Title | : | Cinta Tak Ada Mati |
Author | : | |
Rating | : | |
ISBN | : | 9792212574 |
ISBN-10 | : | 9789792212570 |
Language | : | Indonesian |
Format Type | : | Paperback |
Number of Pages | : | 184 |
Publication | : | First published January 1, 2005 |
Awards | : | Kusala Sastra Khatulistiwa Prosa - longlist (2005) |
Setiap cerita dalam kumpulan ini ditulis Eka dengan semangat pencanggihan yang tinggi, yang pada masa lalu merupakan ruang kosong dalam sastra Indonesia. Sekali lagi, publikasi ini tidak akan berisi sinopsis atau ringkasan karena akan menghilangkan kejutan dan membuat cerita-cerita Eka menjadi tidak asyik lagi. Membaca Eka Kurniawan dengan sempurna adalah dengan membeli bukunya dan mengalami sendiri perjalanan yang penuh teror estetik dari cerita-cerita dalam kumpulan ini.
Cinta Tak Ada Mati Reviews
-
Yes, suka sekali. Buku ini menjadi pelengkap karya fiksi Eka Kurniawan, meski saya tidak bisa mendapatkan buku edisi pertama, lantaran memang sudah langka. Dan edisi baru ini memiliki beberapa perbedaan mendasar. (1) Jelas sampulnya berbeda dan edisi ini indah sekali, secara digambar oleh perupa Eko Nugroho. (2) Di edisi 2018, tidak dilengkapi ilustrasi milik Cecil Mariani sebagaimana edisi pertama. (3) Ada tiga cerpen yang ada di edisi pertama, namun diganti di edisi terbaru ini. (4) Adalah sususan cerpen dalam buku ini berubah.
susunan cerita di edisi lawas, 2005:
susunan cerita di edisi baru, 2018:
Namun, tetap cerita-cerita Eka berkesan di hati saya. Kalau diperhatikan, di cerpen dengan titimangsa lebih baru, 2011 misalkan, Eka tidak hanya kuat dalam narasi. Eka menghadirkan dialog-dialog intens yang mengalir dan menarik. Misalkan di cerpen Persekot dan Jimat Sero, Eka menghadirkan dialog cukup banyak, yang itu tidak ada di cerpen-cerpen dengan titimangsa 2005 ke bawah. Mungkin ini juga yang dapat kita temukan perbedaan siginifikan antara Lelaki Harimau dan Cantik itu Luka yang notabenenya adalah karya awal Eka dengan, misalkan, O, atau Seperti Dendam, Rindu Harus.... Meski Eka tetap menghadirkan cerpan yang intens dan kuat.
Dan cerpen idola saya tetap yang dijadiakn judul, dan entah mengapa beberapa kisah dengan twist dan kejutan ending membuat saya tersenyum ketika telah di akhir bagian.
Mantaaap! Suka! Semoga Gelak Sedih dicetak kembali dengan cover dan konsep yang baru. -
3,8/5 bintang
-
Mungkin benar kata orang, membaca buku adalah pengalaman spiritual. Cinta Tak Ada Mati (CTAM) adalah buku keenam Eka Kurniawan yang saya baca, dan kumpulan cerpen kedua setelah Corat-coret di Toilet (CCDT).
Pada CTAM saya merasa Eka menulisnya begitu serius, agak getir, dan kurang bersenang-senang. Entah memang semua pembaca merasa seperti itu, atau situasi dan kondisi saya saat membacanya yang membuat begitu.
Dibanding CCDT yang cenderung liar, jenaka, dan usil laiknya anak menjelang remaja, CTAM rasanya seperti jelmaan orang dewasa.
Beberapa cerita di novel ini pernah saya baca sebelumnya di media cetak, terutama koran minggu. Bahkan cerita "Bau Busuk" seperti mengutip begitu saja dari karya Eka yang lain yakni Cantik Itu Luka (CIL).
