Bukan Pasar Malam by Pramoedya Ananta Toer


Bukan Pasar Malam
Title : Bukan Pasar Malam
Author :
Rating :
ISBN : 9793820039
ISBN-10 : 9789793820033
Language : Indonesian
Format Type : Paperback
Number of Pages : 106
Publication : First published December 1, 1950

Perjalanan seorang anak revolusi yang pulang kampung karena ayahandanya jatuh sakit. Dari seputaran perjalanan itu, terungkap beberapa potong puing gejolak hati yang teka pernah teranggap dalam gebyar-gebyar revolusi.

Dikisahkan bagaimana keperwiraan seseorang dalam revolusi pada akhirnya melunak ketika dihadapkan pada kenyataan sehari-hari: ia menemukan ayahnya yang seorang guru yang penuh bakti tergolek sakit karena TBC, anggota keluarganya yang miskin, rumah tuanya yang sudah tidak kuat lagi menahan arus waktu, dan menghadapi istri yang cerewet.

Berpotong-potong kisah itu diungkapkan dengan sisa-sisa kekuatan jiwa yang berenangan dalam jiwa seorang mantan tentara muda revolusi yang idealis. Lewat tuturan yang sederhana dan fokus, tokoh "aku" dalam roman ini tidak hanya mengritik kekerdilan diri sendiri, tapi juga menunjuk muka para jendral atau pembesar negeri paskakemerdekaan yang hanya asyik mengurus dan memperkaya diri sendiri.


Bukan Pasar Malam Reviews


  • A.J. Susmana

    Bukan Hanya Dokter
    Batam Pos, MINGGU, 24 MEI 2009

    AJ Susmana

    Bukan Pasar Malam, novel pendek Pramoedya Ananta Toer ini, barangkali adalah novel yang paling banyak dipuji dan diapresiasi para pembaca karya-karya Pram setelah Bumi Manusia. Setidaknya, YB Mangunwidjaja seorang penulis novel dan juga rohaniwan mengatakan bahwa Bukan Pasar Malam adalah karya Pramoedya yang paling disukainya. Oleh sebagian pembaca, Bukan Pasar Malam, sering disimpulkan sebagai novel yang bernuansa religius, beraura mistik dan mengandung pergulatan eksistensial diri manusia ketika berhadapan dengan maut di samping ironi seorang pejuang kemerdekaan yang kecewa dan tak mendapatkan tempat yang layak justru ketika kemerdekaan yang diperjuangkan dengan penuh pengorbanan itu sudah terwujud.

    Hanya saja, menurut penulis, apresiasi terhadap Bukan Pasar Malam, sampai detik ini tidak cukup mengena dan mendalam. Barangkali ketidakdalaman ini karena ketidaksanggupan melihat fakta gerak revolusi Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia . Dengan begitu, bisa jadi, Bukan Pasar Malam, adalah novel yang paling banyak disalahpahami. Inilah alinea penutup Bukan Pasar Malam yang paling banyak dikutip dan tersebar luas untuk menggambarkan daya tarik Bukan Pasar Malam:

    “Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pada kembali pulang… seperti dunia dalam pasarmalam. Seorang-seorang mereka datang… dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.”

    Deretan kata-kata itu pulalah yang dicantumkan penerbit Lentera Dipantara dicover belakang ketika menerbitkan Bukan Pasar Malam.

    Judul novel pendek Pram ini Bukan Pasar Malam, memang menarik dan kuat dari segi diksi tapi barangkali tidak mewakili isi keseluruhan. Judul yang menggunakan kata kontradiksi “Bukan” terhadap keberadaan “Pasar Malam” tentu sangat menarik di tengah kehidupan rakyat yang (dalam tahun novel ini terbit) menganggap pasar malam adalah peristiwa yang sangat menarik, luar biasa dan tak bisa dilewatkan begitu saja baik sendiri maupun bersama (keluarga, pacar…). Dengan demikian judul novel ini bisa “menyesatkan” pembaca yang terpaku pada alinea penutup Bukan Pasar Malam sementara justru kedalaman kisah yang lain tak terungkap.

    Lagi, masih bisa dipahami bila Pram menutup novel pendeknya dengan nada filsafat eksistensialisme yang begitu kuat. Bukankah Pasca Perang Dunia II, eksistensialisme justru semakin menemukan tempat? Dengan dua pendekar eksistensialisme: Camus dan Sartre, eksistensialisme juga semakin berkibar-kibar di lapangan sastra. Pengaruhnya pun sampai ke Indonesia terlebih melalui karya-karya Chairil Anwar dan Iwan Simatupang. Pram pun tampak tak bisa menghindar dari irama eksistensialisme: kemuraman dan kegelisahan akibat kemanusiaan yang runtuh akibat Perang Dunia II. Hanya saja Pram tidak larut dalam kegelisahan eksistensial terus-menerus. Ia tetap bergulat dengan masa depan Revolusi Indonesia.

