continues to resemble a little lump of ginger root.
    The extreme frustration caused by this unfortunate malfunction leads Ajo to become a fearsome fighter of some notoriety.
    Eka Kurniawan’s brutal-yet-fantastical tale hurtles along at breakneck speed and the Tarantino-esque incidences of pulpy violence come thick and fast.
    The story defies easy categorisation: imagine an Indonesian nod to spaghetti Westerns, influenced by the magical realism of Gabriel García Márquez, and you would be in the right ballpark.
    Ajo is not without principles and sets out to punish a local mob boss for sordidly taking advantage of one of his female tenants. First, he has to get past Iteung, the gangster’s female bodyguard; the sort of gal who would beat a man black and blue before leaving him in a ditch. A bloody, bone-crushing fight ensues, which leaves Ajo head-over-heels in love with his beautiful adversary.
    I will give you fair warning that the tale contains scenes of violence against women which are sure to offend. I rather think that the author is trying to show the real-life brutality that females can sometimes suffer at the hands of misogynistic men in a male-dominated backwater. He counterbalances this by ensuring that the perpetrators get their just rewards and by casting a kickass female as one of the main protagonists.
    Beneath the macho posturing there is a tenderness to this outlandish story: Ajo, beneath his combative exterior, is selfless and full of compassion. Themes of love, honour and loyalty drive the narrative.

    Despite my enjoying every minute of this thrill ride, I concede that it does misfire at times. Kurniawan tries to emulate Márquez but doesn’t quite possess the lyrical artistry of the great man.
    The story is unashamedly ribald and bursts at the seams with pantomime villains and dark humour. It held my attention throughout. I’m not at all of a delicate disposition and thoroughly enjoyed seeing scores being settled.

    Does Ajo Kawir ever find true love and does he finally rise to the occasion? Well, you would have to read the book…

  • Jacob Julian

    Buku JANCUK lagi.

    Banyak kata Kontol, Penis, Memek diumbar dengan mudah oleh penulisnya di sini. Kalau penulis pemula ya apa bisa nulis kata gituan? Editor bisa mencak-mencak duluan. Jancuk. Ini diskriminasi sekali.

    Ceritanya sederhana seperti judul. Si tokoh--yang namanya aneh plus semua nama di buku ini aneh-aneh, melihat pemerkosaan yang melibatkan orang gila dan polisi dan si lakon utama ngintip dan ketahuan. Polisi suruh kontol lakon utama dimasukkan ke dalam memek cewek gila tapi kontol lakon utama tiba-tiba gak bisa ngaceng. Penis si lakon akhirnya gak bisa nganceng sampe dia punya istri dan terus sampai akhir cerita.

    Cerita seksnya enak dinikmatin. Bahasanya nggak bosenin walau setting novelnya agak kacrut. Nggak jelas di mana. Lagi-lagi pakem nulis jelas yang harus ditaati penulis pemula dilabrak oleh penulisnya. Asu sekali. Diskriminasi sekali.

    Harusnya bintangnya bisa lebih karena mood saya lagi enak setelah Belanda memastikan diri berada di perempat final, tapi karena mikir kalau Jacob Julian nulis cerita macam ini siapa penerbit yang mau nerbitin?

    Diskriminasi senior dan pemula.

    Asu.
    Jancuk.
    Kontol.

  • Rose Gold Unicorn

    Seperti yang sudah-sudah, saya tidak pernah berhasil mereview novel Eka Kurniawan. Novel-novel beliau terlalu WAH dan mencengangkan sampai saya rasa kata-kata saya tidak akan pernah mampu menjabarkannya. Kosa kata yang saya tahu tidak akan cukup untuk mendeskripsikan seberapa bagusnya novel-novel beliau. Review saya akan bertele-tele dan mendetil karena memang novel-novel Eka Kurniawan yang saya baca itu bobotnya merata di sepanjang cerita. Saya tidak bisa memilih mana bagian yang harus saya ceritakan, mana yang tidak. Semuanya terasa menarik bagi saya.

    Baiklah begini saja. Anggap saja membaca review saya ini seperti acara kunjungan rumah ke salah satu rumah unik milik artis. Kita akan menjelajahi ruangan demi ruangan, kamar demi kamar, dan sekat demi sekat. Mungkin review ini akan terasa panjang sekali sebagaimana dengan kalimat pembukanya ini.

    Dari melihat sampulnya saja seharusnya pembaca sudah bisa menebak buku ini bercerita tentang apa. Bahkan blurb di sampul belakang buku ini semakin menjelaskan segalanya. Tapi memang dasar saya tuh suka meng-underestimate sebuah sampul buku karena akhir-akhir ini sampul buku nyatanya tidak cukup mendeskripsikan isi buku. Malah pernah suatu kali saya menemui sebuah buku yang sampul, judul, dan isinya tidak berhubungan sama sekali. BAH!

    Saya menghela lega hal itu tidak terjadi pada novel Eka Kurniawan yang satu ini. O, tentu saja!

    Seperti yang terlihat pada sampul depan, ada seekor burung unyu dengan mata terpejam yang meringkuk manja. Buku ini memang bercerita tentang burung yang tidak mau lagi bangun sejak melihat lubang yang merekah di antara kedua paha seorang wanita. Tragedi itu menimpa seorang bocah bernama Ajo Kawir. Peristiwa nahas itu terjadi saat ia dan sahabatnya, Si Tokek, sedang mengintip Rona Merah, perempuan sinting tapi cantik, yang diperkosa oleh dua orang polisi. Karena ketidakhati-hatiannya, Ajo Kawir akhirnya ketahuan mengintip oleh dua orang polisi itu. Ya, hanya Ajo Kawir saja. Sebagai hukumannya, Ajo Kawir dipaksa memasukkan penisnya ke dalam vagina Rona Merah. Sejak saat itu sang burung memutuskan untuk tidur panjang.

    "Tak ada yang lebih menghinakan pelacur kecuali burung yang tak bisa berdiri." hlm. 40


    Sepanjang hidupnya, Si Tokek dirundung rasa bersalah. Bagaimanapun, dialah yang mengajak Ajo Kawir untuk main ke rumah Rona Merah dan mengintip Rona Merah mandi. Sampai akhirnya kedua polisi itu datang dan mengerjai Rona Merah yang menjadi sinting sejak suaminya mati dibunuh beberapa tahun silam. Secara tidak langsung semua adalah salahnya, begitu pikir Si Tokek. Untuk menebus rasa bersalahnya ini, Si Tokek berjanji pada dirinya sendiri. Janji inilah yang membuat saya terharu menyadari bahwa Si Tokek adalah tipe sahabat yang ideal. (peluuukkk Si Tokek)

    Layaknya cerita dongeng, tragedi yang mengenaskan itu akhirnya mengubah kehidupan Ajo Kawir selamanya. Ia tumbuh menjadi jagoan kampung yang disegani semua orang.

    “Hanya orang yang enggak bisa ngaceng bisa berkelahi tanpa takut mati.”


    Begitu kata Iwan Angsa, yang merupakan kalimat pertama yang akan kita jumpai dalam buku ini. Padahal Iwan Itik lebih nge-hits ya.

    Iwan Angsa adalah ayah Si Tokek. Iwan Angsa, seperti Ajo Kawir juga dulunya pernah menjadi jagoan kampung. Iwan Angsa-lah yang paling gigih membantu membangunkan burung Ajo Kawir karena bagaimanapun burung Ajo Kawir jadi hibernasi begitu karena ulah anaknya. Bermacam-macam cara dicoba Iwan Angsa untuk membuat burung Ajo Kawir bergairah kembali. Namun sia-sia. Burung itu tetap terlelap dalam tidur panjangnya. Ajo Kawir lalu pasrah dan memutuskan untuk tidak memikirkannya.

    "Iwan Angsa pernah bilang dunia memang tidak adil. Dan jika kita tahu ada acara untuk membuatnya adil, kita layak untuk membuatnya jadi adil." Ajo Kawir hlm. 48


    Suatu kali, Paman Gembul, anggap saja seperti bos mafia, meminta Iwan Angsa untuk membunuh Si Macan. Si Macan ini adalah kakak dari Agus Klobot. Agus Klobot ini adalah suami Rona Merah yang mati dibunuh Paman Gembul. Fyuh, complicated ya. Ok, balik lagi ke Iwan Angsa dan Si Macan. Berhubung Iwan Angsa sudah tua dan ia pun sebenarnya sudah pensiun dari urusan begitu, ia menolak tawaran Paman Gembul. Lalu Iwan Angsa menawarkan pekerjaan itu untuk Ajo Kawir. Nah, Ajo Kawir yang sejak burungnya tidur menjadi gemar mencari keributan dengan siapa saja ini, tentu menjadi bersemangat mendengar hal dia harus membunuh orang.

    Maka berangkatlah ia ke kampung Si Macan. Di sana ia dicegat oleh anak buah Si Macan yang bernama Iteung. Iteung adalah perempuan jago kelahi yang kemudian membuat Ajo Kawir jatuh cinta. Kemudian Ajo Kawir mulai bersemangat lagi membangunkan burungnya.

    "Enggak bisa. Aku enggak bisa menjadi kekasihmu. Kamu seperti cahaya dan aku gelap gulita, sesuatu yang kamu tak akan mengerti." Tentu saja Ajo Kawir ingin mengatakan sesuatu yang tak terucapkan mulutnya: aku tak bisa ngaceng.