Pun demikian, Eka tetaplah Eka, menggunakan bahan apa pun, dan bagaimana pun cara diolahnya, akan menjadi hidangan yang lezat dan bergizi di hadapan penikmat (pembaca)-nya. -
Cinta tak ada mati!!!! Endingnya bikin bengong. Kisah-kisah khas Eka Kurniawan. Suka!
-
Selain medium untuk merespons kekayaan budaya atau tradisi, kumpulan cerpen yang ditulis Eka Kurniawan dengan pendekatan estetika realisme magis dalam buku ini menunjukkan upayanya menampik isu kemapanan.
Cinta Tak Ada Mati dan Cerita-Cerita Lainnya berisi tiga belas cerpen yang pernah dimuat di berbagai majalah dan media cetak dalam rentang tahun 2002-2017. Meski dibungkus dengan beragam tema, tapi Eka Kurniawan tampak setia menyoroti kondisi budaya dan gejala sosial-politik dalam semua tulisannya.
Satu hal yang paling menarik, hampir seluruh karakter utama dalam kumpulan cerpen ini adalah orang-orang buangan yang berada dalam latar peristiwa yang terasa ganjil, yang kemudian mendorong mereka melakukan tindakan tak lazim.
Dalam "Kutukan Dapur" ada juru masak pada masa kolonial Belanda yang merencanakan pembunuhan wajar dengan resep rahasia dalam masakannya. Dalam "Lesung Pipit" ada perempuan yang rela melepas keperawanan sebelum malam pertama demi membebaskan diri dari pernikahan paksa. Ada pengamen yang jadi korban salah tangkap dalam "Persekot" dan pemuda yang lupa bacaan salat dalam "Surau". Ada pula pria "Mata Gelap" yang tak kunjung mati meskipun seluruh bagian tubuhnya telah dipenggal. Selain itu, ada seekor "Caronang"—hewan yang nyaris punah—mencoba melakukan pemberontakan di rumah tuannya.
Salah satu favoritku adalah cerpen dengan teks terpanjang hampir serupa novelet yang dijadikan judul buku antologi ini. "Cinta Tak Ada Mati" mengisahkan cinta sepihak Mardio kepada Melatie yang tak lekang oleh waktu. Alih-alih terasa bucin, cerpen ini malah terlalu liar untuk sebuah kisah romansa.
"...sebab bagaimanapun cintanya kepada perempuan itu tak pernah pudar, sebaliknya semakin mengental bersama bertambahnya waktu dan kesia-siaan." -
Berisikan 13 cerita pendek karangan Eka Kurniawan. Siap-siap sebelum membacanya, karena pembaca akan dibuat sedikit gila dengan ide cerita yang absurd, dibumbui hal-hal mistis, namun sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Pembaca seperti disihir untuk percaya pada hal-hal yang sebetulnya fiktif, namun bisa jadi terjadi pula di kehidupan nyata.
Cinta Tak Ada Mati dibuka dengan kisah Kutukan Dapur, yang kental dengan isu mengenai laki-laki yang menganggap urusan perempuan hanyalah dapur, sumur, dan kasur. Ada perlawanan yang diam-diam, senyap mematikan di sana. Perlawanan perempuan terhadap adat yang sering memaksanya untuk menikah dengan orang yang tak dicinta juga tertuang dalam kisah Lesung Pipit, saat tokoh perempuan dalam cerpen tersebut merasa lebih baik sundal dibandingkan kawin paksa.
Empat puluh halaman cerita Cinta Tak Ada Mati buat saya adalah sebuah karya yang gila. Tapi memang mungkin cinta begitu adanya, siapapun bisa gila dibuatnya. Dengan akhir cerita yang betul-betul di luar dugaan, dalam Cinta Tak Ada Mati, ada kisah cinta penolakan wanita terhadap pria yang begitu mencintanya, ada kegilaan masih berharap ketika wanita tersebut kemudian menikah dengan pria lain, dan ada hal yang paling gila ketika wanita tersebut akhirnya meninggal dunia, karena Cinta Tak Ada Mati.
Karya Eka Kurniawan tak melulu menyerempet hal-hal seputar kisah di atas kasur. Ada pula cerpen Surauyang seperti menyindir orang-orang yang beribadah tapi otopilot, tak tahu tujuan.
