House of Glass (Buru Quartet, #4) by Max Lane


House of Glass (Buru Quartet, #4)
Title : House of Glass (Buru Quartet, #4)
Author :
Rating :
ISBN : 0140256792
ISBN-10 : 9780140256796
Language : English
Format Type : Paperback
Number of Pages : 384
Publication : First published January 1, 1988

With House Of Glass comes the final chapter of Pramoedya's epic quartet, set in the Dutch East Indies at the turn of the century. A novel of heroism, passion, and betrayal, it provides a spectacular conclusion to a series hailed as one of the great works of modern literature. At the start of House of Glass , Minke, writer and leader of the dissident movement, is now imprisoned—and the narrative has switched to Pangemanann, a former policeman, who has the task of spying and reporting on those who continue the struggle for independence. But the hunter is becoming the hunted. Pangemanann is a victim of his own conscience and has come to admire his adversaries. He must decide whether the law is to safeguard the rights of the people or to control the people. He fears the loss of his position, his family, and his self-respect. At last Pangemanann sees that his true opponents are not Minke and his followers, but rather the dynamism and energy of a society awakened.


House of Glass (Buru Quartet, #4) Reviews


  • Chaniago

    Rumah Kaca sungguh membuatku tercengang. Ohh my.. Dia bahkan bisa mengalahkan semua novel-novel kesayanganku. It'll be my top five, for sure! Berbeda dengan buku pertama, kedua, dan ketiga, buku keempat ini mengambil sudut pandang seorang arsiparis bernama Jacques Pangemanann. Pribumi yang bekerja di Algemeene Secretarie Hindia Belanda. Ia mengabadikan semua berita mengenai sasarannya, salah satunya adalah Raden Mas Minke. Dari artikel-artikel yang dikumpulkan Pangemanann, pembaca kemudian dapat mengetahui kisah perjalanan pergerakan kemerdekaan Indonesia.

    Yang lebih mengejutkan dari Rumah Kaca ini adalah ceritanya bersumber dari kisah nyata. Aku kira ini hanya fiktif yang diberi banyak bumbu dimana-mana. Buatku Rumah Kaca seperti Detektif Conan. Nama-nama tokohnya benar-benar ada dalam kenyataan dan semuanya memiliki ceritanya masing-masing. Kita, pembaca, tidak hanya diajak mengenal tokoh utama, Mas Minke, melainkan semua tokoh yang ada di dalam rangkaian Tetralogi ini. Aku dibuat penasaran oleh semua tokoh yang sungguh menarik.

    Sebagai contoh adalah Rientje de Roo. Rumah Kaca mengisahkannya sebagai pelacur cantik usia delapan belas tahun yang menawan. Ia memikat siapa saja. Namun tragis, di akhir hidupnya ia terbunuh oleh salah satu pasangannya yang cemburu buta padanya. Kisah ini benar-benar terjadi di Batavia, maksudku Jakarta, pada tanggal 17 Mei 1912. Seorang pelacur bernama Fienjte de Feniks tewas oleh seorang pria Belanda bernama Willem Frederik Gemser Brinkman. Pria ini dikenal sebagai seorang hartawan yang berstatus sebagai pegawai Gouvernement Bedrijven. Brinkman adalah pelanggan setia sang pelacur.

    Brinkman membunuh Fientje karena cemburu. Asal mula perselisihannya adalah ketika ia menggundik wanita itu dan menyuruhnya untuk tidak melacurkan diri lagi. Namun Fientje tetap melakukan profesinya. Brinkman memergokinya bersama pria lain. Ia menjadi panas hati dan pembunuhan yang terencana pun terjadi.

    Contoh lainnya adalah tokoh utama dalam Rumah Kaca. Jacques Pangemanann. Berbeda dari penggambaran di Rumah Kaca bahwa ia adalah orang yang tega menjerumuskan Minke ke Maluku, Ensiklopedi Jakarta mencatatnya sebagai seorang pribumi perintis pers Melayu dan penulis cerita dengan gaya baru (tidak tradisional). FDJ Pangemanann adalah seorang wartawan dan pengarang novel. Ia lahir pada tahun 1870 dan meninggal pada tahun 1910. Ia merupakan orang Manado yang aktif sebagai wartawan dan redaktur di Batavia dan Bandung. Pada tahun 1894-1906 ia menjadi redaktur majalah Bintang Betawi. Karyanya antara lain Tjerita Rossina (novel, 1903) dan Si Tjonat (1900). Ia kemudian bekerja di harian Perniagaan.

    Hasil karyanya sudah menggunakan bahasa Melayu, bukan Belanda atau bahasa ibunya. Pada masa itu ada dua Pangemanan yang terkenal, JH dan FDJ Pangemanann. Supaya bisa dibedakan, FDJ menulis nama marganya (dari Minahasa) dengan dobel "n", persis seperti yang diutarakan oleh Rumah Kaca. Sedangkan JH Pangemanan dikenal sebagai pemimpin redaksi koran Melayu Djawah Tengah (terbit: Semarang 1913-1938) dan pendiri sekaligus ketua Roekoen Minahasa (1912).

    FDJ Pangemanann bersama dengan R.M Tirto Adhisoerjo, atas nama pers Melayu mulai melancarkan kritik terhadap perilaku pejabat yang tidak patut sebagai upaya untuk memperbaiki keadaan sosial. Aksi ini dalam sejarah pers di Hindia telah membuka jalan bagi lahirnya pers nasional di kemudian hari. Dia juga menulis cerita-cerita bersambung dalam Bintang Betawi. Cerita pertamanya, Njerita Rossina pada mulanya diumumkan dalam surat kabar tersebut (1903). Karya lain Pangemanan bertajuk Tjerita Si Tjonat dirilis pada tahun 1900.

    Mas Marco yang dimaksud dalam Rumah Kaca adalah Marco Kartodikromo, seorang wartawan yang juga seorang aktivis kebangkitan nasional asal Hindia-Belanda di masanya. Pada awal tahun 1905 Marco bekerja sebagai juru tulis Dinas Kehutanan. Tapi tak lama. Kemudian ia pindah ke Semarang dan menjadi juru tulis kantor Pemerintah. Di sana ia belajar bahasa Belanda dari seorang Belanda. Tahun 1911, setelah pandai berbahasa Belanda ia meninggalkan Semarang dan menuju Bandung. Di Bandung ia bergabung dengan penerbitan Surat Kabar Medan Prijaji pimpinan Tirto Adhi Soeryo. Saat itu, Medan Prijaji sedang berada di puncak kegemilangan. Pada Tirto Adhi Soeryolah dia berguru. Pada tahun 1913, media pribumi dengan oplah besar itu bangkrut, diikuti dibuangnya Tirto Adhi Soeryo ke Maluku. Hal ini membuat Mas Marco pindah ke Surakarta dan mendirikan surat kabarnya sendiri, berjudul Doenia Bergerak.

    Kata Pram tentang buku-bukunya bahwa naskah-naskah itu terdapat tautan satu sama lain. Antara Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa dan Jejak Langkah di lain pihak ada keretakan. Tapi aku tak merasakannya. Mungkin karena aku belum membaca Jejak Langkah dan Anak Semua Bangsa.

    Rumah Kaca membandingkan dunia pribumi dan barat. Bahkan dalam hal mengelola alam. Kata Pram, pandangan dunia pribumi dengan Eropa adalah perbedaan dasar yang tak terjembatani. Eropa memandang alam sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya dan hendak ditaklukannya. Sementara pribumi, urai Pram, memandang dirinya bagian dari alam. Eropa hendak menaklukkan alam. Pribumi hendak menyesuaikan diri sehingga menjadi satu keserasian dengan alam.