    Konfliknya masih sangat panjang dan seru untuk diikuti. Tapi tentu tidak mungkin semuanya saya jabarkan di sini. Buku ini tidak melulu menceritakan bagaimana Ajo Kawir berusaha untuk membuat burungnya bangun dari tidur panjangnya. Suat kali ada cerita Ajo Kawir pindah ke Jakarta, di sana ia menjadi sopir truk dan bertemu dengan Mono Ompong. Cerita kehidupan Ajo Kawir versi baru pun dimulai. Ibaratnya, saya habis membaca cerita Si Pitung lalu sekarang saya membayangkan adegan Advent Bangun nyupir truk. Lintas waktu banget khan…

    Ending cerita ini sangat sangat sangat… duh kata apa ya yang pantas untuk menerjemahkannya. Pokoknya sukses bikin saya standing applause dan menjura buat Eka Kurniawan! Sayangnya, KENAPA NOVEL INI TIPIS BANGET??? WE WANT MORE, EKA!!! Huhuhuhuhuhu…

    Tebalnya yang hanya 252 halaman mungkin memang hanya setebal kumpulan cerpen atau novel teenlit. Tapi kualitasnya jauh berbeda, Sob! Buku ini berbobot sekali. Membuat saya seperti sedang makan nasi padang ikan lele, iga bakar, jus melon, pudding cokelat, buah pisang dan susu. Huah! Kenyang. Nyang. Nyang.

    Brutal. Begitu komentar sang istri, Ratih Kumala, yang ia update di salah satu jejaring sosialnya mengenai novel ini. Menurut saya tidak hanya brutal saja. Buku ini liar, vulgar, bebas merdeka, namun tetap beretika. Dalam buku ini akan kita jumpai kata seperti ** SENSOR **, kuntul, memek, perek, lonte, alih-alih penggunaan kata yang lebih halus seperti penis atau vagina. Ah, tapi Eka bilang tidak seharusnya kita membunuh kata-kata. Itu benar dan saya setuju. Selama penggunaannya pada konteks yang tepat. Ya misal saja seorang Ajo Kawir kan jagoan. Jagoan kehidupannya keras. Mana mungkin ia akan pakai kata vagina untuk menyebut alat kelamin pelacur yang ditidurinya, misalnya. Ya tho?

    Tetap saja beberapa pembaca mungkin akan sedikit banyak jengah dengan cara menulis Eka yang seperti ini. Selain itu juga banyak adegan kekerasan dan adegan menjijikan yang buat sebagian orang mungkin bikin mual tapi buat saya justru di situlah letak keseruannya. Tak banyak penulis yang berani menulis jujur dan apa adanya. Kebanyakan penulis masih terlalu takut untuk mengangkat topik yang tabu dan penggunaan bahasa yang tidak lazim. Tapi tentu tidak dengan Eka Kurniawan. That’s why I like his work.

    Seperti novelnya yang sudah-sudah, ada banyak tokoh dalam novel ini yang kesemuanya memliki peranan penting. Semuanya diceritakan Eka dengan sosok yang akan melekat kuat di ingatan pembaca. Seperti saya mengingat Pak Toto si guru cabul, Paman Gembul bos mafia yang ternyata bisa baik hati juga, Si Kumbang yang suka membokongi bocah laki-laki, dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh tersebut meskipun hanya muncul sekilas dua kilas tapi mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan para tokoh utama. Pak Toto misalnya, adalah alasan kenapa Iteung tumbuh menjadi perempuan yang jago berkelahi. Paman Gembul yang membuat Agus Klobot mati sehingga Rona Merah jadi gila dan suka diperkosa secara brutal oleh dua orang polisi yang kemudian membuat Ajo Kawir menjadi impoten. Semua tokohnya memiliki kisah yang unik dan ternyata saling berhubungan.

    Menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu, bukan serba tempe (eaaa), adalah pilihan yang pas mengingat alur di buku ini adalah maju mundur. Alur ini awalnya terasa membingungkan dan menjengkelkan saya. Ada 8 bab dalam buku ini dengan banyak bab-bab kecil yang mengikutinya. Nah, bab-bab kecil ini yang membuat saya merasa sedang naik ombang ambing di Dufan. Terpental-pental oleh alur yang maju mundur. Untuk hal ini, pembaca harus berotak prima supaya bisa menangkap dengan jelas maksud penulis. Kadang, bab-bab kecil itu berfungsi untuk mempersingkat cerita. Kalau di buku sebelumnya saya ‘berjalan’ pelan bahkan terseok-seok, nah di buku ini saya ibarat kelinci lucu yang melompat-lompat sehingga lebih cepat sampai di tujuan. Mungkin inilah sebab kenapa semua isi dalam buku ini tidak ada yang tidak penting.

    Buku ini juga sarat dengan humor mulai dari yang bikin cengengesan sampai yang bikin saya sakit perut menahan tawa.

    Ajo Kawir: Burungku bilang aku tak boleh berkelahi
    Mono Ompong: Kenapa kau selalu bertanya kepada burungmu untuk segala hal?
    Ajo Kawir: Kehidupan manusia ini hanyalah impian kemaluan kita. Manusia hanya menjalaninya saja.

    Si Tokek akan mengatakan, itu filsafat.


    *****

    Perempuan itu tak seperti namanya, sama sekali tak bisa dibilang jelita. Siapapun yang memberi nama jelita untuk perempuan ini pasti sedang membuat lelucon hebat. Perempuan ini buruk. Ia tak yakin perempuan ini berkata jujur. Lari dari suami? Apakah di atas muka bumi ini ada lelaki yang mau kimpoi dengan perempuan begini?


    Salah satu adegan yang saya suka yaitu adegan saat truk Mono Ompong mencoba menyalip truk Si Kumbang. Saya tidak paham jin macam apa yang membuat Eka bisa mendeskripsikan adegan tersebut sedemikian rupa sehingga terasa nyata dalam dunia imaji saya. Sungguh, saya kehabisan kata-kata.



    Eka menulis buku ini untuk istrinya, Ratih Kumala. Dan Ratih Kumala membuat fim pendeknya (based on this novel) sebagai hadiah pernikahan mereka berdua. So sweet...

  • Muhammad Meisa

    Saya baru tahu ada sub-aliran baru filsafat eksistensialisme bernama Kuntulisme setelah membaca novel ini. Nabinya bernama Agus Kawir. Kitab sucinya diberi judul: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Saya rasa pengikutnya akan semilitan nabinya. Sebagai seorang lelaki, belum ada tantangan membaca karya sastra (dalam novel ini banyak narasi tanya-jawab antara Ajo Kawir dan Si Burung. Seperti perbincangan imajiner Plato dan Socrates. Emang iya, ya? Ngarang, ah! Emang iya.) seberat novel terbaru Eka Kurniawan ini. Oke, Ayu Utami cukup berhasil mengangkat tema kekuasaan di atas gender dalam objek perempuan. Dan, kalian tahu wahai perempuan, bahwa sejatinya lelaki pun makhluk yang sangat rapuh.

    Coba tanya Ajo Kawir apa rasanya jika senjata andalannya, Si Burung, kuntul miliknya tidak dapat ngaceng? Saya sangat mengerti. Bahkan narasi di cover belakang buku ini yang terbilang mengarahkan para pembaca agar berpikir ulang bahwa tema besar yang diangkat buku ini adalah soal penindasan rezim otoriter terhadap rakyat kecil dan alegori terhadap kehidupan yang tenang dan damai terasa gagal. Buktinya buku ini cukup berhasil membangkitkan hasrat untuk melakukan masturbasi di tengah keprihatinan pembaca terhadap burung Ajo Kawir yang tengah menempuh jalur sunyi kehidupan. Paradoksal ini menjadi bumbu yang begitu menggelitik saya. Apalagi gaya penceritaan Eka Kurniawan yang satir mbeling (yang entah mengapa) selalu mengingatkan saya terhadap gaya Remy Sylado atau Seno Gumira Ajidarma. Lebih mudah lagi buku ini bisa jadi hasil kolaborasi Seno dan juga raja novel stensil Indonesia nan misterius: Enny Arrow.

    Andai kata setiap pembaca diizinkan memberikan penghormatan berupa nama kepada kuntul milik Ajo Kawir, saya memiliki beberapa alternatif: Sartre, Heidegger, Kierkegaard, atau bahkan... Gandhi? Ups, saya lebih suka yang terakhir.

  • Fahri Rasihan

    • Judul : Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
    • Penulis : Eka Kurniawan
    • Penyunting : Mirna Yulistianti
    • Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
    • Terbit : Cetakan keduabelas, Maret 2021
    • Harga : Rp 75.000,-
    • Tebal : 250 halaman
    • Ukuran : 14 × 21 cm
    • Cover : Soft cover
    • ISBN : 9786020324708

    "𝘚𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢, 𝘣𝘶𝘳𝘶𝘯𝘨𝘮𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘭𝘢𝘨𝘪. 𝘗𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢. 𝘓𝘢𝘨𝘪𝘱𝘶𝘭𝘢, 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘪𝘳𝘪, 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘢𝘶 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘱𝘢𝘬𝘢𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢?" (hal. 41)

    Sebuah tragedi yang dialami oleh Ajo Kawir saat masih belia merubah seluruh kehidupannya. Gelora dan hasrat yang ada pada dirinya saat masih remaja, membawanya bersama sahabatnya, Si Tokek, ke dalam rasa penasaran akan kepuasan seksual. Pada dasarnya, Ajo Kawir dan Si Tokek memang kerap mengintip Pak Lurah dan istrinya yang sedang bersanggama. Kini, Si Tokek menemukan bahan tontonan baru yang lebih menggairahkan dari persetubuhan antara Pak Lurah dan istrinya.