    Pram ketika menuliskan novel ini masih muda: kurang lebih 25 tahun mengingat Bukan Pasar Malam diterbitkan pertama kali pada tahun 1951 oleh Balai Pustaka. Sementara Iwan Simatupang menuliskan sajak-sajak eksistensialisnya juga di sekitar tahun itu, 1952: Ada Dukacarita di Gurun – buat mereka yang disepikan, lalu Ada Dewa Kematian Tuhan – sajak peringatan 100 tahun kematian Nietzsche. Keduanya muncul di majalah mingguan terkenal saat itu: Siasat. (Baca: Pengantar Dami N. Toda dalam Tegak Lurus Dengan Langit, Lima belas cerita pendek Iwan Simatupang, Sinar Harapan, Jakarta, 1985;7)

    Jadi, Bukan Pasar Malam terbit enam tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Atau tak lama setelah pertanyaan terakhir ayahnya menjelang ketaksanggupan melawan ajal: “Siapa yang bisa mengatakan padaku hari kelahiran sesuatu yang kita perjuangkan selama ini?” (jawab tokoh aku—Pramoedya Ananta Toer -sendiri-?) “Tujuhbelas Agustus tahun seribu sembilanratus empatpuluh lima , Bapak”. (h. 87). Dengan begitu, jelas, semangat revolusi untuk kemerdekaan dan kesejahteraan bangsa pun menjadi bagian yang utama dan arus yang kuat di seluruh kisah Bukan Pasar Malam. Bukan kebetulan bila Pram mengajukan tokoh novel ini berprofesi sebagai guru (bukan dokter), walaupun Ayahnya sendiri pun berprofesi sebagai guru dan mengajar di sekolah pergerakan Budi Utomo: organisasi yang dianggap sebagai tonggak kebangkitan nasional sejak 1908.

    “Aku tak mau jadi ulama…Aku mau jadi nasionalis…Karena itu aku jadi guru…Membukakan pintu hati anak-anak untuk pergi ke taman…Patriotisme.” (h. 88)

    Dua kata terakhir mengingatkan kita pada sekolah pergerakan kemerdekaan (juga) yang didirikan pada 3 Juli tahun 1922 oleh Tokoh Besar pendidikan bangsa ini Ki Hajar Dewantara yakni Taman Siswa. Sampai sekarang sekolah ini pun masih eksis.

    Kita pun tahu sebagian guru-guru yang terlibat pada pergerakan kemerdekaan kemudian mengorganisasikan diri di samping pada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), juga pada Persatuan Guru Republik Indonesia-Non Vak Sentral (PGRI-NVS) yang dianggap berafiliasi politik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pasca G 30 S 1965, ribuan guru yang bergabung dalam PGRI-NVS, dikejar-dikejar, diburu oleh rezim baru bernama Orde Baru, untuk dibunuh atau dikirim ke penjara-penjara dan kamp pembuangan Pulau Buru.


    Tentu saja, sebagian guru yang dikejar-kejar itu pun lalu menghilang dari panggung politik Orde Baru dan mencari jalan lain untuk melanjutkan kehidupan atau justru tenggelam dalam kekecewaan yang tak menemukan obatnya.

    Dengan demikian Bukan Pasar Malam adalah karya Pram yang luar biasa yang dipersembahkan Pram kepada para pahlawan tanpa tanda jasa, para guru yang tak dapat disangkal turut berperan besar pada proses kemerdekaan bangsa ini tapi juga tak mendapat perhatian dan tempat yang sepantasnya pasca kemerdekaan. Inilah novel yang tak sekadar kisah duka, kematian atau kekecewaan seorang pejuang kemerdekaan, tapi lebih dari itu adalah kisah seorang guru pejuang yang bangga dengan predikat guru sebagai salah satu unsur penting dalam membebaskan bangsa dan tanah air dari ketidakmerdekaan akibat penjajahan kolonialisme. Dan pesan yang lain jelas, sang guru gugur bukan karena semata-mata kecewa tapi dalam pengertian nilai perjuangan yang baru yaitu gugur di lapangan politik.

    “…Hanya yang bisa kukatakan dengan pasti, dan barangkali inilah yang tak Tuan ketahui, ialah: ayah Tuan gugur di lapangan politik.” (h. 102) Pernyataan gugur di lapangan politik itu pun diulangi kembali: “Benar, ayah Tuan gugur di lapangan politik. Ayah Tuan mengundurkan diri dari partai dan segala tetek bengek agar bisa menghindari manusia-manusia badut pencuri untung itu…” (h. 103).