Lalu tentu saja ada cerita-cerita dengan unsur magis, seperti dalam kisah Mata Gelapdan Caronang. Kalau membaca yang ini, saya sendiri takjub bagaimana Eka Kurniawan bisa terpikirkan hal-hal semacam ini untuk dijadikan cerita.
Teringat pada suatu kesempatan, saya mendengarkan penulis berbagi mengenai bagaimana mencari ide cerita. Dan memang, penulis yang digadang-gadang sebagai jelmaan dari Pram ini mendapatkan idenya dari mana saja, termasuk dari potongan berita di koran yang aneh. Ah, penulis memang harus bisa melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda! -
13 cerpen dari Ekakur yg ditulis antara tahun 2000-2011. Beberapa khas Eka sekali, sementara yg lain terasa sedikit eksperimental. Tema yg diangkat pun sangat beragam, dari yg sedikit mistik sampai yg agamis, dr jaman penjajahan, ke halimunda, sampai ke masa kini. Semuanya enak dinikmati.
Beberapa catatanku:
- Kutukan Dapur
Salah satu favku di kumcer ini. Wanita modern yg asing dalam hal masak-memasak berguru pada ratu dapur jaman hindia belanda ;)
- Cinta Tak Ada Mati
Kesetiaan Mardio mengingatkanku pada Florentino Ariza, tapi nuansa lokal yang kental dan ending yg ngenes membuatku termangu.
- Ajal Sang Bayangan
Dulu pernah didongengin kisah ini, tapi narasi apik Ekakur membuatnya terasa makin tragis.
- Penjaga Malam & Jimat Sero
Kedua cerpen ini sdh pernah kubaca di kumcer Kumpulan Budak Setan.
- Pengakoean Seorang Pemadat Indis
Ngahaha..., soesah sekali membaca cerpen satu ini. Bukan hanya penulisannya yang memakai bahasa indonesia ejaan lama, tapi gaya bahasanya juga disesuaikan dengan hal itu. Ceritanya juga lumayan gak biasa. Asyik kok, aku menikmatinya.
- Tak Ada yang Gila di Kota ini
Kisah terakhir yg terasa seting kontemporernya. Penutup bagus sekali untuk kumpulan cerpen ini.
Baca ini lewat GD, tapi kapan2 pengin koleksi juga ah.
#GD -
Membaca kumpulan cerita "Cinta Tak Ada Mati" masih tetap menimbulkan tanya penuh kagum, " kok bisa ya punya ide seperti ini?". Jarang memfavoritkan kumcer yang dijadikan judul utama, tapi Cinta Tak Ada Mati memang meninggalkan pesan paling mendalam. I remember Pedro Calderon de la Barca said: When love is not madness, it is not love. It's just totally mindblowing how Eka Kurniawan portrayed the madness and tragic and irony of love throughout the writing. Kalau diingat kembali, hampir semua cerita yang dituangkan dalam kumcer ini masih khas dengan gaya Eka Kurniawan: misterius, kelam, penuh plot twist. Tak hanya tentang romansa biasa, mulai dari pendobrakan nilai patriarki, kungkungan budaya, rezim negara, hingga hal gaib yang tak kasat mata. Menarik sekali!
-
4.5 bintang
one of Eka's best, I think. -
Buku kedua dari Eka Kurniawan yang saya baca.
Luar biasa mencengangkan isinya haha. Untungnya sudah ada penanda di sampul belakang, kalau buku ini diperuntukkan hanya bagi orang-orang dewasa. Bagi pembaca yang sudah punya anak tetapi di bawah umur, alangkah bijaknya menyimpan buku ini baik-baik supaya tidak sengaja terbaca oleh mereka. Karena alasan ini pula, sebagus apapun buku ini, saya belum bisa memberi rekomendasi penuh berupa bintang lima, karena buku ini bukan jenis buku yang ramah untuk segala usia.