    Di novel ini pula aku merasakan semangat luar biasa dari perubahan. Aku tak habis pikir mengapa pula tetralogi novel ini dilarang beredar? Sepanjang pembacaanku tak ada upaya yang dilakukan penulis untuk menghasut masyarakat atau menentang pemerintah. Sangat disayangkan bila akhirnya roman ini mengendap bertahun-tahun tanpa pernah diketahui publik. Sejarah ternyata memang mudah ditaklukkan oleh penguasa. Tapi aku yakin, cepat atau lambat sejarah akan membuka sendiri cerita yang sebenar-benarnya.

    Deposuit Potentes de Sede et Exalvatat Humiles.
    (Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa dan Naikkan Mereka Yang Terhina)

    sumber tokoh-tokoh dalam novel: wikipedia.org

  • Anna S.

    Salut kepada Pram, bisa-bisanya dia berlagak seperti seorang Eropa dengan yakinnya, memberikan narasi mengenai intrik seputar kolonialisme dari sudut pandang orang dalam (yang telah terlanjur kupercayai walaupun belum tentu valid), sekaligus menjadi seorang Pribumi yang tak ada bandingannya dalam mengerti karakteristik bangsanya. Benar-benar dia adalah harta pusaka bangsa ini, semoga bukunya dibaca hingga ke generasi-generasi yang akan datang; mengingat hidup yang lebih terarah bila kita mengerti latar belakang permasalahan.

    Di bawah ini kutipan yang sungguh tidak boleh terlupakan:

    Menjadi perabot kekuasaan seperti ini, makin ke atas makin besar mulut, kuping hilang; makin ke bawah makin besar kuping, mulut hilang"
    --
    "Kalau setinggi itu puji-pujian Tuan pada Jawa, mengapa dia bisa dikalahkan oleh Eropa?"
    "Pertama-tama karena bangsa ini mempunyai watak selalu mencari-cari kesamaan, keselarasan, melupakan perbedaan untuk menghindari bentrokan sosial. Dia tunduk dan taat pada ini, sampai kadang tak ada batasnya. Akhirnya dalam perkembangannya yang sering, ia terjatuh pada satu kompromi ke kompromi lain dan kehilangan prinsip-prinsip. Ia lebih suka penyesuaian daripada cekcok urusan prinsip."
    --
    "Ia pernah mengatakan pada salah seorang temannya: orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan menghilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."
    --
    "Betapa bedanya bangsa-bangsa Hindia ini dari bangsa Eropa. Di Eropa setiap orang yang memberikan sesuatu yang baru pada umat manusia dengan sendirinya mendapat tempat yang selayaknya di dunia dan di sejarahnya. Di Hindia, nampaknya setiap orang takut tak mendapat tempat dan berebutan untuk menguasainya.
    --


    Pada jaman Soeharto dahulu, akibat dari kediktatorannya adalah pembungkaman terhadap naskah-naskah sejarah juga terhadap suara-suara sumir yang gerah akan ketidakadilan dimana-mana. Juga, akibat dari kediktatorannya itu adalah masyarakat yang tertib disiplin walaupun itu bukan perilaku dari pikiran yang sadar, karenanya Indonesia bisa sampai pada prestasi yang gilang gemilang diantara sesama Asia, hingga timbullah nama Indonesia sebagai macan Asia.

    Naskah Pram banyak yang diberangus semasa Soeharto. Pada sekolah formal di jaman itu, organisasi seperti Serikat Islam dan Boedi Moeljo hanya dipaparkan sesingkat-singkatnya. Pertanyaan dalam ulangan pun lebih tidak penting lagi, hanya menanyakan kapan didirikan dan siapa tokohnya. Merupakan hadiah tersendiri bagi demokrasi, kini naskahnya sudah bisa dibaca dengan bebas walaupun kurang diperhatikan.Orang banyak lebih senang beradu mulut mengenai kasus yang apabila diambil perbandingannya dengan apa yang dikisahkan dalam buku ini, seperti remeh temeh saja.

    Kebebasan yang telah dirintis pada masa proklamasi hilang tergerus orba, kini orba telah hilang namun semangat itu belum bisa kembali karena bangsa terlena oleh kebisaannya yang baru didapat setelah tiran runtuh: berbicara. Sampai sulit negara maju barang selangkah karena terlampau banyak orang memberi kritik, yang entah karena memang dalam pengetahuannya ataupun karena sirik hatinya. Dalam pengukurannya, bukan tidak mungkin kemajuan Pribumi berlogika sejak jaman dulu sangat sedikit, tapi bisa dibilang minus. Sayang sekali orang kurang berminat membaca sejarah, hanya dengan pikiran yang penuh orang bisa mengeluarkan kata yang baik dan bijak.

    Walaupun begitu baik semuanya, tetap saja seperti penyakit seperti pada penulis Indonesia lain, Pram mendewakan tokoh utama berlebihan :(

  • Michiyo 'jia' Fujiwara

    Selesai sudah..

    Sudah selesai semua petualangan para manusia dan bumi-nya, atas persaudaraan dan kesamaan nasib anak semua bangsa yang tak mau lagi terbelenggu oleh kolonialisme dan keinginan untuk memerdekan diri sendiri dan untuk setiap tindakan yang mereka lakukan, akan menciptakan jejak langkah bagi generasi mereka dan generasi sesudah mereka..

    Minke..

    Ia pergi dalam kesepian—ia yang sudah dilupakan, dilupakan sudah dalam hidupnya. Ia seorang pemimpin yang dilupakan oleh pengikutnya. Ini hanya terjadi di Hindia, di mana tulang belulang pun dengan cepat dihancurkan oleh kelembapan. Bagaimanapun masih baik dan masih beruntung pemimpin yang dilupakan oleh pengikut daripada seorang penipu yang jadi pemimpin yang berhasil mendapatkan banyak pengikut.

    Ubah sudut pandangmu..dan nikmatilah sudut pandang baru ini..bukan lagi dari sudut pandang Minke..tokoh yang kita telah kenal sebelumnya..tapi dari seorang Jacques Pangemanann.. tokoh yang kuanggap tidak penting..sampai-sampai aku tidak mencantumkan nama-nya pada Jejak langkah..

    Ia pengawas ketat bangsa-nya sendiri demi keselamatan dan kelangsungan hidup Gubermen. Semua pribumi-telah ditempatkannya dalam sebuah rumah kaca dan diletakkan dalam meja kerjanya. Segalanya menjadi jelas terlihat. Itulah pekerjaannya-mengawasi semua gerak-gerik seisi rumah kaca itu.

    Maka bila ia berhasil menyelesaikan tulisan ini, dan sampai pada tangan kalian, hendaklah pada catatannya ini kalian beri judul Rumah Kaca..

    Tapi yang terjadi..

    Rasa penyesalan dan duka telah memenuhi hati nuraninya..diakhir perjalanan hidupnya, walaupun belum selesai catatannya mengenai Rumah Kaca..paling tidak ia telah berikan;

    Kepada Madame Sanikem Le Boucq

    ..cukuplah semua tertera dalam berkas catatanku Rumah Kaca ini, yang dengan rela kupersembahkan kepadamu. Madamlah hakimku. Hukuman aku terima Madame.

    Bersama ini aku serahkan juga padamu naskah-naskah yang memang menjadi hakmu , tulisan R.M Minke, anakmu terkasih. Terserah bagaimana Madame menggunakan dan merawatnya.

    Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humile--Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa dan Naikkan Mereka yang Hina

    Adieu Buru..