    Saat Si Tokek diperintahkan oleh ibunya, Wa Sami, untuk mengantarkan bahan makanan bagi Rona Merah, seorang janda yang mengalami gangguan jiwa, dia malah menemukan adegan tidak senonoh yang membangkitkan hasrat seksual di dalam dirinya. Tidak ingin menikmati ini seorang diri, Si Tokek pun mengajak Ajo Kawir untuk turut serta menyaksikannya. Di depan mata mereka tersaji adegan pemerkosaan yang dilakukan oleh dua orang polisi terhadap Rona Merah. Namun, nahas, Ajo Kawir tertangkap basah, sementara Si Tokek pergi melarikan diri.

    Semenjak kejadian tersebut, "burung" milik Ajo Kawir tidak lagi mau berdiri dan memilih untuk meringkuk tidur. Si Tokek merasa bersalah atas nasib yang diterima oleh Ajo Kawir. Untuk melampiaskan rasa amarahnya, Ajo Kawir dan Si Tokek kerap berkelahi dan menghajar bocah-bocah ingusan yang ada di lingkungan mereka. Segala cara dan bantuan sudah dikerahkan agar "burung" milik Ajo Kawir bisa keras dan berdiri kembali. Namun, semua usaha tersebut berakhir dengan kegagalan.

    Si "burung" lebih memilih senyap dan tidur entah sampai kapan. Perkelahian yang kerap dilakukan oleh Ajo Kawir pada akhirnya mempertemukannya dengan seorang gadis bernama Iteung. Iteung bukan gadis biasa, karena dia memiliki kemampuan bertarung yang mampu merobohkan Ajo Kawir. Rasa cinta kini hadir dalam diri Ajo Kawir terhadap Iteung. Sayangnya, "burung" Ajo Kawir yang tak mau bangkit kembali menjadi perkara yang menghambat hubungan mereka. Ajo Kawir memilih untuk membunuh Si Macan dan pergi menjauh dari Iteung. Bagaimana kelanjutan hubungan antara Ajo Kawir dan Iteung? Dapatkah kemaluan Ajo Kawir bangkit kembali seperti sedia kala?

    "𝘒𝘢𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘥𝘢𝘳 𝘢𝘥𝘶 𝘫𝘰𝘵𝘰𝘴 𝘥𝘪 𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯𝘢𝘯." (hal. 68)

    Euforia dari film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas menjadi salah satu faktor yang mendorong saya untuk membaca novel karya Eka Kurniawan ini. Apalagi gema filmnya di Festival Film Locarno berhasil memenangkan piala Golden Leopard. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas juga menjadi karya pertama dari seorang Eka Kurniawan yang saya baca. Banyak hal baru yang saya rasakan saat selesai membacanya, salah satunya adalah bagaimana Eka Kurniawan mampu menghadirkan gelak tawa, aksi, dan romantisisme dalam jalan ceritanya.

    Tampilan dari kover bukunya sendiri tidak kalah menarik. Ilustrasi yang dibuat oleh Alit Ambara mampu memperlihatkan isu yang cukup kuat terasa di dalam novelnya, yaitu perihal kejahatan seksual. Dua sosok hitam di belakang dua sosok perempuan menunjukkan sesuatu yang artistik dengan makna yang harus diterka pembaca. Namun, gambar burung berwarna merah yang turut hadir menegaskan benang merah yang menjadi pondasi utama jalan ceritanya. Sebuah kover buku yang tidak hanya tampil menawan, tapi juga artistik, sehingga turut mengundang manik mata untuk meliriknya.

    Humor, aksi, dan romansa menjadi bumbu cerita yang mendominasi rasa dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Bercerita tentang Ajo Kawir yang berpetualang untuk membangkitkan kembali "burung" miliknya dari tidur panjang. Akibat burung miliknya yang memilih senyap dan membisu, Ajo Kawir harus mengalami berbagai pergolakan dalam kehidupannya. Salah satunya adalah masalah perasaannya terhadap Iteung yang tanpa adanya "burung" dalam hubungan mereka, Ajo Kawir tidak yakin bisa membahagiakan Iteung.

    Pencarian akan makna kehidupan dan jati diri yang dilakukan Ajo Kawir akibat impoten yang dideritanya, berhasil menawarkan sebuah cerita yang tidak hanya unik, tapi juga mampu memancing gelak tawa saat membacanya. Tidak hanya humornnya yang menggelitik, tapi sentilan terhadap beberapa isu yang terjadi, seperti pelecehan seksual, dibuat memikat dengan cara yang blak-blakan. Meskipun jika boleh dibilang ceritanya sendiri terlihat sedikit absurd, tapi Eka Kurniawan menyajikannya dengan racikan yang dapat menggugah selera membaca.

    Nama tokoh-tokoh dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dibuat terdengar menarik dengan karakter mereka yang khas. Tokoh utamanya sendiri, yaitu Ajo Kawir adalah seorang pemuda yang harus menerima fakta jika "burung" miliknya tidak bisa bangkit dan memilih untuk tidur pulas. Sifat Ajo Kawir digambarkan sebagai pemuda yang liar dan bernyali besar. Ini tergambar dalam adegan-adegan yang memperlihatkan Ajo Kawir yang selalu menantang untuk berkelahi. Namun, seiring berjalannya cerita, karakter Ajo Kawir ini tampak memiliki perkembangan karakter yang signifikan.

    Berikutnya, ada tokoh Si Tokek, sahabat sejati Ajo Kawir. Si Tokek memiliki pembawaan yang hampir sama dengan Ajo Kawir, yaitu bernyali besar dan liar. Selain itu Si Tokek sendiri merupakan teman yang setia kawan, karena selalu merasa menyesal dengan apa yang menimpa Ajo Kawir. Selanjutnya, ada Iteung, sosok perempuan yang menjadi pujaan hati Ajo Kawir. Iteung sendiri bukanlah perempuan polos nan lugu, tapi sebaliknya memiliki keberanian dan kemampuan bela diri yang tinggi.

    Saya suka dengan cara Eka saat menyertakan latar belakang dari Iteung yang memang bisa dibilang miris. Masih banyak tokoh-tokoh lainnya, seperti Iwan Angsa, Rona Merah, Mono Ompong, Si Kumbang, Jelita, dan masih banyak lagi. Masing-masing tokoh diberi karakter yang menonjol, sehingga meskipun dihadirkan dengan porsi yang minim, tapi mereka memiliki ciri khas tersendiri. Kemampuan Eka dala mengolah karakter para tokohnya tergolong cerdas, karena sebagai pembaca saya akan bisa mengingat semua tokohnya dengan mudah sampai kapanpun beserta karakter mereka masing-masing.

    Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas memiliki alur yang maju-mundur. Bahkan, bisa dibilang alurnya loncat-loncat ke sana kemari. Meskipun alurnya loncat-loncat, tapi saya sendiri tidak merasa bingung ataupun dibuat pusing karenanya. Sebaliknya, alurnya yang loncat-loncat justru membuat saya betah dan semakin penasaran, mau dibawa ke mana kisah Ajo Kawir ini. Gaya bahasa yang diperlihatkan oleh Eka Kurniawan di sini bisa dikategorikan blak-blakan, frontal, dan nyeleneh. Eka tidak segan-segan menulis kata-kata yang mungkin terdengar jorok dan kasar, tapi di sini malah terdengar lucu dan menggelitik.

    Gaya berceritanya yang ceplas-ceplos juga menjadi daya tarik lainnya dari novel ini. Ada sisi vulgar dan sensual dalam beberapa adegan cerita, tapi tidak terkesan murahan sama sekali. Sudut pandang orang ketiga menjadi penutur narasi cerita yang kebanyakan didominasi oleh tokoh Ajo Kawir. Melalui sudut pandang ini, pembaca bisa melihat apa sebenarnya yang dirasakan oleh Ajo Kawir selama "burung" miliknya tertidur. Bahkan yang menarik, Eka juga memasukkan sudut pandang seekor cicak dalam satu adegan cerita.

    Problematika yang berkembang dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas bermula pada permasalahan yang dialami oleh "burung" milik Ajo Kawir yang memilih untuk tidak bangun dan tertidur nyenyak. Akibatnya, Ajo Kawir tidak bisa menjalin hubungan romantis dengan Iteung karena "burung" miliknya tidak bisa memberikan Iteung kebahagiaan dan kepuasan. Maka Ajo Kawir memilih pergi untuk mencari pelarian melalui kekerasan dan perkelahian.

    Saya suka dengan konflik yang dihadirkan Eka di sini karena bisa menunjukkan perkembangan karakter Ajo Kawir dengan alasan yang mumpuni. Konfliknya hadir akibat sebuah tragedi yang mendahuluinya, sehingga memunculkan beragam masalah pada kehidupan Ajo Kawir, terutama perihal hasrat dan romansa. Walaupun tidak ada fokus yang jelas akan konfliknya mau mengarah ke mana, tapi benang merah dari itu semua, yaitu "burung" yang beristirahat, bisa menjadi daya tarik yang membuat permasalahan yang terjadi tampak menarik untuk disimak dan diikuti.

    Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas memberikan pengalaman membaca yang baru dan menyenangkan melalui kisah yang bisa dibilang tidak biasa dan jarang dibahas. Perihal kemaluan laki-laki yang mengalami impoten ternyata mampu dibuat jenaka oleh seorang Eka Kurniawan. Kemaluan Ajo Kawir yang tidak mampu ereksi dapat membawa pembaca pada petualangan dan aksi yang mengasyikkan yang mampu membuat saya ketagihan dan penasaran saat membacanya. Narasi ceritanya yang dibuat pendek dan loncat-loncat juga menjadi daya pikat lainnya yang membikin saya terhipnotis dengan alur ceritanya yang absurd, tapi memabukkan.

    Isu pelecehan seksual yanh dimasukkan pun menunjukkan bahwa permasalahan ini sudah terjadi cukup lama dan tampaknya masih akan berlarut-larut hingga saat ini. Eka Kurniawan bisa memperlihatkan sifat atau tindak-tanduk manusia yang tidak bisa dipungkiri kadang kala bukan berdasarkan logika, tapi organ tubuh bagian bawah yang bisa memicu petaka. Sebuah bahan bacaan yang khusus dikonsumsi untuk pembaca dewasa karena banyak adegan vulgar dan kata-kata kasar yang menyertainya. Menarik, unik, dan berani adalah tiga kata yang mampu saya berikan untuk Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.

    "𝘚𝘺𝘢𝘳𝘢𝘵 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘪𝘬𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘥𝘢 𝘭𝘪𝘮𝘢. 𝘗𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘪𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘶𝘪𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘬𝘶𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘤𝘰𝘳𝘰𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘮𝘢𝘴𝘫𝘪𝘥. 𝘚𝘢𝘵𝘶, 𝘢𝘥𝘢 𝘬𝘦𝘥𝘶𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘭𝘢𝘪. 𝘋𝘶𝘢, 𝘢𝘥𝘢 𝘸𝘢𝘭𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘦𝘮𝘱𝘶𝘢𝘯. 𝘛𝘪𝘨𝘢, 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘩𝘶𝘭𝘶. 𝘌𝘮𝘱𝘢𝘵, 𝘢𝘥𝘢 𝘪𝘫𝘢𝘣 𝘬𝘢𝘣𝘶𝘭. 𝘓𝘪𝘮𝘢, 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘢𝘬𝘴𝘪. 𝘛𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘬𝘶𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘪𝘬𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘶𝘳𝘶𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘪𝘳𝘪." (hal. 91)

    "𝘏𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘦𝘴𝘶𝘯𝘺𝘪𝘢𝘯. 𝘛𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘬𝘦𝘬𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢𝘯, 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘬𝘦𝘣𝘦𝘯𝘤𝘪𝘢𝘯. 𝘈𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘦𝘯𝘵𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘦𝘭𝘢𝘩𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘢𝘱𝘢 𝘱𝘶𝘯. 𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘢𝘫𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘚𝘪 𝘉𝘶𝘳𝘶𝘯𝘨." (hal. 123)

    "𝘒𝘦𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘪𝘯𝘪 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘮𝘱𝘪𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘭𝘶𝘢𝘯 𝘬𝘪𝘵𝘢. 𝘔𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢." (hal. 189)

  • jeremy

    eka kurniawan's breathtaking english debut,
    beauty is a wound
    , was one of the finest novels of 2015. his newest, vengeance is mine, all others pay cash (seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas) is equally engaging, but otherwise entirely dissimilar in nearly every other regard. first published in its original indonesian in 2014, vengeance is mine, all others pay cash (what a fantastic title!), is the rousing, ribald tale of teenager ajo kawir, who, after witnessing a brutal rape, is no longer able to get an erection – try as he might. channeling his sexual frustration into violence, our young hero is soon embroiled in fights aplenty, high-speed car truck chases, and a love that might prove too much for him to maintain.

    kurniawan is a most gifted storyteller (this is his third book rendered into english) and his new novel is quite a bit of fun, with quite a bit of funny (and ferocity). despite his relative youth (he was born in 1975), the west javanese author is impressively bold in his writing. drama, comedy, mythology, scene-setting, plot, dialogue, characterization – it seems kurniawan's talents are many. vengeance is mine, all others pay cash is without the staggering import and scope of beauty is a wound, yet it's evident that kurniawan surely had a blast in composing this (mis)adventurous story. a fourth novel was just published in indonesian last year and will hopefully be forthcoming in english very soon. as well, we should be so lucky to glimpse any of the short stories contained within in his five collections. there is something so rich, so lively, so staggeringly human about kurniawan's writing... making his books endlessly stimulating and nearly impossible to turn away from.

    a few days later gecko brought the subject up again with iwan angsa. he was on the verge of tears as he spoke. "dad, you have to do something," he begged.
    "but what's really wrong with it, exactly?"
    "i already told you, ajo kawir's dick can't stand up. even if he sees a naked lady it can't. he already tried rubbing it with a red chili pepper, he let bees sting it, but he still can't get erect."
    "what do you guys know about dicks anyway?"

    *translated from the indonesian by annie tucker (beauty is a wound, pen/heim translation fund award-winner)

  • Mobyskine

    Barangkali saya tidak mungkin lagi menemukan kisah lelaki seperti Ajo Kawir di mana-mana buku novel yang lain.

    Nama-nama karakter yang aneh, cerita yang bersahaja-- saya tidak pasti sama ada saya suka ataupun tidak. Ada yang menghiburkan, ada sedikit janggal dan meleret. Sebuah buku yang okay.

    Still a fan of Eka Kurniawan :)

  • Marianne

    3.5 ★s

    Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash is the third novel by award-winning Indonesian author, Eka Kurniawan to be translated into English. In his early teens, Ajo Kawir witnesses a vicious assault which renders him impotent. Thereafter, he takes out his frustrations on anyone nearby who’s willing to fight. When he happens on Iteung, a tough fighter who is also a beautiful girl, his life changes: he’s fallen in love. But surely Iteung will not want an impotent husband?

    Fast forward eleven years, and Ajo the ex-con is driving trucks for a living, avoiding all fighting and living a peaceful life. His kenek, a kid called Gaptooth Mono, has other ideas, however. And the stowaway in his truck, Jelita, there’s something about her…

    Kurniawan gives the reader an original plot while managing to include a good helping of black humour, plenty of irony, corruption and a man who talks to his penis (which occasionally answers him). He easily conveys the Javanese village, the truck stop, and the male teen mindset. Readers should be aware that there is quite a lot of explicit sex as well as a surfeit of violent fights and dangerous truck driving and the plot necessitates frank discussion of genital organs. Some readers may find the erratic punctuation (quote marks often present for dialogue, but not always), and the switches between time periods, irritating. It is flawlessly translated from Indonesian by Annie Tucker. Funny and a bit crazy.

  • Bernard Batubara

    Baca catatan lengkap saya untuk buku ini di sini:
    http://www.bisikanbusuk.com/2014/05/s...


    "...Membaca setiap halaman Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas mengingatkan saya pada buku-buku stensilan tipis yang dijual di kios-kios majalah yang saya baca semasa SMP (ya, saya membaca buku-buku stensilan, saya belajar menulis deskripsi dari cerita-cerita stensilan). Hanya saja, kali ini dalam format novel. Saya belum pernah membaca novel stensilan. Mungkin pada saat saya SMP buku seperti itu ada juga dijual di kios majalah tapi saya tidak kepikiran untuk mencarinya. Novel terbaru si pengarang ini membuat saya terlempar ke masa lalu, ke masa-masa saat saya masih SMP dan membaca cerita-cerita stensilan dari buletin tipis berjudul Romansa. Si pengarang, kali ini, memilih untuk bermain-main di area tulisan seperti itu. Kata-katanya alangkah vulgar dan mungkin dapat membuat risih orang-orang yang tidak terbiasa dengan kevulgaran dan kejujuran (saya ingin menggunakan kata kejujuran karena sebetulnya sesuatu yang vulgar adalah sesuatu yang jujur, dan hanya orang yang tidak terbiasa dengan kejujuran yang tidak bisa menerima kevulgaran)."

  • Carolina Ratri

    nggak tahu musti nulis apa, juga nggak tahu bisa ngereview apa enggak. cuma merasa ... apa ya ... segar (?) saat membacanya. don't get me wrong. tapi ada keindahan dalam novel ini, dan kalau kamu mau ikutan baca, lebih baik kosongkan dulu otakmu dari hal-hal yang ngeres, maka kamu akan bisa liat keindahannya.

    Review lengkap:
    https://carralibrary.wordpress.com/20...

  • Emmy Hermina Nathasia

    It is weird and comical! I keep imagining the scenes moved like comic books, unreal and yet I am reading it. The book is about a man's bird (or penis). But since its Kurniawan we're talking about, it wasn't presented in a sexual or dirty manner. I thoroughly enjoy the book. Fast-paced and easy to read.

  • Dieyana Ayuni

    Sekarang aku sudah tahu apa maksud lukisan burung mati pada cover buku ini. Kihkihkihh

  • Lauren

    VENGEANCE IS MINE, ALL OTHERS PAY CASH by Eka Kurniawan, tr. from the Indonesian by Annie Tucker, 2014/2017.

    #ReadtheWorld21 📍Indonesia

    This book has the distinction of being my first read translated from #Indonesian, and also the first one (that I can recall) where male genitalia is a main character of the story.

    Yep.

    This book is a testoterone-fueled action romp through gritty alleys and the underworld of dirty cops, gangsters, and a young man who witnessed a traumatic crime, and has since become completely impotent.