Setiap bab membuat saya geleng-geleng kepala dan tertawa, setidak-tidaknya ya nyengir tidak habis pikir. Kalau diminta memilih bab yang paling favorit buat saya, ini di antaranya:
* Kutukan Dapur
* Surau
* Caronang
* Pengakoean Seorang Pemadat Indis
Tidak sabar baca bukunya Eka Kurniawan yang selanjutnya! -
Baru saja selesaaaaiii~~
Keren abiiis. Kalo dicetak ulang, kalian harus beli deh.
Cerpen pertamanya yang sama dengan nama judul kumcer ini, begitu ngena di hati saya. Cielah.
Sisa cerpen lainnya punya kedalaman yang beragam dengan tema yang tak disangka-sangka. Salute. -
Cinta Tak Ada Mati oleh Eka Kurniawan
Diterbitkan oleh PTS Gramedia
Penilaian Goodreads: 3.93/5
Penilaian Saya: 5/5
"Ternyata darah tidak semerah yang kubayangkan. Darah lebih gelap daripada merah. Merah itu warna bendera dan darah tidak berwarna seperti bendera. Darah lebih seperti warna kelopak mawar yang membusuk. Dan aku suka warna itu mengalir dari sudut bibir Nasrudin."
Membaca karya Eka di kala Subuh, tafakurku sebentar menyelami bait-bait indah bahasa Nusantara ini. Sungguh mengait kalbu seumpama momen yang sunyi aman indah diterbangi burung pulang senja. Kelembutan, kesantunan, kekuatan dalam setiap ucap kata, penuh makna. Sebentar kunyalakan puntung Semporna sambil menghirup kopi hitam panas, ah, bahagia.
"Ketika luka mulai melelehkan darah, ilham itu kemudian datang begitu terang, serupa mimpi buruk yang muncul di kala siang." ... "Untuk membunuh bayangan, kau mesti membunuh diri sendiri."
"... berhati-hatilah, ada rahasia-rahasia tersembunyi dalam menu makan siang yang melimpah-ruah seperti itu... Rahasia-rahasia ini tersembunyi di dapur, di tangan perempuan-perempuan yang menggerus bumbu dan merebus umbi-umbian. Beberapa adonan ini menjadi makanan para dewa yang begitu nikmat, beberapa merupakan penyembuh-penyembuh ajaib, dan sisanya pembunuh-pembunuh tanpa ampun."
#MalaysiaMembaca -
Wah, membaca buku kumpulan cerpen (kumcer) ini merupakan sebuah pengalaman yang memuaskan.
Meskipun tidak membaca buku kumcer sebanyak tahun lalu, sebagai buku kumcer kedua yang aku baca tahun ini setelah
buku kumcer 'Lampor', 'Cinta Tak Ada Mati' sukses masuk dalam jajaran buku favoritku. Kalau kamu adalah penggemar Eka Kurniawan atau merupakan salah satu penikmat cerita pendek, aku sarankan untuk memasukkan buku ini dalam wishlist-mu.
Dari 13 cerpen yang ada, 3 cerpen teratas favoritku bertajuk; Cinta Tak Ada Mati, Kutukan Dapur, dan Pengakoean Seorarang Pemadat Indis.Kisah dalam cerpen Cinta Tak Ada Mati sendiri benar-benar menggambarkan judul cerpennya. Jarang sekali memang kita menemukan kisah yang judul dan isinya secocok ini sampai membuat bahagia. Aku sebenarnya sudah bisa menduga twist di akhir kisah ini. Namun tetap saja, aku masih terpana dibuatnya ketika dugaanku menjadi kenyataan.
Ulasan lengkapku tentang ke-13 cerpen dalam buku ini dapat ditemukan
di sini -
Rating sebenarnya: 4.89 🌟
Suka! Selalu suka dengan kata-kata yang dirangkai Eka Kurniawan. Perjalanan dalam membaca buku ini meninggalkan kesan yang kuat pada tiap cerpennya. Rasa kagum yang kuat, rasa takut yang kuat, rasa aneh yang kuat pula.
Betul bahwa tidak usah menggebu-gebu dalam menceritakan isi buku ini pada kawan, sanak saudara, maupun pengikut media sosial. Cukup rekomendasikan saja seperlunya, dan biarkan mereka mengalami sendiri perjalanan ajaib membaca buku ini.