  • Jed L

    I generally do not read about the topics books are about until after I have finished the book. And it was the same with this quartet. Only after did I read more about Toer, Indonesia, and Tirto Adhi Soerjo (the political figure whom Toer uses as a basis for his main character, Minke). Once I learned more about this man and his work in Indonesia and also saw that so much of it was the same as Minke in the novel I began to understand why Toer did not use Minke as a character in this last book. Instead, he writes from the perspective of a government official, also a native, who works to bring down the political progress Minke strove so hard to achieve in the previous three books. From this perspective, this police officer has great respect for Minke, but care more about his honor, his glory and his position in the colonial culture that he has immersed himself. From this we are able to take away what I think Toer's main point is: that the works of Tirto Adhi Soerjo (Minke) were great, they caused immense change, but they were quickly forgotten and destroyed by the very natives he was trying to help. This book shows how hard it was for Indonesia to begin to move away from colonial power. It was partially difficult because so many natives (especially ones that had some wealth and power) were resistant to anything that would put their wealth and power and prestige in jeopardy, despite the fact that it could be taken away at any time. And in the end, the police officer; Jacques eventually learned this and that is where his journey and the quartet's journey ends.

    The last book of the Buru Quartet was not a disappointment, but because it left one of my favorite characters of literature-Minke-I did not enjoy it nearly as much. But it still remains a wonderful book. Toer is an amazing writer and while I have mentioned this in previous reviews knowing that this quartet was orally spoken in a political prison camp before being written down and published adds to its richness and soul.

  • Ahmad

    Jika karya ini danggap New york Times sebagai yang paling ambisius, saya sepakat. Pram membuktikan dirinya benar-benar patut menjadi nominee nobel sastra. Ia seolah membungkam semua fakta yang selama ini dipercaya sebagai sejarah dengan sangat apik.

    Dibandingkan tiga karya terdahulunya, karya ini memang lebih melelahkan. Bahkan, saya sampai berkata, "Akhirnya, selesai juga..." Ia berlompatan mengulang semua cerita dari sudut pandang dan daya cerna pikir yang berbeda. Pada akhirnya, "Rumah Kaca" bagi saya adalah catatan penting yang laik jadi pengajaran sastra anak-anak muda. Ya, anak-anak muda yang telah kehilangan gairah kepada negerinya sendiri, ditinggal mati oleh idealisme, dan takluk pada pargmatisme.

  • F.E. Beyer

    This is my favourite novel in this excellent quartet. Pangemanann is a native policeman, working for the Dutch colonial government. He has the job of monitoring Indonesian nationalist Minke’s activities.

    At the end of the third book, Minke gets banished to Ambon in the Maluku Archipelago and exits the scene and so Pangemanann takes over from him as narrator for the fourth book, 'House of Glass'. Pangemanann gets promoted to be a colonial official in charge of studying and controlling the subversive movements that Minke led and still inspires. Pangemanann, an educated, intelligent man, struggles with his task. He secretly admires Minke and feels sympathy for the cause of his fellow Indonesians (although this term did not yet exist). However, he justifies his mission to destroy Minke’s work: he wants to get his pension and to continue to provide for his French wife and Indo children.

    Pangemanann's internal conflicts pull him apart, he turns to drink and his wife leaves him. He falls into the arms of a prostitute, becomes ill, but still continues with his duties. Why? Maybe he’s a workaholic, or he knows it can be no other way. I prayed for the author to let him come to a moral decision, to give up his work before it was too late - but I knew it wasn’t going to be.

    I found Pangemanann to be a more interesting narrator than the heroic Minke who (in the earlier novels) marries a beautiful half Dutch, half Javanese woman who dies, then marries a beautiful Chinese revolutionary, who also dies. Both of these deaths he manages to get over. Then Minke gets engaged to a French Indo girl of seventeen. Things don't work out, but no matter, he moves on to marry a beautiful princess from Maluku. The guy attracts every beautiful woman who graces the pages of the tetralogy! Rejection doesn’t come into it. Who can sympathize with such a character?

    I really thought Pramoedya's writing detailing the mental anguish of (the evil) Pangemanann brilliant. I imagine it is rare that in a quartet of novels the last one is the best? I haven't got through many. Yukio Mishima's 'Sea of Tranquillity' comes to mind as a much-vaunted quartet - but I didn't get past book two. I'm so glad a pushed through to the end of the 'Buru Quartet.'

  • Sadam Faisal

    Minke :( *nangis dipojokan

  • Zaki Setiawan

    Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles
    (Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa dan Naikkan Mereka Yang Terhina) (hal : 646)
    Karya Eyang Pram yang ini sungguh “melewati batas zaman”. Kita yang disuguhi cerita tentang Minke pada tetralogi sebelumnya ( Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa dan Jejak Langkah) kemudian diakhiri dengan pembuangan Minke ke tanah Maluku. Tahap Penangkap sampai dengan Pembuangan Minke dipimpin langsung seorang Komisaris Besar Polisi Hindia berdarah Ambon yaitu Jacques Pangemanann.
    Rumah Kaca sebagai bagian akhir dari tetralogi ternyata tidak bercerita tentang Minke lagi namun tentang Jacques Pangemanann. Polisi yang menangkap dan membuangnya ke Maluku. Jacques Pangemanann adalah pribumi asli dari Manado yang diangkat anak seorang apoteker berkebangsaan prancis maka dia mempunyai menyandang nama Jacques.
    Jacques Pangemanann diceritakan setelah membuang Minke kemudian pensiun dari dinas Kepolisian. Masa Pensiun bukan diisi bersantai dengan keluarga namun diangkat sebagai staf ahli Algemene Secretarie. Staf Ahli yang menangani operasi khusus untuk menghambat pergerakan organisasi pribumi.
    Kisah Spionase di awal abad 20, Eyang Pram menceritakan bagaimana cara Pangemanann menghambat Organisasi Pribumi baik dengan cara paling halus sampai dengan cara yang paling licik. Novel ini sangat terasa paling berat diantara tetralogi tersebut. Operasi Intelijen dengan riset , menganalis, diskusi dan eksekusi di lapangan.
    Operasi Intelijen semacam ini yang kerap dilakukan dinasa intelijen manapun. Pemerintah yang menciptakan terror di masyarakat agar tercipta kondisi yang diinginkan. Ini model-model operasi intelijen modern. Sungguh ini kepiawaian Eyang Pram dalam meramu cerita.
    Karena jalan ceritanya sebagian berisi diskusi, analisa dan kesimpulan yang dibuat oleh Pangemanann. Eyang Pram ingin menyampaikan gagasan mengenai negeri kita ( Indonesia ) melalui tokoh Pangemanann. Pemikiran, Analisa, Pendapat dan tindakan si Pangemanan adalah tidak lain opini dari Eyang Pram itu sendiri terhadap Indonesia.
    Indonesia telah merdeka secara resmi dan syah. Eyang Pram menceritakan bahwa kemerdekaan itu baru sebatas ragawi bukan sampai dengan jiwa manusia Indonesia. Karena eyang Pram menilai bahwa jiwa bangsa Indonesia sama sekali tak berubah sejak zaman Belanda datang ke Indonesia pertama kali sampai saat ini.
    Manusia yang kompromistis, penyuka keselarasan dan tidak berprinsip. Coba anda baca bagian 3 yang berisi diskusi Pangemanann dengan Tuan L mengenai orang jawa dan kejawen. Terlihat jelas pemikiran Eyang Pram namun tersamar dengan nama Pangemanann.