    Dengan demikian politik sebagai kesadaran ditekankan dan betapa pentingnya untuk dipelajari dan dipahami agar guru dan pejuang umumnya tak lagi gugur di lapangan politik dalam kesia-siaan.

    Sebagai catatan, Novel inipun mengalami cetakan kedua oleh Balai Pustaka pada tahun 1959. Kemudian dicetak ulang ketiga kalinya pada tahun 1964 oleh Yayasan Kebudayaan Sadar. Satu bulan kemudian pasca peristiwa G 30 S 1965 yang membawa kerusakan parah gerakan kiri di Indonesia, Bukan Pasar Malam pun dilarang peredarannya. Novel ini kemudian diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing. Dalam bahasa Inggris, It’s Not An All Night Fair terbit pada tahun 1973. Baru kemudian pasca tersingkirnya Jendral Soeharto dari tampuk kekuasaan Orde Baru, pada tahun 1999, novel ini, edisi Indonesia, kembali diterbitkan oleh Bara Budaya, Yogyakarta.



    http://batampos.co.id/Mingguan/Buku/B...

  • David

    It’s Not an All Night Fair by Pramoedya Ananta Toer Translated by CW Watson

    It is my opinion that from time to time, serious readers need to sample writers who are recognized as leading authors in countries and cultures not typically known for their works in the readers’ experience. I found out about the Indonesian Pramoedya Ananta Toer from a large tome of literary criticism, “Guide To Modern World Literature” by Martin Seymour-Smith published in 1973.

    Pramoedya Ananta Toer was a political dissident in real life and the protagonist of the novel had been as well. The time period is purportedly in the era of Suharto who became president after Sukarno, who led the country after the Japanese were defeated by the Allies.

    The main character’s father had been a revolutionary as well and the whole story is about how the son and his family are trying to care for the old man dying in a TB hospital or sanatorium.

    Thinly written and thickly sad, but the story could have been poignantly sadder in Russian hands or Southern European or Latin American hands. In fact, this pitifulness doesn’t quite ring true—much like an American’s suspicion that the pain is faked when he views soccer players rolling around on the ground holding an “injured” ankle or knee with a pathetic grimace of pain for all the world to see.


    “It’s Not an All Night Fair” was unsatisfying in all aspects. I did not like it, and since Toer is one of the top writers of Indonesia, I will probably not read another Indonesian writer. That does not mean I wouldn’t go to Indonesia, however. I would rely on historical documents to prepare myself instead.

    While the translation seemed to be very good, you can’t really tell until you learn enough of the language yourself; but if I’m going to learn an East Asian language I’d rather learn Japanese, since that country probably has the best literature west of Monterey, California. (With the exception of Australia and New Zealand, who have given the world writers such as Patrick White, Christina Stead and Peter Carey.)

  • Missy J

    2.5*

    One of Pramoedya Ananta Toer's earlier works, "Bukan Pasar Malam," roughly translated as "Not a Night Market,” is a short novella published in 1951, a few years after Indonesia gained independence. It's a confusing time, the memory of colonialism is still close, freedom hasn't really seeped in yet, revolution is everywhere and no one knows what to expect. The protagonist is a young man living in Jakarta, who receives a letter that his father is dying in his home village of Blora. Together with his wife, they borrow money for the train ride back to visit his father. Blora is completely devastated by the war. The houses are crumbling ("Apabila rumah itu rusak jang menempatinja pun rusak.") and the protagonist feels an overwhelming sadness for the entire situation. He regrets the bitter letter he sent to his father accusing him of his sister's depression. He realizes that his father, who was a teacher, was also a nationalist who fought for the country. The protagonist fights with his wife, who is nagging him to go back to Jakarta because they are running out of money.

    This is a very slow-paced novel. I guess it reflects some of the slowness of Javanese people. It reminded me a little bit of
    Perburuan, an earlier work by the same author. I imagine that the translation probably sounds very redundant to English readers. In Indonesian, the sentences were actually beautiful. He delves very deep into the protagonist's sadness and how fleeting life is. This book still utilized the old spelling of Indonesian (dj -> c, j -> y), which was a bit confusing for me at the beginning. It was such a sad book, but I am glad that I practiced reading in Indonesian again. I wish the parts about the sister and wife were a bit longer, because I wanted to learn more about them. It was an okay read, but there are other books I would recommend by this author.

  • Mia Prasetya

    Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti Pasarmalam.