Favorit saya adalah Kutukan Dapur, ini memikat sekali. Cerita lainnya adalah Bau Busuk, meninggalkan kesan paling mendalam ya tentu karena saya kehabisa nafas ketika membacanya. -
Punya yang covernya sudah merah-biru warnanya.
Cukup bagus dan menyenangkan ceritanya. ngebaca ini cukup lama, sekitar 2 bulanan karena memang kaya lagi jenuh sama baca dan lagi dalam tahap depresi relapse, jadi agak ngendur bacanya.
Cuma cukup oke walaupun ada beberapa hal yang susah dimengerti, tapi pas udah sampe akhir cerpen baru engeh maksudnya apa.
4 stars from me~ -
Selalu menarik dan menyenangkan membaca karya Eka Kurniawan. ❤️ Ada tujuh cerpen yang saya suka, yaitu Kutukan Dapur, Lesung Pipit, Cinta Tak Ada Mati, Caronang, Bau Busuk, Pengakoean Seorang Pemadat Indis, dan Jimat Sero.
review lengkap menyusul -
Tak ada benang merah dalam semua ceritanya selain kegilaan imajinasi penulis dan nasib naas karakternya. Makin kagum dengan mas Eka. Beberapa cerpen kelewatan bagus dan beberapa juga rasanya biasa saja. Suka banget dengan 'Cinta Tak Ada Mati', cinta tulus bertepuk sebelah tangan yang berakhir sangat perih. 'Surau' juga mungkin terasa dekat dengan orang-orang (saya juga) yang dulunya dididik keras dengan agama dan ketika dewasa malah makin berjarak, berat banget konflik batinnya.
-
Baru sadar ternyata buku ini sudah 2 tahun lamanya tetap ada di rak to-read dan akhirnya selesai juga dibaca. Cerita-ceritanya mengingatkan saya akan Malam Terakhirnya Leila. Gelap, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk terjadi di sekitar kita.
Intinya, bagus! -
ga tau berapa kali bilang sinting pas baca buku ini. buku kesekian dr mas eka yg sy bca. seperti biasa khasnya eka selalu mengemas cerita dgn gamblang dan liar. tema yg di ambil juga random dan unik.
fav cerita di buku ini ; cinta tak ada mati, caronang, dan jimat sero.
mencengangkan bgt. -
13 - 2020
Ada 1-2 judul dalam kumpulan cerpen dalam buku ini sudah pernah saya baca sebelumnya, seperti Jimat Sero dan Penjaga Malam, tapi saya lupa sudah baca di buku kumcernya Eka Kurniawan yang mana. Yang diangkat menjadi judul buku ini sendiri Cinta Tak Ada Mati, adalah cerita yang paling panjang di antara 12 judul lainnya.
Semua cerpen dalam buku ini khas Eka banget, saya justru kurang suka cerita Cinta Tak Ada Mati, lebih suka cerita soal Caronang dan Ajal Sang Bayangan. -
Ending setiap cerpennya memang mak jleb. Khas Eka Kurniawan.
-
Tulisan2 edan tapi keren tu gimana mendeskripsikannya ya? Semacam pengalaman baca cerita nggak bisa berhenti, terus melongo. Hahahaha. Edun.
-
Cerpen favorit : Cinta Tak Ada Mati.
-
nggak pernah aku sebucin ini sama tulisan seseorang kecuali punyanya eka kurniawan.
sumpah ya, nggak pernah mengecewakan. selalu ada kejutan di akhir cerita. dari 12 cerpen, favoritku tentu saja yang jadi judul buku ini; "cinta tak ada mati". gilak! alurnya lambat banget, tapi ending-nya, boom! bikin misuh-misuh. cerpen-cerpen yang lain juga nggak kalah gereget, termasuk "jimat sero" yang ternyata pernah aku baca di koran.