    “Pertama-tama karena bangsa ini mempunyai watak mencari kesamaan, keselarasan, melupakan perbedaan, untuk menghindari bentrokan sosial. Dia tunduk dan patuh pada ini sampai kadang tak ada batas . Akhirnya dalam perkembangan nya yang sering, ia terjatuh pada satu kompromi ke kompromi lain dan kehilangan prinsip-prinsip. Ia lebih suka penyeseuaian daripada cekcok urusan prinsip” (hal : 125)

    “Orang Eropa lebih kecil jumlahnya , tapi menang karena prinsip” ( hal : 128)

    Inilah ketajaman mata hati Eyang Pram. Beliau mampu meneropong tentang manusia Indonesia secara sosiologis maupum antropologis. Beliau tuangkan dalam bentuk novel bukan karya ilmiah yang kadang terasa membosankan.
    Analisa Eyang Pram ini masih sangat up-to-date sampai saat ini. Jacques Pangemanann adalah gambaran manusia pribumi dari dahulu sampai dengan saat ini. Pangemanann setelah mengantar Minke ke Ambon kemudian meningggalkan surat kepadanya. Minke adalah sahabat dan guru bagi seorang pangemanann.
    Minke adalah orang yang terhormat dalam kekalahannya. Pangemanann adalah seorang hamba Gubermen secara pribadi tidak ikut campur dalam menentukan pembuangan Minke ke Maluku

    Pada akhir catatanku sendiri aku tulis :”Hamba Gubermen ! Orang yang selalu bertanggungjawab dan merasa bertanggungjawab kepada Gubermen, tak pernah bertanggungjawab sendiri kecuali demi keselamatan dan kesenangan hidupnya (hal : 132)


    Pangemanann diceritakan mengalami dilemma karena harus menghancurkan bangsanya sendiri. Pangemanann tak sanggup menolak pekerjaan “kotor” ini karena tuntunan duniawi mengalahkan idealisme dia sebagai seorang terpelajar lulusan Universitas Sorbonne yang termasyhur.
    Eyang Pram menggambarkan orang Indonesia dengan begitu pas. Manusia yang sangat complicated. Manusia yang berhasrat atas kedudukan dan kenyamanan yang sering bertentangan dengan nuraninya sendiri namun terus dijalani.
    Indonesia tidak bergerak maju bukan karena manusia Indonesia yang bodoh. Manusia Indonesia adalah manusia yang pintar dan cerdik. Indonesia tidak maju karena mental yang rapuh. Mental penikmat dan takut akan resiko dari memegang prinsip hidup dan selalu mengandalkan kompromi yang mesti merugikan salah satu pihak. Alih-alih bangsa lain, yang mereka rugikan adalah bangsanya sendiri . Ini tercermin dari si Pangemanann.
    Sejarah mempunyai versinya masing-masing tergantung rezim mana yang berkuasa. Eyang Pram juga memiliki versinya sendiri dari Sejarah Bangsa Indonesia. Syarekat Dagang Islam menurut versi Eyang Pram didirikan oleh Raden Tirto Adi Sudiro atau Minke. Kemudian baru diserahkan ke Tuan Samadi yaitu tak lain H. Samanhudi
    Padahal, Pendirian SDI menurut versi pemerintah tercantum di mata pelajaran Sejarah mulai dari SD – SMA. SDI didirikan di Surakarta oleh H. Samanhudi di Surakarta. Itu juga yang diakui oleh Pemerintah . Versi Eyang Pram, SDI didirikan di Buitenzorg kemudian baru dipindahkan ke Solo. Maka, Eyang Pra sangat berhati-hati dalam penulisan tahun dalam novel-nya.
    Kecenderungan Eyang Pram terhadap tokoh berhaluan kiri menonjol dalam “Rumah Kaca” ini. Eyang Pram sering memuji-muji tokoh misal : Sneevlit, Marco dan Semaoen. Mereka adalah tokoh berhaluan kiri embrio dari Paham Komunis di Indonesia.
    Sneevlit adalah pendiri ISDV, cikal bakal Partai Komunis di Indonesia. Pangemanann menyatakan bahwa Sneevlit lebih progresif daripada Boedi Moeljo atau Syarikat Islam. Sneevlit dkk lebih berbahaya karena memakai sebuah aliran filsafat baru ( Komunis????) yang belum dipahami sepenuhnya oleh Pangemanann.

    Mereka adalah dari Golongan nihilis yang terkutuk. Mereka memang mampu mengekspresikan serta berpikir sangat logis dan membikin orang tersudut tak berdaya. Jelas, mereka berasal dari suatu aliran filsafat baru yang belum kukenal selama ini. Atau lebih tepat pernah kukenal tetapi telah kulupakan ( hal : 388)

    Marco adalah nama lain dari Markodikromo. Dia adalah tokoh sayap kiri dari Syarikat Islam yang berhaluan sosialis. Marco banyak bergerak di daerah vorstlanden ( Surakarta, Yogyakarta dan Semarang). Tokoh ini adalah didikan Minke yang sangat militant.
    Semaoen adalah tokoh yang masuk ke dalam “Rumah Kaca “ si Pangemanannn. Dia adalah tokoh muda progresif. Semaoen adalah tokoh VSTP ( Serikat Buruh Kereta Api) yang selalu menggelorakan perlawanan terhadap Gubermen. Pada akhirnya bersama Alimin dan Darsono, Semaoen mendirikan Syarikat Islam Merah ( SI Merah) yang berhaluan komunis.
    Indsiche Partij adalah partai pertama yang dibentuk di bumi Hindia ini. Pendirinya adalah Douwager alias Douwes Dekke, Wardi alias Suwardi Suryaningrat dan Tjipto alias dr Tjipto Mangunkusumo. Ketiga-tiganya atau D-W-T adalah manusia tanpa pengikut. Mereka pemberani, pintar namun tidak memiliki pengikut. Paling tidak begitu menurut Pangemanann.
    Lebih mengenaskan lagi yaitu Boedi Moeljo. Nama samaran dari Boedi Oetomo. Pemimpinnya sudah menjadi dokter Rumah Sakit Zending di Blora Jawatengah. Boedi Moeljo hanya mendirikan sekolah yang menghasilkan Priyayi yang akan selalu setia kepada Gubermen.
    Syarikat Islam dipimpin oleh Mas Tjokro. Seorang “Kaisar Tanpa Mahkota”. Dia menjadi pimpinan SI bukan karena dipilih pengikutnya. Karena ketakutan H Samadi atau H Samanhudi kepada Gubermen. Pangemanann yang semakin gencar memberangus musuh Gubermen mengakibatkan H Samadi ketakutan dan harus menyerahkan ke Mas Tjokro. Mas Tjokro adalah nama lain dari HOS Cokroaminoto.
    Mas Tjokro tidak mempunyai pengikut yang riil seperti Minke. Mas Tjokro berkeliling Jawa tidak untuk mengunjungi pengikut-pengikutnya namun ke pesantren-pesantren. Mas Tjokro mendapat fasilitas mobil dari Syarikat Islam berbeda dengan Minke yang pejuang militan. Padahal, Mas Tjokro adalah mentor Presiden Soekarno yang akan memimpin kemerdekaan Indonesia.
    Eyang Pram lebih menonjolkan tokoh-tokoh dari haluan kiri. Infiltrasi ajaran komunis dalam novel ini memang tidak bisa dibuktikan. Simpati eyang pram kepada tokoh-tokoh haluan kiri lebih kentara. Padahal Republik ini dibangun oleh seluruh rakyat Indonesia baik haluan kiri, kanan maupun tengah.
    Namun, hal itu adalah wajar dan syah. Penulis boleh memasukkan apa saja yang dikehendaki. Karena setiap penulis mempunyai misi masing-masing. Sebagaimana Hamka yang mempunyai misi Islam-nya. Hal yang saya sampaikan diatas tidak mengurangi kehebatan “Rumah Kaca”. “ Rumah Kaca” selangkah lebih maju dari zaman dilihat dari alur cerita, intrik yang dibangun dan layak menjadi kandidat Nobel.
    Hehehehehe…….!!!! Pemerintah Orde Baru melarang peredaran Novel Bumi Manusia. Sebenarnya kurang pas.Karena kalau mau melarang ya si “Rumah Kaca” ini. Karena Eyang Pram mulai memasukkan ide, pemikiran dan saran pribadinya di “Rumah Kaca”. Apalah artinya? Era sudah berubah menjadi era keterbukaan.
    Saya mendapat Novel ini juga secara online. Saya beli dari Palasarionline.com. Penerbitnya saja “Lentera Dipantara” bukan “Hasta Mitra”. Semua sudah terbuka

    www.kisi-kisi-hati.blogspot.com

  • Galuh Haris Septyana

    Nangis baca buku ini. Ini menutup segala cerita Minke. Sempat kasian dan muak secara bersamaan dengan sifat Pangemanann, tapi mencerahkan. Buku ini memotivasi agar tidak takut mengambil resiko dan memulai sesuatu yang sangat baru, sesuatu yang asing juga menjadi berbeda dari orang kebanyakan. Inisiator itu perlu adanya karena sejatinya manusia memang harus jadi 'pemula'. Semoga kisah TAS ini lebih banyak diungkap sama sejarahwan ya.