    The book is written in quick staccato prose - very "comic-book" with quick scene changes and back and forth in time.

    Most corollaries I have for the style are actually cinematic, not literary. Think Quentin Tarantino revenge tropes and blood splatters, and Guy Ritchie's fast-talking gangsters itching for a fist fight in the street. Now set that in Jakarta. And add in erectile dysfunction.

    Now you've got it!

    Driven by violence and harshness, yet would you believe there is also a pretty compelling ❤️ love story here too?

    My first Kurniawan. While this one mildly shocked me (in the first 1/3 of the book, i was wondering if I should finish... there's a brutal assault that opens the book...), but in the end, I was glad I continued. It won't be a title for everyone. Distinctive voice and a raw tone that are hard to convey on the page. And then even moreso in translation.

    His other books, Beauty is a Wound, Man Tiger, and Kitchen Curse are also available in English and have been widely noted.

  • yun with books

    "Apa yang akan kau lakukan dengan lelaki yang tak bisa ngaceng?" tanya Ajo Kawir.
    "Aku akan mengawininya."


    THIS BOOK IS FREAKIN' HILARIOUS

    Membaca karya
    Eka Kurniawan untuk ketiga kalinya dan saya selalu tahu jika saya akan menyukai karya-karya beliau.
    Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas ini salah satu buku terkocak dan paling bermakna yang pernah saya baca, tentu menempati posisi kedua (setelah
    Cantik itu Luka, yang akan selalu menjadi karya Eka favorit saya).


    Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas mengisahkan tentang kehidupan Ajo Kawir, pemuda yang memiliki dysfuntional penis, alias penisnya gak bisa ngaceng. Tentu bagi lelaki, ini adalah masalah terbesar dan terburuk dalam hidup. Sehingga, Ajo Kawir selalu mencari keributan, berantem sana-sini, bersama sahabatnya Si Tokek. Hingga pada suatu hari Ajo Kawir jatuh cinta kepada Iteung.

    Bukan buku
    Eka Kurniawan namanya kalau di dalamnya tidak ada istilah-istilah "saru" dan frontal tapi terselip makna-makna filosofis. Buku ini menurut saya lebih eksplisit daripada
    Cantik itu Luka. Di awal buku ini, saya sudah disajikan adegan-adegan eksplisit yang bikin saya mengrenyit plus tertawa. Buku ini membalut cerita tragis dengan sedikit sarkas lucu, yang membuat saya terpana dan ingin membaca buku ini terus menerus.
    Dari buku ini saya belajar bagaimana dendam & rindu merupakan hal yang TIDAK JAUH BEDA. Semuanya harus saling bersisian, dan harus dituntaskan.
    Konsep ide buku ini yang menjelaskan bahwa cuma masalah "burung"/penis gak bisa ngaceng, bisa menjadikan dinamika kehidupan seseorang semenarik hidup Ajo Kawir. Mulai dari pengkhianatan, kesabaran dan pembalasan dendam. Petualangan Ajo Kawir sebagai supir truk untuk mengobati "lukanya", mengajarkan bahwa memang seharusnya kita selalu tenang ketika dihadapkan oleh masalah-masalah hidup. Entah itu masalah penis ataupun percintaan.
    Overall, saya sangat merekomendasikan buku ini untuk kalian yang tertarik membaca sastra Indonesia, Eka Kurniawan adalah salah satu penulis sastra favorit saya. Tulisan-tulisan brilian beliau, emang gak pernah ngadi-ngadi.


    "Iwan Angsa pernah bilang dunia memang tidak adil," kata Ajo Kawir kepada Si Tokek. "Dan jika kita tahu ada cara untuk membuatnya adil, kita layak untuk membuatnya menjadi adil."


    [TW: Pornographic content, violence, sexual assault]

  • Seffi Soffi

    Baca ini gegara penasaran sama liat dari review temen. Bab awal menarik dan bahasanya ngalir. Enak buat diikuti, meski emang frontal abis dan bikin wow juga sih 😂

    Ini kisah Ajo Kawir yang burungnya gak bisa berdiri, dia dan orang sekitarnya sampe cari cara untuk membuatnya bangun. Berbagai cara dan pengobatan udah ditempuh, sayangnya dia masih aja anteng tidur. Hal ini membuat Ajo Kawir melampiaskan kekesalannya dg berkelahi. Siapa pun diajaknya untuk berduel.

    Nah di saat edisi galau, dia bertemu Iteung. Bersama Iteung membuatnya bahagia. Tapi masih aja dia bingung, gimana caranya dia mau nikah klo burungnya tidur mulu. Ada di mana dia menyerah jg. Saking kesalnya mungkin Ajo Kawir bakalan diemin si burung tidur trus. Dan nasib dengan Iteung pun membuatnya bingung.

    Karakter Ajo Kawir meski dia sosok yang suka berkelahi, tapi dia punya sisi melankolis dan dewasa juga. Jadinya emang gregetan gitu, antara miris dan kasian sih sama dia.

    Dan banyak hal yang tak terduga banget di kisah ini, meski kadang bacanya ngilu karena perkelahiannya dahsyat tapi ttp enak buat diikuti sih.

    Apalagi menjelang bab akhir, setelah semuanya beres ternyata semesta emang selalu gak berpihak sama Ajo Kawir sih ya. Kasian jadinya 🤭🤭🤭

  • Neti Triwinanti

    Not my cup of tea.

    Meskipun tetap ada yang bisa diambil dari kisah Ajo Kawir dan burungnya.
    But nope, im not into this book.

  • Widyanto Gunadi

    Eka Kurniawan is a humdinger of an author when it comes to satire. His works, since his first critically acclaimed and majorly successful novel, Beauty is A Wound, has always been brandished with his trademark overbearing presence of devastating chaos instigated by its cast of wacky, insane, and sadistic characters to delineate the reflection of society so horribly corrupt beyond relief. The novella Vengeance is Mine, All Others Pay Cash is no different. It is another striking satirical literature output from the Indonesian sensational writer. By drawing on the sort of catch-22 physical condition of its main character, Ajo Kawir, whose neutered virile torpedo refused the very request of its owner to wake up, and get callous upstanding for years, he cleverly exhibited a strongly contrasting dichotomy between amity and anguish, between harmony and dissidence. It is a ruminative credo as well as a picturesque portrayal of the grim and malevolent societal hodgepodge of lower class Indonesian people, with focused special attention to the lives of the delinquents and the hard-boiled suburbanites. Within his empirical vision, the two-bit ignoramus, less erudite people, for their lack of culture and civilized mannerism, were depicted as violent by nature. They ofttimes resorted to the primitively anarchistic scrimmage to settle problems amongst themselves. Other than the incessant fisticuffs, Eka also went so far as to outline all of his preternatural characters, in this surrealistic fiction, with the constant uncontrollable sexual cacoëthes, even declaring a rather philosophic assertion stating that men's reproductive organs are their secondary brains for it has the ability to sway their actions and judgment of what is good or bad, and what is right or wrong, to put them into stark disarrangement to the hilt. Scorning every moral limitation and neglecting any sense of repugnant pang of compunction, they were all driven to act according to their own warped bestiality towards one another. In defiance of all the turmoils happening outside of himself, Ajo Kawir's male engine, however, decided on its own free will to remain wedged, in its peaceful supine slumber inside his pants, despite the agog anticipation for its wake one day to its former glorious vertical stand-alone state, coerced on it by the man. The dormant penis is a powerful and singular allegory of a peaceful life, by deliberating the exculpation of oneself, from the countless hassles of a world shadowed over by downright utter confusion. All told, by masterfully utilizing this allegorical literary device, in a smoothly weaved fusion with the whole of welter thrown into the mixture of his unique blend of sardonic prose, Eka has also enunciated his modicum of solemn hope for a better, more genteel Indonesian community altogether.

  • Farah Firdaus

    You know you’re in for a wild ride when a story begins with a description of a penis, like this: “Only guys who can’t get hard, fight with no fear of death — Ajo Kawir’s penis couldn’t stand up. He’d seen it, nestling like a newly hatched baby bird - curled into itself, looking hungry and cold.”

    Labeled as tragicomic (tragic and comedy), Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas is an intriguing combination of humor, tragedy, romance, satire and social critics all rolled into one. It tells the story of a young man, Ajo Kawir who suffers from an erectile dysfunction since the night he witnesses a violent rape committed by two police officers. Due to his impotence, he tries to distract himself by becoming a street-fighter and later, an assassin.

    Raw and brutal, this novel serves as a scathing critique of fragility of masculinity, violence committed by men and the way these two are interconnected. In this book, Ajo Kawir resorts to violence to compensate for his “lack of masculinity” and even after he stopped being violent, he still enjoys watching other people fight at the rubber plantation’s fighting arena. Not only that, the plot also brims heavily with violence committed against women, which made this a difficult read at times.

    I’m not really sure that I’ve figured what this book is all about but it was a really fun, sweet and moving read despite the brutal, violent and disturbing content. This was my first Eka Kurniawan and, I say this with an absolute conviction: it won’t be my last.

  • Pattrycia

    Mungkin memang saya perlu membaca buku2 sejenis buku ini. Buku ini layaknya tiupan udara segar yang terbawa angin pagi. Dengan bahasanya yang mentah & terkesan agak kasar, namun apa adanya. Buku ini tidak hanya bercerita tentang sebuah cinta, namun juga sebuah penantian beserta kesabaran & kerinduan yang meliputi penantian terserbut. Dan ketika pada akhirnya saya mengira pergulatan panjang dalam kerinduan tsb akan ditutup dengan bahagia, saya kembali dikejutkan dengan sebuah akhir yang tak terduga.