dibandingkan sama "corat-coret di toilet", aku lebih suka ini sih. tapi masih ada "gelak sedih" dan "perempuan patah hati yang kembali menemukan cinta melalui mimpi" yang belum aku baca. segera deh kucari dua buku itu buat menggenapi kebucinanku sama tulisannya eka kurniawan hehe. -
Percayakah kau ada buku yang kuendapkan lebih dari setengah windu, dan baru kubaca pada tahun ini? Itulah buku-buku Eka. Suatu petang di tahun itu, aku jadi manusia paling beruntung datang ke bazar buku dan kemudian memborong tiga buku Eka Kurniawan, dan buku ini salah satunya. Buku ini masih dicetak dengan kertas hvs putih, tidak dengan kertas kuning sebagaimana buku-buku hari ini. Plusnya, buku ini tidak akan cepat menguning, dan minusnya, buku ini jadi berat di tangan saat membacanya.
Kenapa harus kuendapkan? Karena saat itu aku merasa pikiranku belum siap membukanya. Aku takut jadi perenang yang hanya bisa menjulurkan kaki ke air, karena merasa tak bisa menghadapi kolam yang dasarnya sangat jauh dan kakiku yang pendek tak bisa dijejakkan. Begitulah, baru ketika awal bulan Juni, saat musim dalam hidupku mengharuskanku pergi dan pulang kantor di Cikini dengan menumpangi kereta, buku menjadi teman seksi di kereta sambil berdesak-desakkan dalam gerbong.
Cerita pertama, yang juga dipilih menjadi judul buku, adalah cerita favoritku. Aku larut pada kisah laki-laki yang kesepian sepanjang hidupnya dan menderita secara batin akibat cinta yang terpendam hampir sepanjang hidupnya. Bagiku, saat Eka menceritakan lelaki tua kesepian itu, aku seperti sedang duduk berhadapan dengan tokohnya itu langsung dan ia mencurahkan keluh kesahnya, seperti mendengar ia mengajakku untuk membelah dadanya dan barangkali mengusai hatinya, seperti ingin membuktikan bahwa sampai kapanpun hanya nama Melatie yang ada. Akhir yang menyesakan begitu, menimbulkan pengalaman "shock", menyentak dan haru.
Selebihnya, yang ingin kukatakan adalah, betapa banyak hal yang membuka wawasan saat membuka lapis demi lapis cerita. Sungguh tak berlebihan pujian SGA dan Oka pada kulit belakang buku. Untuk kesempurnaan buku ini, kuberikan lima bintang. -
Butuh lama bagiku untuk menyelesaikan buku ini karena aku meninggalkannya untuk beberapa waktu.
Tidak banyak membuat catatan. Seperti biasa, Eka Kurniawan memang unik. Dia menulis dengan caranya sendiri. Tidak memisahkan kalimat dengan titik pada cerpen "Bau Busuk", misalnya. Maupun penulisan dengan ejaan lama yang unik sekali di cerpen "Pengakoean Seorang Pemandat Indis" yang memperkaya pengetahuan teknik menulisa bagiku.
Cerpen terakhir, "Tak Ada yang Gila di Kota Ini" kembali mengingatkanku bahwa membaca karya-karya Eka Kurniawan tidak bisa dilakukan sembari makan. Bahasanya yang vulgar bisa melenyapkan napsu makan seketika. Ini juga yang membuatku rehat cukup lama dari membaca buku ini.
Namun, aku selalu melihat karya Eka Kurniawan sebagai kritik terhadap kondisi sosial yang ada di negeri ini. Cara mengkritik yang menggelitik tapi bisa dinikmati dengan cukup baik. -
Sepertinya memang harus menyediakan waktu khusus untuk membaca kumcer Eka Kurniawan ini. Seperti biasa beberapa cerita harus dicerna dengan baik. Ada yang bernuansa mistis, ada juga yang butuh imajinasi tinggi. Favorit saya Kutukan Dapur dan Mata Gelap.
-
Buku ini mengingatkan saya bahwa cerpen adalah cinta pertama saya untuk Eka Kurniawan.