  • Lisna Atmadiardjo

    Memerlukan waktu untuk menyelesaikan novel setebal 600+ halaman ini. Di awal agak capek bacanya, menjadikan tokoh antagonis sebagai narator jadi menunjukkan 'alasan-alasan' kenapa dia melakukan yg dia lakukan seolah dia tidak punya pilihan. Saya hanyut dalam emosi betapa menyebalkannya si narator ini.

    Buku ini ditutup dengan 16 halaman yang begitu memilukan. Sakit hatinya sama persis dengan akhir dari kisah Bumi Manusia. Hormat saya bagi perempuan-perempuan Pribumi yang pada masa itu telah berjuang, kehilangan terlalu banyak, tapi masih bertahan.

  • Galih

    Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles
    Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa dan Naikkan Mereka yang Terhina

    Itulah kalimat yang menjadi penutup Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Sebuah tetralogi yang membuat saya marah-marah karena para tokoh dalam buku ini berakhir mengenaskan dan tidak mendapatkan keadilan yang pantas. Mereka hilang dalam kehinaan dan tanpa diketahui siapapun.

    Rasanya tepat sekali kalimat itu digunakan sebagai penutup Tetralogi Buru karena buku-buku tersebut jika dilihat secara garis besar tidak hanya bercerita bagaimana kehidupan Minke dan tokoh-tokoh lainnya, tetapi menceritakan bagaimana kekuasaan (power) berhubungan dengan kehidupan. Mulai dari kehidupan Gubernur Jenderal sampai seorang petani tebu.

    Kekuasaan (Power) dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk merubah suatu hal atau pilihan yang dapat dilakukan oleh seseorang—baik menambah pilihan atau mengurangi pilihan yang tersedia atau cara memengaruhi atau merubah . Sebagai contoh, dalam tetralogi Buru, pemilik pabrik tebu berusaha untuk mengurangi pilihan yang dapat dilakukan oleh seorang petani dengan cara melakukan intimidasi agar satu-satunya pilihan yang dapat dilakukan adalah menjual lahannya kepada pemilik pabrik tebu.

    Kekuasaan benar-benar dianggap sebagai sesuatu yang jahat di dalam Tetralogi Buru. Mengamini ucapan Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.". Semua pemeran “jahat” yang ada dalam buku ini selalu digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kekuasaan dan menjadi korup karena kekuasaannya. Ada beberapa tokoh yang ternyata lebih memilih kekuasaan daripada keluarga atau harga dirinya sendiri. Seperti bagaimana orang tua Nyai Ontosoroh memberikan Nyai Ontosoroh kepada kepala pabrik gula supaya dijadikan gundik dan orang tuanya tetap menjadi mndor di pabrik gula. Atau para bupati yang mengorbankan anaknya supaya ia masih tetap menjadi seorang bupati. Karena kekuasaan juga satu desa yang terkena wabah diabaikan sampai mereka meninggal tanpa mendapatkan perawatan yang pantas sebelum desa mereka diratakan dengan cara dibakar.


    Namun ternyata dibalik kejahatan mereka, sebenarnya mereka juga adalah korban dari kekuasaan yang lebih tinggi daripada mereka. Semacam ada rantai penindasan yang terjadi dari puncak kekuasaan. Pangemanann misalnya, dengan kekuasaannya sebagai pejabat tinggi, dia masih saja dikalahkan oleh para penguasa yang ada di atasnya. Kekuasaan menjadi tangan jahat yang tak terlihat yang akhirnya membunuh Minke dan membuat Pangemanann serasa kehilangan dirinya—kewarasan dan harga dirinya.

  • Missy J

    *3.5

    I finally finished reading the Buru Quartet. My aim was to find out more about the history of Indonesia. And these books were helpful. Honestly, I didn't enjoy "House of Glass" and
    Footsteps as much as
    This Earth of Mankind and
    Child of All Nations. The latter books really caught my attention and made me want to read more. I didn't like Pangemannan and the adult Minke because I had difficulties understanding them and the political conversations. Especially Pangemannan is full of hatred and disgust, even for himself. Though the "House of Glass" did start off well and I loved the conversations with Meneer L-. But after awhile Pangemannan only complains and criticizes. I didn't find any joy reading the book anymore.

  • Karmen

    It was a bittersweet pleasure to read and now finish the Buru Quartet.

    Raden Mas Minke is now in exile. The House of Glass is told from the person responsible for it - policeman Tuan Pangemann. It is a great counterpart to the earlier trilogy written in Minke's voice. It presents the colonial view.

    Pangemann writes of his qualifications and demonstrates an excellent understanding of his culture. Unfortunately, he does not realize who he is and the damage his reports are responsible for. Even as he admires and respects Minke, he is responsible for undermining the development of his own people and Indonesia to the benefit of all others, the Europeans and Chinese.

    Such people are responsible for the power of Europeans and Chinese even today. Very little of the history and culture is available to its people and visitors.

  • Andrew

    The rather dark but also satisfying conclusion to Toer's tetralogy, told not from Minke's point of view, but from a native police officer who has bought in to the colonial system, and whose life intersects with Minke's, again and again and again. One comes to the conclusion that Toer intended this to show the eventual selling out of revolutionary values by the bourgeoisie as the curse of Indonesia, which makes sense, given the fact that he was trapped on a prison island when he wrote the damn thing. But really, it's the only way the quartet could end. Anything else would have been national-romantic schmaltz. Toer, genius that he was, was only interested in the real deal.

    It's hard for me to over-emphasize Toer's importance. For the love of the God I don't believe in, everybody, read his books. They're a voice from another time that is as urgent as ever.

  • Mindy McAdams

    This book provides a great conclusion to the Buru Quartet -- four novels about the Indies (now Indonesia) under Dutch colonial rule at the start of the 20th century. In this, the fourth book, World War I begins, and the changes that had just started to happen in books 2 and 3 are now gaining momentum. It's hard to say too much without giving too much away ... but if you start to lose heart and feel sad before you reach the ending, please stay with it. I was very glad I had done so.


    http://inidisini.wordpress.com/2011/0...

  • Rei

    “Buku ini memperlihatkan bagaimana kegiatan arsip menjadi salah satu kegiatan politik paling menakutkan bagi aktivis pergerakan kemerdekaan yang tergabung dalam pelbagai organisasi. Arsip adalah mata radar Hindia yang ditaruh di mana-mana untuk merekam apa pun yang digiatkan aktivis pergerakan itu. Pram dengan cerdas mengistilahkan politik arsip itu sebagai kegiatan pe-rumahkaca-an.” -Pengantar, hal x.