  • aldo zirsov

    diterjemahkan ke dalam bahasa inggris, berikut introduction, postscript and notes oleh C.W. Watson....
    menarik membaca kata pengantar dari penterjemah yang menceritakan saat dia mulai menterjemahkan buku ini di suatu rumah kawasan lereng tangkuban perahu jawa barat, dan usaha-usaha dia untuk memperoleh buku Pramoedya Ananta Toer di tahun 70-an di kawasan perbukuan seputaran bandung seperti cikapundung dan alun-alun kota. betapa dia mengeluhkan sulitnya mendapatkan buku2 pramoedya jaman tsb.... serta lamanya waktu dia untuk menterjemahkan buku ini karena juga melibatkan Ben Anderson di Cornell University untuk menyesuaikan 'tone' bahasa pramoedya. setelah terjemahan ini selesai, dia bersama putrinya sempat mengunjungi Pramoedya di jakarta dan menyerahkan langsung buku terjemahan ini dan menurut pengamatannya, dia bisa melihat betapa senangnya hati pramoedya saat itu....
    sungguh menyentuh hati membayangkan pertemuan seorang pengarang dengan penterjemah karyanya, seseorang yang membantu pengarang supaya bukunya bisa dikenal khalayak pembaca yang lebih luas, melintasi batas-batas negara, kendala perbedaan budaya dan bahasa itu sendiri khususnya.
    terima kasih dan salute buat semua penterjemah yang baik...!!!

  • Imas

    Membaca buku Pram selalu membuatku terpesona. Pilihan ide cerita, diksi dan tokohnya semuanya buatku menarik. Termasuk buku ini tentunya, buku yang tipis dan kuhabiskan dalam waktu yang tidak terlalu lama namun tetap saja beberapa kali setelah membaca satu paragraf,mengagumi kemudian kembali lagi membaca paragraf tersebut.

    Ini "hanya" kisah pulang kampung seorang anak yang telah lama meninggalkan kampung halaman untuk menjenguk ayahnya yang terbaring sakit keras. Ayah yang baru saja disurati dengan ucapan kasar karena mendapat kabar tentang adiknya yang sakit TB dan terbaring tanpa perawatan yang layak. Penyesalan akibat perkataannya dan keterkejutan melihat kondisi ayahnya yang lebih sakit tak terkatakan.

    Kisah keluarga, namun yang diceritakan bukanlah hanya tentang keluarga, Pram juga menggambarkan kondisi politik pasca kemerdekaan dengan orang-orang yang dulunya dikenal sebagai pejuang rontok oleh ambisi kekuasaan.

    Dunia bukan pasar malam dimana kita dapat datang bersama-sama dan pulang bersama-sama, lahir bersama-sama dan meninggal bersama-sama. Setiap orang lahir sendiri,pada akhirnya mati sendiri dan yang hidup tinggal menunggu kapan gilirannya.
    Sungguh saya tak mengira judul buku ini bermaksud demikian.

  • Nona Ana

    Demi memenuhi ambisi #1Hari1Buku, saya menyortir beberapa buku tipis dari rak. Dan pilihan pertama yang saya baca adalah Bukan Pasar Malam. Karena menyortir secara random bahkan tak membaca blurb buku ini. Jadi saya tak banyak berekspektasi.

    Bercerita tentang ‘aku’ yang mendapatkan kabar bahwa sang Ayah sedang sakit di kampung halaman. Maka pulanglah Pram bersama dengan istrinya. Diceritakan bahwa dia harus meminjam uang demi bertemu sang ayah.

    Dalam bab 1-3 diceritakan perjalanan Jakarta-Blora melalui kereta api yang melewati banyak tempat ‘memorable’ bagi Pram. Dalam perjalanan tersebut tentu Pram selalu kepikiran sosok Ayahnya.

    Dalam bab selanjutnya diceritakan bagaimana Pram menemani sosok Ayahnya hingga dijemput maut. Diceritakan pula masa lalu Ayah yang ternyata mantan pejuang kemerdekaan, dan berakhir menjadi guru di Blora.

    Awalnya bingung, kenapa judulnya Bukan Pasar Malam ya? Tapi ternyata pertanyaan tersebut terjawab di halaman 95 saat seorang Tionghoa berkata “Lalu mengapa kita harus berpisah dalam kematian. Satu. Satu. Satu. Dan yang lain lahir. Satu lagi. Mengapa orang ini tidak banyak lahir dan mati? Saya ingin dunia ini seperti Pasar Malam."

    Secara keseluruhan buku ini konsisten sedihnya. Kondisi ekonomi, pergolakan batin anak dengan hubungan istri, saudara, tetangga dan tentu Ayah. Saya kalo jadi Pram pasti ngedumel “hash, mbulet ae”

  • solana

    "Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang... seperti dunia dalam pasarmalam. Seorang-seorang mereka datang ... dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana,"

    Cerita yang singkat tapi ngena. Bukan Pasarmalam (engga pake spasi soalnya based-on Pram preferred ejaan, frasa terikat biasanya digabung) is the one that taught you how meaningless this life actually is. Bercerita soal seorang anak yang pulang kampung karena ayahnya sakit TBC. Ayahnya ini istilahnya 'orang yang berjuang untuk kemerdekaan tapi engga dapet apa-apa' .