  • รพีพัฒน์ อิงคสิทธิ์

    สนุกครับ หลังจากอ่านสมิงสำแดงจบ ก็มีคนแนะนำให้อ่านเล่มนี้ ค่อนข้างชอบสไตล์การเขียนแลบจิ๊กซอว์ มันชวนให้ลุ้นกระตุ้นจินตนาการดี

    บทของเรื่องไม่ได้ยัดเยียด แต่อ่านแล้วรู้สึกได้ มันคือความอึดอัด คับข้องใจ ภายใต้ความสงบราบเรียบ

    ขอฝากตัวเป็นแฟนนักเขียนคนนี้เลยครับ :3

  • Dion Yulianto

    Satu lagi karya Eka Kurniawan diluncurkan padahal saya sendiri belum selesai membaca Cantik itu Luka. Sebagaimana tertulis di sampul belakang, sastrawan ini kembali menyuguhkan sebuah prosa yang tak biasa, yang semakin memperkuat sosok dirinya sebagai an unconventional writer di Indonesia. Tema-tema yang dipilihnya selalu sederhana dan merakyat, namun di kedalamannya tersimpan ribuan makna serta pesan-pesan yang mengumpat kondisi zaman, juga pemerintahan. Pun dalam karya terbarunya ini, yang bertebaran dengan kata-kata vulgar seputar selangkangan pria dan wanita, pesan tersiratnya mencuat sangat kuat, begitu meninggalkan kesan dalam benak pembacanya. Bacalah kalimat pertama dalam novel ini, dijamin langsung tersentak. Teknik membuka cerita yang sangat hebat!

    Kira-kira setting novel ini kemungkinan di Orde Baru tahun 1970 – 1980-an (meskipun tidak tersebut secara tersurat dalam kisahnya), pembaca sebaiknya menduga-duga saja. Tapi ada sejumlah petunjuk seperti tentara yang masih sangat berkuasa, Barry Prima dan Silvester Stalone, tidak ada telepon genggam apalagi internet, juga stasiun Gambir masih bisa digunakan untuk kereta kelas ekonomi ke Jogja. Banyak sekali penulis menebar ranjau-ranjau sejarah terkait Orde Baru (semoga saya tidak keliru menyimpulkan) sehingga melalui perjalan hidup Arjo Kawir, kita seperti menelisik ke sudut-sudut kelam dari sebuah rezim pembangunan.

    Konon di masa rezim penuh kekerasan, dua orang polisi tengah memerkosa seorang perempuan gila. Dua remaja tanggung usil mengintip perbuatan mereka sampai akhirnya salah satunya ketahuan dan tertangkap basah mengintip. Maka dihukumlah si remaja tanggung itu dengan menyuruhnya memasukkan burung miliknya ke liang kenikmatan si wanita gila. Sejak saat itu, si burung tak pernah terbangun lagi. Burung itu milik Arjo Kawir. Berbagai cara dilakukan di Arjo Kawir untuk membangunkan burungnya, yang merupakan prasyarat paling mendasar dari seorang pria agar dia bisa disebut pria yang jantan. Si Tokek, kawan Arjo Kawir yang mengajaknya mengintip merasa sebagi yang paling bertanggung jawab, dan, berdua, mereka mencari obat untuk membangunkan lagi si burung.
    Tapi semua sia-sia, metode urut, usap, oles, isap, remas, video, rabaan, obat, hingga guna-guna, semuanya sia-sia. Si burung tetap tertidur dengan cantiknya.

    Keadaan semakin menyedihkan bagi Arjo Kawir ketika dia bertemu wanita pujaannya, dan semakin sulit ketika wanita itu, si Iteung, ternyata juga jatuh cinta kepada Arjo Kawir. Gejolak nafsunya sebagai pria normal tak terbendung lagi, tapi apa daya lha wong senjatanya saja letoy tak berguna. Tetapi cinta sekali lagi membuktikan diri lebih tinggi dari sekadar nafsu semata. Melalui ******** Arjo Kawir akhirnya menemukan cara untuk memuaskan kekasihnya. Jadilah mereka menikah, dan untuk sementara Arjo Kawir bisa melupakan kesedihannya akibat burungnya yang tidak bisa berdiri.

    Sayangnya, cobaan kembali datang. Kali ini lebih dahsyat: si Iteung hamil! Arjo Kawir kembali mengumpat, menyalahkan burungnya yang tidak bisa berdiri, sehingga istrinya mencari jalan ke pria lain. Ronde kedua kehidupan ARjo Kawir dimulai. Ia kembali meninggalkan rumah dan menjadi seorang supir truk yang bolak-balik ke pedalaman Sumatra – Jawa. Tapi, untunglah dia pergi, karena dengan begitu pembaca disuguhi lagi kehidupan keras di jalanan ala supir-supir truk. Luar biasa bagaimana Eka Kurniawan menggambarkan kehidupan para sopir, dengan saling menyalip dan kebut-kebutan walau sarat muatan, cerita-cerita di pom bensin yang jarang kita dengar; dan sementara itu, burung Arjo Kawir tetap tidak mau bangun juga.

    Sebuah tulisan hebat selalu meninggalkan bekas mendapat di benak pembacanya. Novel ini salah satunya. Tidak melulu menghadirkan kisah yang happy ending dan sempurna, sebuah karya sastra yang bagus adalah yang mampu mempengaruhi pembaca untuk bergerak setidaknya ke arah yang lebih baik. Dia mengubah pembacanya. Walau banyak sekali umpayan dan kata-kata sar* di buku ini, tetapi perjuangan dan kisah hidup Arjo Kawir ibarat perjuangan sang sunyi yang mencoba melepaskan diri dari ingar bingar dunia, untuk menjadi tentram kembali, untuk menjalani kehidupan dengan penuh rasa syukur; dan itu dapat diraih melalui pengalaman. Arjo Kawir telah membuktikan, betapa segala tindakan selalu ada konsekuensinya. Dan begitu pula, selalu ada imbalan untuk setiap kebaikan.

  • Sulin

    "Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Itu yang kupelajari dari milikku selama bertahun-tahun ini."
    -Ajo Kawir, hlm. 126-

    Buku ini menceritakan:
    1. Titit;
    2. Bagaimana cara tonjok-tonjokan;
    3. Bagaimana cara menyupir truk dengan benar;
    4. Wanita dan titit;
    5. Kebijaksanaan dan filsafat dari titit yang gabisa ngaceng(kalo kata Eka);
    6. dan lebih banyak titit lagi tentunya.

    Saya suka sekali, mungkin saya akan suka stensilan bila masih beredar. Eka Kurniawan menyenangkan sekali. Benar-benar cerita yang tidak pernah saya temui dimanapun. Adegan perkelahiannya bagus juga, saya jadi teringat Chuck Palahniuk.

    Tidak kepikiran untuk mengaitkan ini apabila ini semua analogi. Halah begini pun aku sudah suka.

    Banyak bagian yang saya tak kuasa menahan air mata karena NGAKAK BROH! AMPE NANGIS!! Tapiiii yang paling saya sukai adalah plotnya! Bagus bangeeeeet, bagus banget beneran.

    Cara menulisnya yang maju mundur itu membuat saya seneng bukan main. Berasa dikasih terapi kejut, kesel kesel enak gitu. Hahahaha, sudah sampulnya gambar burung, ceritanya tentang burung, plotnya maju mundur pula. Ahahahahahaahaa

    Sekian ulasan saya, tak kuasa aku, tak terperi. Pokoknya harus baca! Pasti bacanya kilat! Etapi jangan lupa ini 21+ yah. Kerusakan dan kemupengan pada anak anda bukan tanggung jawab kami.

    Akhir kata,
    "Kehidupan manusia ini hanyalah impian kemaluan kita. Manusia hanya menjalaninya saja."
    -Ajo Kawir, hlm. 180-

    Ouh, betapa sebuah filsafat yang menyentuh kalbu.

    Ngomong-ngomong di halaman terdepan bukunya ada redaksi "Untuk Ratih Kumala" acieeeee, romantis banget ye dikasih buku titit-tititan. Tapi...

    Bukan terilhami 'berdasar kisah nyata' kan ini ya?

  • Missy J

    Unexpectedly fresh and original. The title "Vengeance is Mine, All Others Pay Cash" immediately caught my attention and made me want to read it as soon as possible. I have already read two other works by Eka Kurniawan,
    Beauty Is a Wound and
    Man Tiger, so I was already prepared for some dark humor, rapes and grotesqueness.

    The plot of "Vengeance is Mine, All Others Pay Cash" is absurd to say the least. In short, it's about the penis of Ajo Kawir, which can't stand up anymore since the night he witnessed a horrific gang rape. The style of the narration reminded me somewhat of a Quentin Tarantino film. There are lots of short scenes and the narration skips back and forth in time. Usually I get confused, but Kurniawan managed to capture my attention throughout the novel. I really liked that.

    We meet a bunch of characters and delve into the minds of quite a few. We learn about the truck drivers' lives in Jakarta and I thought Kurniawan's display of how the characters lived was very natural. There's some violence, which reminds me of a martial arts comic book instead of reality, but I wasn't bothered by it. Finally, I found the absurdity of it all quite funny. I don't know, maybe I share the same sense of humor like the author.