    Minke semakin aktif berjuang demi nasionalisme. Tulisan-tulisannya di Medan semakin pedas, sementara organisasi Sjarekat Dagang Islam anggotanya terus bertambah hingga ratusan ribu. Gerakannya yang paling radikal: memboikot sindikat pabrik gula, membuat gerah Gubernur Jenderal Idenburg.

    Tanpa disadari Minke, semua kegiatannya itu tersimpan dalam bentuk arsip yang rapi, dipegang oleh seorang pejabat archivaris pemerintah Belanda, Jacques Pangemanann (dengan dua n, mind you). Kejayaan Pangemanann bermula saat ia menumpas gerombolan Si Pitung yang kerap merampoki rumah-rumah orang kaya Belanda di Betawi. Baru setelah Si Pitung berhasil ditaklukkan, Pangemanann menyadari, bahwa yang dilakukan Si Pitung hanyalah membela kaum pribumi yang tertindas.

    Batin Pangemanann semakin tercabik saat ia mulai mengumpulkan arsip tentang Minke. Aktivitas Minke membuatnya sangat mengagumi sosok Sang Pemula, bahkan memujanya sebagai guru spiritual. Namun di sisi lain, ia sebagai seorang pribumi yang berhasil mendapatkan jabatan bergengsi di pemerintahan, tidak berani melawan. Terutama karena ia memiliki istri dan anak-anak yang sedang belajar di Belanda, yang masih memerlukan nafkah darinya.

    Sekarang setelah Minke dibuang ke Ambon, berbagai organisasi bermunculan bagaikan jamur di musim hujan, termasuk Indische Partij yang didirikan oleh teman-teman Minke. Wardi (Suwardi Suryaningrat alias Ki Hadjar Dewantara), Douwager (E.F.E Douwes Dekker), dan Tjipto (dr. Tjipto Mangoenkoesoemo) berusaha menetralkan bentrokan antara golongan Indo dengan pribumi. Pangemanann terguncang untuk kedua kali saat begitu saja, Tiga Serangkai tersebut diasingkan oleh Gubermen dan Indische Partij dibubarkan. Ada lagi Siti Soendari, seorang gadis muda yang aktif menulis di surat kabar dan juga berorganisasi, kritikan-kritikannya terlontar tajam untuk pemerintah, yang berakibat ayahnya diancam untuk mencarikan jodoh bagi putrinya yang pemberontak itu. Juga Marko (Mas Marco Kartodikromo), pegawai redaksi Medan bawahan Minke, yang juga mulai menerbitkan tulisan-tulisannya. Mereka semua masuk ke dalam Rumah Kaca Pangemanann, semua berelasi dengan Minke, membuat Pangemanann semakin kagum akan sosok Sang Pemula, namun lagi-lagi, terpaksa mematuhi pemerintah kolonial demi keselamatan diri dan keluarganya.

    Kepiawaian Pram dalam menulis memang tak perlu diragukan lagi. Ia menulis tentang pergolakan batin Pangemanann dengan memikat; bagiku sangat mengguncangkan sekaligus berkesan. Pangemanann melakukan pekerjaannya dengan kesadaran penuh, bahwa ia tak lain hanya budak kolonialisme yang menumpas sepak terjang bangsanya sendiri, bangsa yang mulai bangkit dan melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan. Pram juga menulis tentang politik arsip dengan rapi dan terperinci. Sejujurnya, membaca empat buku Tetralogi Buru membuatku memahami sejarah lebih baik dibandingkan dengan belajar sejarah selama dua belas tahun di bangku sekolah.

    “Dia (Minke) seorang terpelajar pribumi yang hanya terlalu mencintai bangsa dan tanah airnya Hindia, mencoba memajukan bangsanya, dan berusaha keadilan ditegakkan di dalam masa hidupnya, untuk bangsanya di atas bumi Hindia, untuk segala bangsa di atas bumi manusia ini.” – hal 10.

    “Apakah yang tidak busuk dalam kehidupan kolonial? Semua ikan besar busuk mengelompok jadi pelaksana kekuasaan. Semua ikan kecil busuk bertebaran dalam kehidupan dan ikut membusukinya.” -hal 70.

    “Bangsa Eropa kolonial punya dalih, segala yang diperbuat ras putih terhadap bangsa jajahan, lebih baik daripada perbuatan pembesar-pembesar bangsa jajahan itu sendiri. Apapun yang diperbuat ras putih terhadap bangsa-bangsa jajahan digerakkan oleh panggilan suci untuk mengadabkan mereka. Betapa hebat panggilan suci ini. suatu ketika dia jadi panji-panji untuk membenarkan segala perbuatan, pada ketika lain dia sekaligus jadi obat bius yang membikin gagu hati nurani.” -hal 98.

    “’Tulisan-tulisan mereka (bangsa Jawa) dalam seratus tahun belakangan ini hanya pikiran dari bangsa kalah yang tak tahu membebaskan diri dari kekalahannya. Tak ada yang mengajak mereka untuk belajar pada Eropa, malah mengajak untuk mengabdi pada Eropa, atau sama sekali pura-pura tidak tahu, bahwa Eropa telah mencengkeram kehidupannya.’” -hal 144.

    “’Sekarang sudah mulai ada Pribumi yang mulai belajar ilmu-ilmu dari Eropa.’
    ‘Aku kira hanya otaknya yang berkembang, tapi mental dia tetap Jawa dengan beban kekalahan selama tiga ratus tahun. Kecil hati, penakut, rendah hati, atau kelebihan kompensasi dari segalanya.’” -hal 144-145.

    “…apa yang ada dalam kenyataan hanya yang kuatlah yang berhak menentukan hidup dan segalanya. Bahwa yang kuat yang berhak menentukan mana benar dan mana salah, mana yang adil dan mana yang lalim, mana yang baik dan mana yang buruk. Siapa kuat, dia boleh lakukan segala-galanya sampai datang yang lebih kuat membatasi geraknya atau melindasnya sama sekali. Makan kehidupan kolonial bukanlah kehidupan Eropa demokratis. Kehidupan kolonial hanya harus mengabdi pada yang kuat dan lebih kuat, yakni kekuasaan kolonial itu sendiri.” -hal 188.

    “Eropa memandang alam sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya dan hendak ditaklukannya. Pribumi memandang dirinya sebagai bagian dari alam. Eropa hendak menaklukkan alam. Pribumi hendak menyesuaikan diri sehingga menjadi satu keserasian dengan alam.” -hal 319

    “Menurut Tuan L, adat menghidangkan wanita pada bangsa Jawa dari golongan atas berasal dari zaman-zaman terdahulu. Dan sekarang, semakin pembesar pribumi itu tidak becus dan korup, semakin megah wanita-wanita yang dihidangkan pada atasannya.” -hal 371.

    “….itulah kalau perempuan terlalu tinggi sekolah, semakin pandai semakin jadi tupai.” -hal 406.

    “…kalau soalnya tentang pengemis, jumlah mereka akan semakin lama semakin besar, karena pengemis tetap pengemis, keluarga pengemis akan membiakkan keluarga pengemis yang lain, dan pengemis takkan bermutasi jadi bukan pengemis.” -hal 539.

    “’Berapakah yang bisa disumbangkan oleh seorang individu sebagai ahli hukum pada perbendaharaan hukum umat manusia? Kalau ahli hukum tak merasa tersinggung karena pelanggaran hukum sebaiknya dia jadi tukang sapu jalanan.’” -hal 584.

  • Aida

    Satu tahun penuh mengikuti kisah perjalanan Minke, akhirnya hari ini resmi tamat dengan perasaan sesak mengenang ceritanya tapi juga puas telah membaca semuanya.