    Buku ini, menurut saya, buku paling bukan-Pram yang mengantarkan Pram menjadi 'Pram'. Yah artikan saja sendiri maksudnya bagaimana. Tapi, begitu, sebenernya yang buat saya kepengen baca ini karena ini juga salah satu buku Pram yang paling diejek Idrus.

    Mengenai isinya, walaupun singkat sekali, benar bahwa banyak yang sengaja ingin diungkapkan. Pertama, bagaimana hidup ini lebih mudah apabila ia adalah Pasarmalam : "ramai-ramai datang, ramai-ramai pergi; ramai-ramai lahir, dan ramai-ramai mati," . Kedua, bagaimana pahlawan-pahlawan revolusi (berlaku secara global) banyak yang berjuang di awal namun pada akhirnya terlena pada jabatan. Di Prancis mungkin bisa dilihat dalam pribadi Bonaparte, eh?
    Di Indonesia, tentunya ada banyak.

    Singkatnya, buku ini highly appreciated sih, soalnya dalam karangan sebatas 100an halaman, bisa muat banyak pesan. Yah dari sinilah kira-kira kelihatan bagaimana kualitas Pram dalam menulis. Toh, kalau enggak salah, ini memang buku pertamanya, kan?

  • Demo

    “Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana....”

  • Farhain Ismail


    "Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang...seperti dunia dalam pasar malam. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana".

  • Nor

    Menjadi pejuang untuk kemerdekaan negara sememangnya banyak ujian. Bukan sekadar ujian pada diri sendiri, tetapi juga ujian untuk seluruh ahli keluarga.

    Hanya yang berjiwa besar akan tabah mengharungi ujian demi ujian yang datang. Berjuang memandaikan anak bangsa juga bakal didatangi ujian yang bukan sedikit.

    "Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang...seperti dunia dalam pasar malam. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana".

  • Alpha Hambally

    Novel ini menarik jika dipertemukan dengan novel Pedro Páramo. Kedua tokoh sama-sama pulang kampung, lalu menemukan realitas dalam arti penulisnya sendiri-sendiri. Yang satu realitas sungguh-sungguh. Yang satu realitas yang tidak tampak--tapi ada. Heuheu.

  • Safara

    Buku ini saya baca dalam Bahasa Indonesia.

    Bukan Pasar Malam merupakan salah satu buku terlawas Pram, terbit pada tahun 1951. Buku ini bercerita tentang perjuangan ayahanda Pram dalam membantu kemerdekaan Indonesia sebagai tentara gerilya. Setelah Indonesia merdeka, beliau menjadi seorang guru di Blora.

    Pram bercerita bahwa kekecewaan sang ayahanda membuat beliau sakit keras, TBC akut, yang dialami hanya 2.5 bulan sebelum meninggal. Ayah Pram kecewa melihat rekan seperjuangannya berakhir pada perebutan kursi politik. Padahal, mereka puluhan tahun berjuang dari rapat ke rapat partai.

    Judul "Bukan Pasar Malam" diambil dari deskripsi tentang hidup yang disampaikan oleh teman ayah Pram. Dia mempertanyakan, kenapa orang lahir dan mati harus sendiri? Tapi, ketika hidup dikelilingi banyak orang. Kematian tidak seramai pasar malam.

    Bagian favorit dari buku ini adalah
    1. Penggambaran jelas mengenai privilege kesehatan dari orang berpangkat dibandingkan dengan orang biasa
    2. Andil partai dalam memerdekakan Indonesia

    Bagian yang menurut saya kurang jelas adalah
    1. Siapa sesungguhnya sosok ayahanda Pram? Bagian ini terlalu fokus pada penyakit beliau
    2. Apa yang terjadi setelah kemerdekaan Indonesia hanya digambarkan sebagai penghianatan bertubi-tubi

    Kesimpulan: Untuk kamu yang penasaran Pram itu siapa, kenapa ia bisa bertekad kuat, kamu bisa membaca buku ini sebelum masuk ke Tetralogi Pulau Buru. Buku ini hanya setebal 104 halaman.

  • Seno Guntur Pambudi

    Para ayah cenderung lebih banyak melakukan aktivitas fisik terhadap putranya. Para ayah juga menggunakan aktivitas fisik untuk memberikan kebijaksanaan maupun nasihat2nya. Maka hubungan ayah-anak laki2 cenderung sedikit bercakap-cakap.

    Dalam novel tipis ini Pramoedya mengisahkan seorang anak revolusi dihadapkan pada ayahandanya yg jatuh sakit di kampung halaman. Kisah yg berlangsung dalam satu putaran kejadian ini mengungkap potongan puing gejolak hubungan ayah-anak laki2.