  • Text Publishing

    ‘Thrilling…an engrossing, emotionally rankling speed-read…original and sure-footed.’
    Big Issue UK

    ‘[Kurniawan] habitually drives his narratives between the extreme poles of the crass and the sublime, the tragic and the comedic, the surreal and the real.’
    South China Morning Post

    ‘It’s funny, enraging, and touching.’
    Village Voice

    ‘I believe the phrase is “page-turner”.’
    Words Without Borders

    ‘Kurniawan gives the reader an original plot while managing to include a good helping of black humour, plenty of irony, corruption and a man who talks to his penis (which occasionally answers him)…Funny and a bit crazy.’
    BookMooch

    ‘A charming novel.’
    Saturday Paper

    ‘Eka Kurniawan’s English-language debut, Beauty Is a Wound, was released to much acclaim in 2015, introducing the Indonesian writer to a whole new audience. Told in short, cinematic bursts, his follow-up is gloriously pulpy as it continues to explore familiar themes of female agency in a violent and corrupt male world. Kurniawan is not for the faint-hearted, but his gritty, comic style will definitely be appreciated by fans of Quentin Tarantino.’
    Readings

    ‘An unusual and provocative novel…A page turner, and well worth your attention.’
    AU Review

  • Irma Nurhayati

    Cerita dan bahasa yang dipaparkan vulgar sekali. Bacaan bukan untuk anak dibawah umur. Aku melabeli ini dengan 21+.
    Penasaran akan seperti apa nanti filmnya? Apa akan se-vulgar novelnya?

    Isi novel ini selain vulgar, ada banyak adegan kekerasan. Yang jadi topik permasalahan di sini memang burungnya Ajo Kawir yang gak bangun setelah peristiwa pemerkosaan malam itu. Ada bagian yang bikin tertawa juga, seperti adegan Ajo Kawir yang udah putus asa terus tiba-tiba bicara filosofis, dan adegan khusus cicak yang bermonolog.

    Awalnya aku agak bingung, apa sih pesan yang ditawarkan penulis dalam novel ini? Dan aku menemukannya dalam salah satu postingan IDN Times.

    'Seperti halnya harapan, kadang mimpi terwujud ketika kita sudah gak menginginkannya lagi. Sesuatu yang ditunggu justru tiba saat kita sudah mulai bisa belajar melepaskan. Hidup memang selalu punya cara untuk memberikan pelajaran pada manusia.'

  • Nadiyah Nilfannisa

    A little bit too much for me.
    Mungkin aku bukan tipikal orang yang “paham sastra” seperti mereka yang memberi bintang 4 atau 5, tapi menurutku jika memang keinginannya adalah membaca buku yang sarat akan makna, we have plenty other books that might better than this sih.. just not my cup of tea

  • Litsa Khaya

    di ending langsung mikir lama.... merenung x'D

  • Irwan Bajang

    Eka Kurniawan: Masalah Burung yang Tak Bisa Berdiri dan Kemesuman Penulis Stensil

    Judul buku: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
    Penulis: Eka Kurniawan
    Editor: Mirna Yulistianti
    Isi: 252 halaman
    Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 3 April 2014

    Akhirnya saya rampung membaca novel terbaru Eka Kurniawan. Novel ini saya baca dalam kurun waktu yang jauh lebih cepat, lebih cepat dari Cantik Itu Luka yang tebal, dan lebih cepat pula dari Lelaki Harimau yang lebih tipis tetapi berkalimat panjang dengan narasi yang juga panjang. Dengan demikian, saya berkesimpulan di awal bahwa novel terbaru Eka ini—Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas—adalah novel dengan gaya bahasa paling ringan dan sederhana di antara novel-novel karangan Eka Kurniawan.

    Ajo Kawir, tokoh sentral dalam novel ini pertama kali saya kenal dalam sebuah cerpen Taman Patah Hati yang juga ditulis oleh Eka pada tahun 2009. Dalam cerpen sepanjang 1867 kata ini, Ajo Kawir mendapat peran sebagai seorang politisi yang mendapatkan kekasihnya dari ‘orang pintar’ di kaki Gunung Halimun. Ajo Kawir dalam cerpen adalah seorang yang percaya takhayul, mitos-mitos tempat untuk patah hati, sekaligus orang yang kuat mencoba berbagai macam kemungkinan. Dari cerpen inilah saya menduga karakter Ajo Kawir dalam novel dimunculkan penulisnya. Ajo Kawir dalam novel sama teguhnya dengan tokoh Ajo Kawir yang dalam cerpen mati-matian mencari cara untuk menceraikan istrinya, di novel ini nama yang sama juga punya banyak cara aneh untuk mencoba menghidupkan burungnya (penisnya—red.) yang tertidur. Dua-duanya tak pernah putus asa.

    Dalam beberapa adegan, Ajo Kawir mencoba menggosok cabai, menyengat dengan tawon, sampai mengancam memenggal si burung dengan senjata tajam. Hasilnya nihil, si burung yang telanjur tidur karena trauma itu tak kunjung bangun.

    Sebelumnya, si burung memutuskan tidur panjang lantaran Ajo Kawir ketahuan mengintip peristiwa pemerkosaan Rona Merah—gadis cantik dan gila—oleh dua orang polisi. Ajo Kawir dipaksa memasukkan burungnya pada liang sanggama wanita itu. Sejak itu, si burung memutuskan untuk tidur panjang dan tak ingin bangun lagi. Semua gara-gara Si Tokek, sahabat mesum yang dengan rasa kesetiakawanan tinggi berjanji untuk tidak akan tidur dengan perempuan mana pun sebelum burung Ajo bangun kembali.

    Burung yang tak bisa berdiri ini kemudian membawa Ajo bertualang secara fisik dan spiritual: Jatuh cinta dan patah hati, istri yang hamil dari burung orang lain, berkelahi dan membunuh Si Macan musuh Paman Gembul yang melegenda, semua peristiwa itu membuat Ajo menjadi petarung handal. Sebab seperti kalimat pertama dalam novel ini: “Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati.”

    Tak jauh berbeda dari gaya Eka memosisikan karakter tokoh-tokohnya, tokoh-tokoh fiksi dalam novel ini juga masih berperan sebagai tokoh-tokoh yang kerap kali bergerak bebas tanpa terkontrol logika standar manusia: Dua orang polisi memerkosa orang gila lalu membunuhnya, Iteung istri Ajo mendadak hamil—yang mungkin—disebabkan oleh guru yang pernah menjahili dadanya ketika SD, Iteung yang sepertinya berbahagia tetapi memilih “tidur” (bersanggama—red.) kembali dengan Budi Baik, sahabat sekaligus pasangan tidurnya sebelum menikah. Atau beberapa tokoh lain seperti Si Ompong yang mau berkelahi demi gelar jagoan, demi bisa membayar Nina, kekasih impiannya yang ternyata bisa ditiduri setelah memiliki uang. Peristiwa-peristiwa yang mungkin bagi sebagian orang absurd ini sudah sering kita temukan dalam karya fiksi Eka sebelumnya. Toh, di Cantik Itu Luka ada gadis yang diperkosa anjing di toilet sekolah, ada Dewi Ayu, pelacur idola laki-laki yang bangkit dari kubur, atau dalam Lelaki Harimau ada Margio yang dengan brutal menggigit leher seseorang dan menolak bertanggung jawab dengan mengaku ada harimau dalam tubuhnya. Eka telah kerap kali menunjukkan gaya demikian, dan bagi saya yang membaca beberapa karyanya, gaya ini menjadi citra yang melekat bagi karier kepenulisannya.

    Eka bisa menulis dengan ekspresi tokoh yang biasa, nyaris tidak masuk akal tapi juga realistis. Kita seolah-seolah dihadirkan pada satu kejadian absurd yang susah dianggap aneh. Dalam beberapa cerpennya, Eka menghidupkan Boneka Barbie yang menjadi hiburan para lelaki, atau sebuah kampung yang menangkapi orang gila dan menjadikan prosesi sanggama mereka menjadi hiburan. Eka kerap menghadirkan tokoh-tokoh fiksi yang sakit, yang susah kita tolak sebagai tokoh-tokoh dengan tindakan rasional. Susah membantah dan menyebut mereka sakit.

    Meski memakai karakter tokoh yang masih cenderung sama, novel Eka kali ini jelas sekali memilih gaya yang berbeda. Jika di Cantik Itu Luka ada deretan nama tokoh yang sangat banyak dan berkelindan, di novel ini tokoh-tokohnya tidak sebanyak itu, meski masih berkelindan dan masih saling terkait. Namun, bukankah semua novel selalu begitu? Selalu ada tokoh sentral dan tokoh-tokoh lain di sekeliling yang nantinya akan membentuk sebuah rangkaian plot dan narasi yang terhubung satu sama lain. Jika di Lelaki Harimau ia memilih kalimat-kalimat yang panjang, di sini Eka bertolak seratus persen. Tidak ada kalimat panjang dan tidak ada bab panjang. Semuanya hanya berupa snapshot atau scene dalam sebuah film.

    Novel ini bisa dikategorikan sebagai sebuah novel mesum. Eka seperti menyadari setting waktu di mana ia menjejerkan tokoh-tokohnya dan mulai bercerita. Selain menghidupkan tokoh-tokoh dengan setting sekitar sepertiga akhir Orde Baru, Eka mewarnai gaya bahasa dan suguhan peristiwa dalam novel ini nyaris seperti bacaan-bacaan di era itu.