    Tiap-tiap buku dari tetralogi ini membekaskan kesan masing-masing. Untuk buku keempat memang agak berbeda, sudut pandang penceritaannya bukan lagi dari sudut pandang Minke, melainkan Jacques Pangemanann, seorang arsiparis di pemerintahan Hindia Belanda. Ini yang sebetulnya di awal-awal membuat saya sedikit kecewa. Fokus cerita tidak lagi banyak menyorot jalan hidup Minke, tapi karena Pangemanann seorang arsiparis, dia seolah-olah jadi tokoh yang tau segalanya. Karena itu, buku ini begitu kaya cerita, tokoh-tokoh dari ketiga buku sebelumnya tumpah ruah diceritakan lagi di sini.
    Syukur jeda saya membaca antara satu buku dengan buku yang lain tidak terlalu jauh, kalau tidak, bagi yang punya daya ingat pendek seperti saya, akan butuh effort lebih untuk bisa hanyut dalam cerita karena banyaknya tokoh dan peristiwa di dalamnya.

    Dan satu lagi yang paling saya suka dari seri Pulau Buru ini, di setiap bukunya memuat paling tidak satu perempuan hebat yang berpengaruh. Membuktikan bahwa bangsa ini tidak pernah melewatkan satu masa pun tanpa perempuan yang turut mengambil haluan.

    Tidak salah kalau banyak orang bilang, setidak-tidaknya sempatkan membaca seri ini sekali seumur hidup. Bukan hanya karena sebuah karya sastra bersejarah, tapi juga banyak pelajaran di dalamnya yang menurut saya tidak lekang dan masih relevan untuk jadi pegangan hingga saat ini.

  • Oktaria Asmarani

    Menyelisik adalah suatu pekerjaan yang bagiku menantang dan menyenangkan. Buku ini sepenuhnya menceritakan penyelisikan Pangemanann terhadap Pribumi yang punya kelebihan di antara sesamanya; mereka yang sadar atas ketidakadilan, mereka yang muak atas penjajahan, mereka yang tak taat pada Gubermen. Dan Minke adalah salah satu yang berada dalam Rumah Kaca di atas meja Pangemanann. Dari sini aku bisa melihat bagaimana Minke dipandang oleh seorang Manado yang bekerja untuk Hindia Belanda. Pada akhirnya, baik Minke, Pangemanann, Sanikem, Marco, atau Siti Soendari, semuanya hanyalah manusia-manusia biasa dengan intriknya masing-masing. Maka sesuai dengan perkataan Pangemanann pada istrinya, "Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya." Semua tokoh dalam Tetralogi Buru sesungguhnya menjalani hidup yang biasa-biasa saja, tetapi mereka sendirilah yang dengan segala tindak-tanduknya menafsirkan tiap-tiap peristiwa di dalamnya dengan hebat sehingga hidup menjadi luar biasa. Dan proses pe-rumah kaca-an yang tampak dalam buku ini mampu membuktikannya dengan tepat, tanpa cela.

    Setelah hampir tujuh tahun kumiliki, tetralogi ini akhirnya kutuntaskan dan Rumah Kaca, bersama dengan Anak Semua Bangsa adalah dua favoritku di antaranya. Setelah ini aku bertekad untuk membeli sebuah rak untuk buku-bukuku dan akan kutaruh tetralogi ini di baris teratas bersama buku-buku lain yang mengesankanku. Akan kubiarkan sebanyak mungkin orang membacanya, juga anak-cucu (kalau aku benar akan memilikinya) dan sanak saudaraku kelak. Biar mereka tahu bahwa negara yang kita hidupi saat ini punya sejarah yang panjang dan melelahkan, namun penting ditelusuri. Bahwa perjalanan seorang manusia akan bernilai lebih jika ia membaca, lebih-lebih lagi menulis.

    Terima kasih, Pram.

  • Irwan

    Selesailah tetralogi besar ini. Pengalaman pertama berkenalan dengan sosok Pram lewat karya ini. Membuka dimensi baru baik dalam soal kepenulisan, tentang sejarah bangsaku, maupun peluang yang ada bila kedua hal itu dihubungkan.

    Terus terang aku tidak terlalu suka Rumah Kaca. Aku benci kepada penutur kisahnya. Bukan kepada penulisnya, karena penulisnyalah yang telah berhasil menciptakan kebencian itu. Aku juga tidak suka akhir tragis dari kisah kepahlawanan ini. Aku mengharapkan seorang sosok hero. Pram sudah sangat berhasil memberikan dimensi pada sosok pahlawan dan masa hidupnya. Fakta-fakta sejarah yang dijejalkan di masa sekolah dulu, sekarang terasa lebih hidup. Mereka didorong impian besar dan mulia, didera kepahitan hidup, mengidap macam kelemahan-kelemahan: oportunistis, feodalistis, pengkhianatan. Mereka manusiawi.

    Sayangnya sepanjang hidupku sebagai orang Indonesia terlalu sering aku melihat tragedi kepahlawanan. Termasuk pahlawan gadungan. Bahkan hingga sekarang. Masih bisakah merindukan kisah kepahlawanan dalam sejarah bangsaku? Apakah kepahlawanan dramatik hanya ada di ranah dongeng belaka? Entahlah.

    Ada yang bilang, beda cerita yang berakhir bahagia atau tragis hanyalah soal kapan mengakhirinya. Kalau memang cuma itu yang bisa dilakukan, aku akan hentikan cerita ini jauh sebelum Bumi Manusia berakhir :-)

  • Yozzoi

    Buku terakhir dari tetralogi pulau buru. Ditulis dengan alur yang mengejutkan dan bertolak belakang dengan 3 buku pendahulunya. Dibuku ini, Pramoedya dengan kejeniusannya mampu menuangkan dalam tulisan yang detail terkait sebuah pergolakan pikiran, watak, percakapan hati, dan imajinasi dengan sangat ambsius menjadi literatur.

    Pramoedya, terlepas dari sisi negatifnya (mungkin dia pada masanya, dengan segala kemanusiaannya juga sedang meraba-raba untuk menemukan "menjadi manusia utuh") tetaplah seorang literatur cerdas dan pewaris yang kaya raya bagi kita bila mau menggugat sebagai ahli warisnya.

    Sebagai penutup aku lebih suka mengomentari 2 tokoh signifikan (meskipun tokoh satunya hanya muncul di buku ini) dalam tetralogi pulau buru. "Terberkatilah Minke dengan segala kemuliaannya untuk menjadi manusia yang utuh bagi bangsanya. Semoga Minke dapat mengampuni Pangemanann sebagai co-pilot (yang membelot) yang merancang kehidupan Minke didunia ini. Dengan begitu maka Minke akan hidup sebagai manusia yang utuh diakhirat sana"

  • - yui yunita putri

    sekarang kalian ada dalam rumah kacaku. Sluruh gerak gerik kalian terlihat!!

  • Moushine Zahr

    WOW!!! Finally I finished enjoying to read the Quartet Buru by the great Indonesian author Pramoedya Ananta Toer!!! I bought the first 2 novels in English in 2014 in Bali and read them at home the same year. I bought the third book in French language in Lyon in 2018 and at last I ordered the fourth and last book in 2019. What an adventure reading the author's novels!!!

    In this last book of the quartet buru, the author surprised his readers with a brand new and fresh angle. While during the first three books, readers followed the life of Minke from a naive teenager to becoming a pioneer political activist against the social injustice of the colonial governement, in this fourth book, the author introduced a new leading character and narator: M. Jacques Pangemanann. He was only a secondary character who appeared toward the end of the third book and now is the main character of the story. Just like Minke, he's an indigenous well educated in Europe, married to a French woman with children, who rose from a simple inspector arresting local rebels to the expert on indigenous affairs for the central governement. While Minke lived and worked for the indigenous people, Pangemanann lived and worked against them. His character is very well developed throughout the various stages of his career showing all the physical and emotional stress he suffered because of his work and until the end of the novel.