-
Cinta Tak Ada Mati merupakan buku yang berisi 13 cerpen karya Eka Kurniawan yang sebelumnya pernah dipublikasikan di berbagai koran, majalah, dan jurnal dalam kurun waktu 2002-2017, lebih tepatnya sepuluh di antaranya ditulis dari 2002 hingga 2005 dan tiga lainnya dengan jarak tahun yang cukup jauh, yakni 2009 2011 2017.
Judul bukunya sendiri mengambil salah satu judul cerpen di buku ini yang memiliki halaman terbanyak di antara cerpen-cerpen lainnya dan mungkin bisa saya bilang takkan membuatmu berdistraksi untuk meletakkan buku itu barang sedetik saja sebelum satu cerita itu habis kau telan. Sampai kemudian kau tersadar telah mengalami sakit perut dikarenakan cinta buta yang tersaji di dalamnya. Ibarat memakan junkfood, membuat candu tapi tak menyehatkan, begitu juga cerita melankoli ini. Di dalam cerita ini pula saya jadi teringat satu kata yang membuat entah bahagia atau nestapa: "Mamihlapinatapai", yaitu ketika si lelaki tua beradu pandang dengan seorang gadis muda di taman melalui narasi sang penulis yang akan membuatmu tersipu malu dan mendambakan kisah cinta yang murni dan segar. Tapi tentu saja itu tidak terjadi, karena Eka Kurniawan sepertinya lebih suka membuat karakternya menderita karena patah hati daripada bahagia karena cinta/tatap mata. Yang pasti ini hanyalah satu adegan kecil yang "gampang" dilewati si lelaki tua, karena pada kenyataannya ia tak pernah bisa "move on" dari mantan gebetannya yang selamanya barangkali cuma menjadi gebetannya saja. Keparat betul.
Lalu Surau. Kalau boleh jujur, saya merasa sangat terhubung dengan cerita ini. Membacanya membuat saya jadi merindukan masa-masa di mana saya pernah menjadi "anak saleh" yang penurut. Meskipun sekarang saya masih merasa "saleh", hanya saja dengan definisi dan aktualisasi yang berbeda dari kebanyakan orang. Rasanya sepi dan suram.
Bau Busuk. Melewati tiga halaman pertama saya baru menyadari bahwa cerita ini sepertinya hanya akan memiliki satu “titik”, alias cuma satu paragraf saja. Eh betulan ternyata. Unsur politis melekat di dalamnya melalui metafora-metafora yang penulis narasikan dengan lihai. Bau busuk yang timbul dari peristiwa 1965 dan disusul tanpa malu-malu oleh Orba, mengatasnamakan Tuhan dan agama untuk membenarkan setiap perbuatan mereka. Tapi percuma, sebauk apapun bau busuk itu tercipta oleh karena ulah mereka, tak akan berefek pada kita-kita yang hidungnya mampet atau bahkan terbiasa mencium bau busuk. Jadi, melupakan atau menganggap tidak ada adalah hal yang lumrah, ya?
Pengakoen Seorang Pemadat Indis. Ditulis dengan ejaan lama tak menjadikan kisah "tjandoe" dua sejoli ini susah dicerna. Justru terkesan lebih istimewa dan berwibawa (?), dengan sudut pandang si pria yang merelakan apa saja demi kesenangan istrinya, kekasihnya. Walau untuk itu ia suka tak suka harus menanggung kesedihan yang diakibatkannya. Karena seperti yang ia katakan "...saja bahagia liat ia senang, tersenjoem manis dan bitjara loetjoe. Adakah jang bisa gantiken kesenangan seroepa itoe?” Tidakkah kau terenyuh mendengarnya? Lalu tak berapa lama, dengan galau si pria melontarkan pertanyaan retoris yang mampu membuatmu meringis, “Pembatja, tahoekah bedanja seorang kekasih dan seorang perempuan girang dari roemah tjandoe? Djika kamoe doedoek berdoea dengan kekasih, pembatja, kamoe bisa peloek dan mengeloes kekasihmoe itoe, dan kamoe bakal dibales dengan peloekan dan eloesan mesra poela. Djika kamoe doedoek berdoea dengan perempuan girang, kamoe bole peloek dan mengeloesnja, tapi kamoe tida bakalan dipeloek dan apalagi dieloes. Perbedaan itoe djaoeh sekali, pembatja, dan perbedaan itoe tida tjoema menjedihken, tapi djoega menjakitken.” Mampoes kamoe dikojak-kojak tjandoe!