    Perjalanan yg dilakukan tokoh 'Aku' dari Jakarta-Blora menggambarkan reka adegan masa di mana revolusi meletus, peperangan2 ditiap daerah yg dilewatinya, terlintas dalam kenanganannya saat di mana ia bertugas.

    Pergulatan batin tokoh 'Aku' melihat ayahnya tergolek lemah tak berdaya hingga ajal menjadi topik utama novel ini. Hubungan antara ayah dan anak yg dipotret Pram dgn baik melalui kesaling pengertian ayah dan anak laki2 tanpa mesti berbicara banyak.

    Kemiskinan yg menerpa keluarganya, rumah tua yg sudah mulai miring, seorang guru yg dgn dedikasinya namun dikhianati oleh bangsanya sendiri juga menjadi topik dalam buku ini

    Pramoedya selalu punya cata utk mengkritik kekuasaan. Dalam Bukan Pasar Malam (diambil dari kisah nyata orang tua Pram), Pram mengkritik penguasa yg berebut kekuasaan setelah kemerdekaan tercapai. Revolusi hanya menjadi monster bagi rakyat kecil. Memakan mereka hidup2 dalam kesengsaraan.

  • rei ♫

    Akhirnya aku bisa membaca karya Pak Pram juga! Senang sekali bisa menemukan buku ini di antara ratusan-bahkan ribuan-buku lain di perpustakaan sekolahku. Sedikit cerita, pada awalnya, aku takut sekali kalau-kalau diminta membaca tulisan Pak Pram, tak tahu kenapa. Mungkin karena banyak pembaca yang bilang bahwa tulisan-tulisannya terlalu berat. Tapi, semenjak idolaku merekomendasikanku untuk membaca karya Pak Pram, aku pun mulai mencoba menjelajahinya.

    Bukan Pasar Malam adalah sebuah novel yang cukup singkat, begitupula alumnya. Buku ini menceritakan seorang tokoh, yaitu "aku yang mendadak harus pulang ke kampung halaman karena ayahnya tengah kritis. Saat-saat menemaninya di rumah sakit hingga akhirnya sang ayah harus meninggalkan dunia membuat tokoh Aku-mau tak mau-harus merelakan banyak hal. Banyak sekali permenungan tentang kehidupan yang fana dalam buku ini. Pak Pram merangkai setiap katanya dengan telaten hingga aku pun turut merefleksikannya.

    Bagian yang paling berkesan dalam buku Bukan Pasar Malam ialah percakapan antara teman-teman sang Ayah, yang membicarakan soal "mengapa ia (bisa bermakna sang Ayah atau juga manusia) harus mati sendirian?"

    Begitu banyak nada pesimistis yang dapat ditemukan dalam buku ini. Karenanya, aku pun menyimpulkan bahwa seluruh percakapan yang terkandung dalam buku menyiratkan makna "waktu berputar sangat cepat dan hidup kita di dunia adalah sementara".

    Setelah menyelesaikan buku ini seutuhnya, aku sangat optimis untuk menyatakan bahwa Bukan Pasar Malam bukanlah buku yang bahasannya sangat berat-seperti Bumi Manusia, contohnya. Malah, kurasa buku ini dapat dibaca sekali duduk.

  • tianiita

    Bikin rindu Bapak

    Berkisah tentang si Sulung yang pulang ke kampungnya di Blora setelah mendapatkan surat balasan bahwa ayahnya sakit keras. Dengan membawa sang istri, si Sulung merasa menyesal melihat keadaan ayahnya yang terjangkit penyakit TBC yang sebelumnya sempat ia maki dalam suratnya. Bukan Pasar Malam merupakan roman tipis karya Pram yang berbeda dari kebanyakan buku yang beliau tulis. Novel ini menggambarkan bagaimana ayah si Sulung yang sakit dan tak lama meninggal, si Sulung dan adik-adiknya yang bergantian merawat sang ayah, dan orang-orang yang mengenang jasa si marhum yang baru saja berpulang. Realistis, sederhana, dan membuat saya sedikit menitikkan air mata karena mengingatkan saya pada ayah yang ada di kampung. Rate: 4,5/5

    "Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang... seperti dunia dalam pasar malam. Seorang-seorang mereka datang... dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana." - Pramoedya Ananta Toer

  • Askell

    Orang baik itu yang selalu jadi korban yah?

    Pertanyaan itu yang terlintas dipikiran setelah menutup lembar terakhir buku ini.

    Sejak lembar pertama saya sudah langsung tertarik ke dalam cerita. Konflik kemanusiaan diceritakan dengan begitu dalam, dilihat dari pertentangan batin tokoh-tokohnya, terkadang realita dan prinsip harus berseberangan, dan ketika itu terjadi mana yang akan kita pilih?