    Through his eyes like looking down inside a house of glass full of people, readers follow closely:
    - what happened to Minke just before his exile,
    - what happened to Minke's entourage and his creations (associations and newspapers),
    - and who else Minke inspired while in exile and what they created to emulate Minke.

    This book is also different from the first three because it is a fiction story filled with a detailed political analysis of the various indiginous movements created to claim justice, freedom and independance and the counter actions taken by the colonial powers to oppress these movements and their leaders. However, like his other books, the author wrote his story by including everyone that lives in Indonesia: Javanese, other ethnies from other islands, Muslims and Christians, all sorts of indiginous people, educated and non educated, from the local bourgeoisie or poor peasants, metis, "pure white" Europeans, from netherlands or from other parts of the world, colonial individual and non colonial, chinese local communities and the author never forgot women, who always play major strong roles.

    This book is different from the first 3 books of the quartet as if written by a different person, but it is still as good as the others. There are differences and similarities between them. The author mentions some of the previous characters and places in this 4th instalment and one of them makes even a surprise and strong appearance at the end.

    I read 5 novels from the same author and rated them all 5 stars. Pramoedya Ananta Toer is a must read author. I promise myself that in a few years from now, I will re-read the entire quartet buru at once. I hope that I read his other novels too.

  • Lisa

    House of Glass (Rumah Kaca) is the last of
    Pramoedya Ananta Toer’s Buru Quartet, the series of four novels tracing Indonesia's 'awakening' that Toer wrote while in prison on the island of Buru.  (
    See my review of Book 2 for the background to this).  The quartet is an early example of
    historical fiction as activism, that is, it was written by an author redressing the hidden stories and silences of colonised peoples in well-researched fiction.

    House of Glass is the next phase of Toer's novelised life of 
    Tirto Adi Suryo, pioneer of Indonesia's national awakening and of Indonesian journalism.  In Books 1-3 Minke is both the symbol of nationalism and the challenge to Dutch colonialism which emerged in the early 20th century but did not come to fruition until after World War Two.   Toer shows how educating the cleverest of the Native Indonesians led to the development of European ideas about freedom and equality, the irony being that those same Europeans did not bestow freedom and equality on the people they colonised.  Indeed, to forbid things is a colonial hobby that gives a pleasure of its own.  It makes you feel more important and more powerful. It becomes the norm within six months in the colony, away from European democratic ideas.

    By the end of Book 3, Minke has launched journalism that brought him to the attention of the Dutch authorities and now in Book 4, he is in exile.

    So, with the hero of the first three novels offstage, House of Glass puts aside his story which is instead narrated through the reflections of the Native* Indonesian policeman Pangemanann, whose job it was to monitor and suppress the emerging independence movement.  The 'house of glass' of the title refers to Pangemanann's surveillance of the key activists who follow in Minke's footsteps.  Pangemanann is a conflicted soul: educated in France, he has risen to high office and enjoys the status he has acquired, but he admires Minke and his ambitions for an independent Indonesia.  Nevertheless, to maintain his own position, he must corrupt his personal values and work with the Dutch authorities to sabotage the movement.  He delegates authority to beat up opposition figures; he spreads divisive rumours; he incites race riots; he tortures detainees; and — while he doesn't get his own hands dirty — he is involved in murder too.

    While the point of this is to show that the independence movement withered for decades because it was sabotaged from within by the very Native Indonesians that Tirto Adi Suryo was keen to unite, this doesn't make for a very engaging novel.  Truth be told, I made heavy weather of it and resorted to reading a chapter a day to get it finished.  I didn't abandon it despite the temptation because it was Book 4 of a significant quartet and I wanted to complete it.

    Pangemanann enjoys dissecting the divisions within society which fracture the independence movement.

    To read the rest of my review please visit
    https://anzlitlovers.com/2021/05/29/h...

  • Ajeng

    4 dari 4 - Tetralogi Buru.

    Akhirnya, selesai juga petualanganku mengikuti perjalanan Raden Mas Minke.
    Beda dengan tiga buku sebelumnya, kali ini Pram justru menggunakan sudut pandang tokoh lain, yaitu Pangemanann yang juga seseorang dari pihak kolonial. Di Rumah Kaca ini dijelaskan bagaimana politik pengarsipan dijalankan oleh pemerintah kolonial untuk mengontrol aktivitas pergerakan organisasi pribumi yang mengarah ke kebangkitan nasional.
    Sungguh di novel ini rasanya “capek”, karena kita diajak buat melihat justifikasi-justifikasi dari kejahatan kolonial atas pribumi melalui sudut pandang Pangemanann. Terus menuju akhir dari cerita, rasa capek itu berubah jadi perasaan hampa. Ketika Minke kembali dari pembuangan, situasi udah berubah drastis. Dia lupa, dan dilupakan. Akhir dari perjalanan Minke ternyata harus demikian. Sedih. Habis baca ini rasanya kosong 😔
    Tapi satu hal yang menarik lagi dari Rumah Kaca adalah, ceritanya “lintas-zaman” banget, alias masih sangat relevan sama keadaan sekarang. Bagaimana idealisme terkikis oleh pragmatisme, demi jabatan, kekuasaan, dan keuntungan diri sendiri semata. Ya.. namanya juga manusia.

  • Sapphire Carter

    Series ini oleh Pramoedya Ananta Toer memang masterpiece. Bagaimana Pramoedya bisa mendeskripsikan secara rinci tentang sejarah kolonial dan setiap kota: Surabaya, Betawi (Jakarta) dan Solo, Semerang dll membuat pembaca merasa ada saat itu. Kita juga ketika membaca buku buku series ini bisa melihat situasi dan keadaan perempuan-perempuan di dalam zaman itu dan bagaimana perempuan Indonesia memperjuangkan hak bangsanya dari cerita tokoh Nyai Ontosoroh, Ang San Mei, Princess Kasiruta, dan Siti Soendari. Buku "Rumah Kaca" menurut saya paling menarik karena Pramoedya ceritakan tentang korupsi jiwa anti-hero tokoh Pangemanann dengan dua "n". Dari cerita anti-hero ini kita belajar "holding to our principles and morals" adalah kepentingan hidup.

  • Rifqi Salafi

    Secara umum, novel ini adalah ulasan dari apa yang terjadi pada Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah. Penceritanya adalah seorang stafsus kolonial beranama Pangemanann yang diberi wewenang memantau pergerakan pribumi dalam menuntut kemerdekaan dan membasaminya. Ia yang mengagumi Mingke dilanda perang batin karena ia harus melawan sosok yang begitu ia kagumi. Tubuhnya digerogoti penyakit karena tekanan batin yang berlebih karena harus menghukum Mingke yang ia kagumi dalam diam.

  • Nindya Chitra

    Sekian lama. Senang akhirnya bisa sampai di halaman terakhir. Sebuah penutup yang cukup melegakan. Butuh banyak kesabaran untuk membaca bagian awal ke tengah. Jalan pikiran Pangemanann nggak selincah ketika Minke yang menjadi narator di tiga buku sebelumnya. Tapi mengetahui akhir kisah yang panjang ini akhirnya mengobati rasa penasaran saya. Sebuah kisah yang sungguh berliku.

  • Stev Aryanto

    Negeri ini memang beruntung pernah memiliki Pramoedya Ananta Toer.

    Deposuit potentes de sede et exaltavat humiles;
    "Dia rendahkan mereka yang berkuasa dan naikkan mereka yang terhina"

    Dengannya aku mempersiapkan diri untuk memasuki ketenangan yang abadi, ke tempat semua orang akan sampai dengan atau tanpa semaunya sendiri. Dan Pram menunggu