Overall, saya suka dengan buku kumcer ini. Dengan suka tak berarti saya suka dengan nasib sial yang menimpa karakter-karakter di dalamnya. Sungguh tidak. Kasihan malah. Hanya saja Eka Kurniawan cerdik betul menulis cerita dengan unsur realisme magis yang kental serta tema dan gaya yang macam-macam, sehingga tidak menjenuhkan dan bebas dibaca acak-acak. Oh ya, selain empat cerita di atas, yang jadi favorit saya lainnya ada “Mata Gelap”, “Caronang”, dan “Jimat Sero”. Kesan saya sama tiga cerita ini? HOROR!
Mau tau lebih banyak? Baca sendiri ya. Beli bukunya di toko-toko online kesayangan Anda!
P.S. Baca ini cucoknya sambil denger album Efek Rumah Kaca (2007). Klop bingit!
16/jun/18 -
Total ada 13 cerpen dalam antologi Cinta Tak Ada Mati versi cetakan Mei 2018 ini:
Kutukan Dapur
Lesung Pipit
Cinta Tak Ada Mati
Persekot
Surau
Mata Gelap
Ajal Sang Bayangan
Penjaga Malam
Caronang
Bau Busuk
Pengakoean Seorang Pemadat Indis
Jimat Sero
Tak Ada yang Gila di Kota Ini
Cerpen yang paling saya sukai ada dua yaitu Kutukan Dapur dan Cinta Tak Ada Mati. Sebenarnya Cinta Tak Ada Mati lebih layak disebut novela karena panjangnya 40 halaman. Novela Cinta Tak Ada Mati mengisahkan seorang lelaki yang begitu setianya mencintai wanita hingga memunculkan perasaan getir bagi saya sebagai pembaca.
Ada nama tokoh yang pernah digunakan penulis untuk nama tokoh di novelnya. Secara keseluruhan, tema ceritanya bernuansa mistis, cukup surealis. Khas Kang Eka Kurniawan. Tiap membaca cerpen maupun novel beliau, saya membayangkan setting tempatnya berada di pelosok, sangat jauh dari pusat kota dengan latar waktu yang seolah begitu lampau, begitu jadul.
Yang saya kagumi dari tulisan Kang Eka adalah ide ceritanya yang out of the box. Bisa ya, terpikir membuat cerita absurd, aneh, bahkan gila? Ada dua cerpen yang saya skip karena kegagalan saya untuk fokus membacanya, barangkali karena alur yang lambat.
Cerpen Tak Ada yang Gila di Kota Ini memberikan kesan persis seperti satu kata dalam judulnya: gila. Ditambah ending yang menyentil saya sebagai perempuan, membuat saya ingin mengumpat. Kalimat terakhir yang diucapkan Marwan benar-benar dark humor yang jahat dan menampar.
Kalau saya mengingat-ingat lagi tulisan Kang Eka yang pernah saya baca, rupanya tokoh-tokoh perempuan hanya dijadikan objek seksualitas. Sangat jauh berbeda dengan karya-karya Dan Brown dan Paulo Coelho yang menggambarkan tokoh-tokoh perempuannya sebagai sosok yang cerdas, mandiri, mampu mengaktualisasikan diri mereka dengan baik. Hehe, ya suka-sukanya penulis lah. *Siapa gue berhak membanding-bandingkan? :p
Selain ide-idenya yang di luar jangkauan saya, ending dalam cerpen-cerpen tersebut cukup nendang. Saya paling suka anti klimaks cerpen Kutukan Dapur. Hanya di cerpen itu saja perempuan ditampilkan sebagai sosok yang cerdik.
Kalau boleh jujur, saya masih lebih menyukai karya Kang Eka dalam bentuk novel dibandingkan cerpen.
Jadi, 3,3 bintang saja.