    Tahun 80-an sampai akhir 90-an adalah tahun-tahun di mana buku fiksi dibanjiri buku-buku mesum yang berpusar pada selangkangan dan syahwat. Ada deretan nama penulis dengan tingkat produktivitas yang sangat tinggi: Fredy S, Enny Arrow sebagai raja dan ratu cerita mesum, Abdullah Harahap di genre yang agak horor tetapi juga mesum. Ada juga beberapa cerita silat yang berdampingan dan sama lakunya dengan buku-buku mesum tersebut. Eka menyadarinya. Tokoh-tokoh dalam novel terbarunya ini dicirikan dengan nama, kelakuan, dan gaya bercerita yang seolah-olah ingin merangkum tiga genre dominan era itu. Mesum, silat, dan horor. Dengan detail dan sadar, Eka juga memasukkan bacaan Siksa Neraka dalam satu adegan, yang lagi-lagi memang adalah buku yang lagi tersohor di era itu.

    Eka mengembalikan ingatan para pembaca pada gaya dan karakter bercerita penulis-penulis laris era itu. Tentu dalam kapasitas sastra, Eka secara jenius melampaui mereka. Freddy S misalnya sebagai contoh, ia menceritakan tokoh-tokoh remaja atau om-om genit, novel pop tipis dengan sekitaran tiga adegan adu kelamin yang intens. Jika dalam novel-novel Fredy S dkk., kita menemukan adegan kelamin yang memakan banyak halaman, Eka secara sadar tidak melakukannya. Fredy menceritakan adegan mesum dengan narasi yang mesum; bagaimana bertemunya dua orang yang berahi, masuk ke ranjang dan berciuman, mengisap buah dada sampai detail rasa ketika kemaluan laki-laki yang bertemu kemaluan becek pasangannya. Dengan tidak mengeksplorasi berlebihan narasi-narasi itu, Eka seolah-olah hanya ingin mengajak pembaca mengenang, pernah ada buku semacam itu, dan novel ini hanyalah contoh. Maka, jika membandingkan Eka dan Fredy, pembaca yang mendambakan kemesuman tak perlu membeli buku Eka. Buku ini dicetak dengan kertas yang bagus, tebal, judul emboss dan dikerjakan jauh lebih serius. Tentunya lebih mahal dibandingkan buku stensil yang beredar di terminal, pasar, dan stasiun yang harganya tak lebih dari sebungkus rokok keretek. Jika pembaca tetap ingin bermesum-ria, silakan berkunjung ke situs-situs web 18+ yang bertaburan di internet.

    Pilihan penggalan adegan yang pendek menjadikan novel ini seperti film-film dengan kilasan ingatan tokoh yang tumpang tindih, tapi berhasil disusun tanpa membuat jengah pembaca yang mengalami percampuran plot yang sangat acak. Bisa jadi cara ini dipilih Eka dan terpengaruh dari kerjaan sehari-harinya yang konon adalah penulis skenario. Pilihan kalimat yang pendek, dialog yang kadang tanpa apostrop atau tanda kutip seperti kesan penulis dalam buku Fredy S yang memang kadang lupa bagaimana menulis dialog. Namun, di situlah, Eka melakukan penghematan dialog yang tak perlu dan cenderung terkesan berhasil. Tentu ini disengaja dan penuh risiko. Eka mengambil risiko itu.

    Secara gagasan, novel ini benar-benar sangat sederhana, tak ada beban banyak yang harus ditanggung pembaca, tak ada pesan moral dan pesan lainnya. Novel ini mengingatkan saya pada The Stranger karya Albert Camus yang terbit 1942, dua-empat dekade sebelum ledakan novel stensilan di Indonesia. Sama seperti Camus yang memakai kalimat-kalimat sangat pendek, kelakuan tokoh-tokoh yang absurd, Eka juga melakukan hal yang sama. Termasuk tidak memberi jeda pada pembaca untuk bersimpati. Mengingatkan kita juga pada film-film Quentin Terantino yang kadang sadis, vulgar, cepat, dan absurd. Alih-alih bersimpati, pembaca cenderung merasakan humor pedih yang memosisikan tawa dan derita di satu jalan yang berjajaran.

    Satu lagi keberhasilan penulis adalah pada laju plot yang cepat. Membaca buku ini kita disuguhkan tema suspense tanpa adegan kejar-kejaran dan penyelidikan detail siapa membunuh siapa, seperti misalnya di novel-novel Agatha Christie, Dan Brown, Paul Sushmen atau John Grisham. Ini adalah novel berplot ‘agak cepat’ tapi bukan dipicu adegan suspense sesungguhnya. Ketertarikan pembaca—terutama saya—adalah pada bagaimana konflik-konflik manusiawi yang disusun secara acak dan berfungsi membuat kita penasaran. Penulis berhasil meletakkan secara acak beberapa adegan, ingatan dan runtut kejadian, sehingga mozaik-mozaik cerita utuh bisa kita temukan setelah menyusun sendiri adegan tersebut usai membaca. Dalam novel ini juga tidak ada adegan pembunuhan atau penemuan mayat yang ganjil di prolog seperti lazimnya novel thriller. Peristiwa menariknya hanyalah burung yang tak bisa bangun. Apa, Kenapa dan bagaimana kejadiannya, itulah yang menjadi cikal bakal cerita sampai akhir. Ending mengesankan memberi ruang dialog bijak antara burung dan pemiliknya, bahwa mereka bisa jadi dua makhluk yang berbeda, hanya sejalan saat sama-sama ingin ngencuk.

    Jika saya diminta menilai, saya tak ingin menilai bagaimana gaya bahasa dan susunan kalimat dalam buku ini serta bagaimana tokohnya hidup dan tersusun sebagai cerita oleh penulisnya. Saya lebih suka menilai novel ini sebagai sebuah keberanian penulis. Banyak para pembaca yang seolah-olah dibuat penasaran; suguhan apa yang dimunculkan Eka di novel terbarunya yang berjarak jauh antara karya sebelumnya. Tadinya saya mengira Eka akan sangat terbebani, bagaimanapun jeda yang agak panjang, sekitar 10 tahun dari karya sebelumnya menjadikan hal yang lumrah bagi seorang penulis—yang pernah dianggap sangat berhasil dengan novelnya—muncul kembali dengan karya terbaru. Tentu mau tidak mau, pembaca setianya juga akan memulai atau membuat ekspektasi yang lebih. Bagi pembaca sejenis saya, sebenarnya tak ada tawaran baru, selain—sekali lagi—hanya keberanian eksplorasi gaya penulisan. Dan untuk jeda yang panjang, Eka cenderung menghasilkan sesuatu yang sedikit, meski yang sedikit itu cenderung berhasil.

    Keberhasilan Eka yang lain terletak pada keberaniannya—yang saya yakin dengan sengaja ia lakukan—dalam memakai bahasa. Ia tak melakukan konsistensi yang utuh semisal menggunakan selalu apostrop dalam setiap dialog tokohnya. Dalam novel setebal 242 halaman ini, berserakan juga kata-kata yang kerap dihindari atau jarang digunakan dalam penulisan fiksi yang menjaga sopan-santun; kontol, memek, pejuh, puting, jembut, selangkangan, dan deretan kata sejenisnya dimunculkan bebas oleh penulis. Upaya ini barangkali adalah upaya pembebasan beberapa bahasa dari Kamus Besar Bahasa Indonesia yang jarang berani dikemukakan dan cenderung dianggap kasar. Kita kerap merasa kata sperma, penis, dan vagina lebih sopan dibandingkan pejuh, kontol, ataupun memek. Padahal kita keliru. Bahasa-bahasa yang tertidur di kamus dan jarang dibangunkan dalam karya sastra kita coba dihidupkan lagi dengan sadar dan sederhana. Seperti Ajo Kawir mecoba membangunkan burungnya.

    Jika ada yang patut sangat disayangkan dalam novel ini, hal tersebut terletak pada ketidakjelian orang-orang penerbit yang bertanggung jawab pada terbitnya buku ini. Beberapa kesalahan ketik dan banyaknya kesalahan pemenggalan kata (hyphenation) di ujung kanan kalimat seolah-olah menunjukkan ketimpangan bagaimana usaha keras penulis tidak diimbangi kejelian produksi. Petugas tata letak (layouter) dan tukang koreksi bahasa (proofreader) bertanggung jawab untuk memperbaiki buku ini pada cetakan berikutnya.

    Akhirnya, Eka benar-benar sedang hanya ingin mengajukan hal yang sangat sederhana. Ajo Kawir enggak bisa ngaceng dan ia berjuang untuk membuat burungnya bangkit kembali. Diramu sedikit dengan ilmu psikoanalisis ala Sigmund Freud, Eka memutuskan nasib Ajo Kawir dengan menghilangkan trauma masa kecil penyebab burungnya tak bisa berdiri. Si Burung akhirnya bisa berdiri usai bersanggama dengan Jelita si gadis buruk rupa di sebuah toilet pom bensin. Belakangan Ajo Kawir sadar, Jelita ternyata memiliki paras mirip dengan Rona Merah. Entah titisan, entah hantunya. Lagi-lagi, tokoh-tokoh fiksi Eka, seperti pada dua novel sebelumnya, muncul dengan ajaib dan tak memerlukan asal usul.