  • Yozzoi

    Banyak percakapan menarik dan indah yang terpadu jadi seperti prosa yang kelabu.

  • Nurul Suhadah

    Karya Pram seterusnya yang dibaca. Saya memang berhati-hati setiap kali nak mula memegang buku-buku Pram. Ada dua sebab. Pertama, kalau sudah mula membaca sukar hendak berhenti. Apatah lagi kalau novel-novelnya yang panjang dalam trilogi. Boleh mengganggu kerja-kerja lain yang telah dijadualkan. Yang kedua, perlukan kepada penaakulan yang lebih terhadap apa yang ingin disampaikan. Bukan novel ringan yang saja-saja.

    Bukan Pasar Malam ini adalah novel nipis yang ditulis Pram ketika beliau sendiri masih muda, berumur 25 tahun pada tahun 1951. Novel yang berkisar tentang gelojak hati dan pemikiran seorang mantan tentera muda revolusi yang pulang ke kampungnya di Blora, menjenguk ayahnya yang sedang sakit kuat.

    Pram sangat deskriptif dalam menyampaikan setiap ketika dalam novel ini hingga kita yang membaca boleh bergenang air mata mengenangkan seorang ayah yang sedang bertarung dengan kesakitan. Perasaan itu sampai dan terasa. Apatah lagi diselit dengan elemen patriotisme, sindiran keras dan pedas kepada gejala pembesar-pembesar pasca kemerdekaan Indonesia, realiti kehidupan yang bergelut dengan kemiskinan, rumah yang sudah rosak.

    Seorang ayah dalam novel ini digambarkan sebagai seorang pejuang yang mengorbankan diri, tidak mahu menjadi pak turut semata-mata tetapi punya idealisme dan perjuangan yang tersendiri. Yang diungkapkan,

    "Aku tak mau jadi ulama, aku mau jadi nasionalis. Kerana itu aku menjadi guru. Membukakan pintu hati anak-anak untuk ke taman. Sungguh berat jadi seorang nasionalis".

    Ada yang mengaitkan novel ini dengan falsafah exsistensialisme, kebebasan manusia sebagai individu dalam mencari kebenaran. Dan itu yang nampaknya cuba disampaikan Pram tetapi masih disalut dengan semangat revolusi yang selalu menjadi identiti Pram.

    Saya juga tertarik dengan tajuk novel ini yang kalau difikir sepintas lalu pada zaman sekarang sangatlah tidak kena. Tetapi rupanya punya falsafah yang sangat dalam.

    Hidup ini bukan pasar malam yang manusia berduyun-duyun datang dan berduyun-duyun pergi. Tetapi seorang-seorang mereka datang, dan seorang-seorang mereka pergi. Itulah hakikat kehidupan.

  • Marina

    ** Books 165-2014 **

    "Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang.. seperti dunia dalam pasar malam. seorang-seorang mereka datang.. dan pergi. dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana"

    Itulah yang tertulis di belakang cover buku ini yang mengisahkan tentang seorang anak revolusi yang harus pulang ke Blora menengok ayahnya yang jatuh sakit karena TBC. Ia merasa menderita dan tertampar melihat kenyataan bahwa rumahnya dan penghuninya telah berubah.. ya Ayahnya dulu pernah menjadi guru tapi kalah dan gagal dalam lapangan politik.. dan adik terkecilnya yang meninggal.. adiknya yang sedang menderita sakit.. kemiskinan yang melanda mereka dan rumah tua yang seakan hendak roboh tergerus oleh zaman..

    "Tapi sesungguhnya begitu Ayah Tuan jatuh sakit oleh kekecewaan -kecewa oleh keadaan yg terjadi sesudah kemerdekaan tercapai. rasa2 nya tak sanggup lagi ia melihat dunia kelilingnya yg jadi bobrok itu -bobrok dengan segala akibatnya. Mereka yang dulu jadi jenderal di daerah gerilya, mereka yang tadinya menduduki kedudukan-kedudukan penting sebelum Belanda menyerbu, jadi pemimpin pula di daerah Gerilya dan jadi bapak rakyat sungguh2. Dan bukan tanggung2 lagi ayah tuan membela kepentingan merdeka itu. Tapi kala kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama berebutan gedung dan kursi.."halaman 102

    Buku ini SANGAT BAGUS! Sederhana, padat tapi mengena entah kenapa saat saya menyelesaikan buku ini ada rasa sesak yang menyelumuti hati saya.. sesak, sedih dan pedih yang rasakan. Buku ini sukses membuat saya menjadi "gloomy" malam ini... ada yang mengatakan bahwa buku ini adalah salah satu luapan hati dari Pramoedya Ananta Toer yang sempat ditahan dan ini adalah salah satu buku kisah beliau dan ayahnya.. buku ini layak saya berikan 4,3 dari 5 bintang!

    *gloomynya makin menjadi-jadi mendengar lagu2 Yoshiki Classical - Live in London Royal Festival Hall 2014*

  • Abi Ghifari

    Untuk ukuran sebuah karya sastra yang lahir dari tangan dingin seorang Pramoedya Ananta Toer, 'Bukan Pasar Malam' mungkin adalah salah satu yang paling 'ringan' untuk dibaca, berbeda jauh jika dibandingkan dengan ketika kita membaca tetralogi Buru. Tetapi topik dan genre yang diangkat tetap serupa dengan karya-karyanya yang lain, begitupun dengan sudut pandangnya yang berkisah tentang realisme sosial.

    Kisah yang terangkum dalam buku ini cukup sederhana, mengisahkan seorang tentara yang menemui ayahnya yang tengah sakit keras. Dan di sela-sela fragmen peristiwa itu, ia bercerita banyak hal tentang apa yang ada di sekitarnya, problematika yang mesti dihadapi, dan juga peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi sehari-hari. Sederhana memang, meski tetap memantik jiwa kita untuk berpikir untuk memetik hikmah yang terkandung di dalamnya.

  • Dhiyanah

    This was recommended to me as an introduction to Pramoedya's work. The novella leaks sentimentality. Heaviness building up through chapters until reader follows narrator along on his struggle for words and meaning in the midst of returning home, losing a father, carrying memories of collective chaos. There are blanks and gaps in the internal monologues and dialogues that attempt to say more than they can -- this I wish was better executed. What was said and explored, however, proved significant. The balance between internal and external could have been sized up more proportionately within the compact space of a novella, but the text does deliver what it needs do.

    An attractive introductory read. I look forward to hunting down an untranslated copy of this as well as other titles by the author (fingers crossed for better stylistic/tonal flow in the other translated works).

  • Happy Ari

    Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang, seperti dunia dalam pasar malam.
    Kedua kalinya baca karya Pram setelah Perawan remaja dalam cengkeraman militer. Jelas dibanding karya pertama yang saya baca buku ini lebih enak dibaca dengan gaya penulisan roman Pram yang kritis.
    Karya ini ingin lebih banyak mengkritisi kekerdilan diri sendiri, para jenderal datau pembesar negeri pascakemerdekaan yang asyik mengurus dan memperkaya diri sendiri, sistem kesehatan, dan kehidupan sehari-hari seperti perihal sumur tua yang merupakan hak umum di masyaraat kala itu. dan kondisi dalam setting roman ini tampaknya masih tetap relevan hingga hari ini.

  • Nadia Fadhillah

    keren! tulisan pram yang bikin aku berkaca-kaca dan menggelinang pada akhirnya. Meskipun tulisannya bikin nangis dan sedih, bukan sama sekali buku yang cengeng. Keren banget lah, termasuk salah satu jejeran buku terbaik bagiku. Untuk pembaca pemula Pram, yang kadang tidak selesai membaca buku-buku Pram yang lebih terkenal (misalnya Tertalogi Buru), buku ini bisa jadi langkah awal dalam membaca Pram. Silahkan dibaca :)

  • Ria

    "Aku tak mau jadi ulama. Aku mau jadi Nasionalis. Karena itu aku jadi guru. Membukakan pintu hati anak-anak untuk pergi ke taman, patriotisme. Karena itu aku memilih jadi guru. Jadi lembaga bangsa"

    "Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang...seperti dunia dalam pasar malam. Seorang mereka datang...dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas mengunggu saat nyawa terbang entah kemana"

  • Salma Nihru

    "Aku tak mau djadi ulama." ... "Aku mau djadi nasionalis." ... "Karena itu aku jadi guru." ... "Membukakan pintu hati anak-anak untuk pergi ke taman patriotisme."

    "Karena itu aku djadi nasionalis." ... "Berat, anakku..." ... "Sungguh berat djadi seorang nasionalis."

    "Karena itu aku memilih djadi guru."

    "Djadi lembaga bangsa."

    "Tapi aku rela djadi nasionalis. Aku rela djadi kurban semua ini."

    •••

    Saya cuma bisa bilang: Ah, Bapak :")

  • Zulfasari

    Saya tiba-tiba teringat film "Lewat Djam Malam" ketika membaca novel ini. Seseorang dengan idealismenya seakan tergerus oleh apa yang ia perjuangkan. Bertahun berjuang, namun hasil dari perjuangan ternyata membuat dada terasa sesak.

    Selain "Bumi Manusia", "Bukan Pasarmalam" cocok untuk mengenal karya Pramoedya Ananta Toer.