Title | : | Jejak Langkah |
Author | : | |
Rating | : | |
ISBN | : | 9799731259 |
ISBN-10 | : | 9789799731258 |
Language | : | Indonesian |
Format Type | : | Paperback |
Number of Pages | : | 724 |
Publication | : | First published January 1, 1985 |
Tetralogi ini dibagi dalam format empat buku. Pembagian ini bisa juga kita artikan sebagai pembelahan pergerakan yang hadir dalam beberapa periode. Dan roman ketiga ini, Jejak Langkah, adalah fase pengorganisasian perlawanan.
Minke memobilisasi segala daya untuk melawan bercokolnya kekuasaan Hindia yang sudah berabad-abad umurnya. Namun Minke tak pilih perlawanan bersenjata. Ia memilih jalan jurnalistik dengan membuat sebanyak-banyaknya bacaan Pribumi. Yang paling terkenal tentu saja Medan Prijaji.
Dengan koran ini, Minke berseru-seru kepada rakyat Pribumi tiga hal: meningkatkan boikot, berorganisasi, dan menghapuskan kebudayaan feodalistik. Sekaligus lewat langkah jurnalistik, Minke berseru-seru: "Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan".
Jejak Langkah Reviews
-
Jika pada buku sebelumnya, Anak Semua Bangsa, Minke mulai mengenal kehidupan rakyat Hindia yang tertindas oleh kekuasaan kolonial, maka buku Jejak Langkah menceritakan perjuangan Minke mempelopori gerakan nasional melalui organisasi modern dan surat kabar.
Pada tahun 1906, Minke mendirikan Syarikat Prijaji bersama Thamrin Mohammad Thabrie, dua tahun sebelum berdirinya Boedi Oetomo (BO). Tahun 1909 Minke menggagas berdirinya Syarikat Dagang Islamijah (SDI), juga bersama Thamrin Mohammad Thabrie, yang semakin hari anggotanya semakin banyak dan merambah ke seluruh pulau Jawa.
Pada tahun 1907 Minke menerbitkan surat kabar pribumi yang pertama, bernama 'Medan'. Kantor redaksinya berada di Jl. Naripan no. 1, Bandung. Dalam mengelola suratkabarnya, Minke dibantu oleh (antara lain) Marko, Sandiman, Hendrik serta istri ketiga Minke, Prinses van Kasiruta, yang berasal dari Maluku. 'Medan' yang tirasnya terus meningkat menjadi tempat mengadu para pribumi lemah yang tertindas dan terdiskriminasi oleh hukum. Apa2 yang disuarakan Minke lewat pers menyebabkan ia dinilai berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda.
Di akhir cerita, Minke ditangkap di saat dia telah bersiap2 untuk pergi berpropaganda bagi SDI (sampai ke luar Hindia). Pdhl ia telah menyerahkan pengelolaan 'Medan' kepada orang2 kepercayaannya dan telah menyerahkan tampuk Pimpinan Pusat SDI kepada Hadji Samadi (ketua Cabang Solo).
Itu kata buku :D
Lalu siapa Minke dalam Tetralogi Buru ini? Nama aslinya memang tidak pernah diungkapkan dalam 3 buku pertama. Tapi di Jejak Langkah disebutkan inisial Minke dalam menulis berita: TAS.
Meskipun saya sudah tau dari teman saya yang merekomendasikan tetralogi ini, saya mencari juga di internet :D
Minke alias TAS adalah RM Tirto Adhi Soerjo, bapak pers nasional yang baru diangkat menjadi pahlawan nasional pada November 2006. Seperti pada buku, th 1906 ia mendirikan Syarikat Prijaji, th 1907 menerbitkan koran Medan Prijaji dan th 1909 mendirikan Syarikat Dagang Islam. Tulisan2 mengenai Tirto Adhi Soerjo bertebaran di internet. Untuk lebih lengkapnya, silakan googling :D
Thamrin Mohammad Thabrie adalah Thamrin Mohammad Thabrie, seorang Wedana Batavia, ayah dari Mohammad Husni Thamrin.
Marko adalah Mas Marko Kartodikromo, anak didik Tirto Adhi Soerjo, yang setelah sang guru meninggal, pindah ke Surakarta dan mendirikan surat kabar sendiri bernama Doenia Bergerak.
Prinses van Kasiruta, istri ketiga Minke, adalah Prinses Fatimah, istri ketiga Tirto Adhi Soerjo, yang lebih dikenal dengan nama Prinses van Bacan.
Hadji Samadi adalah K.H.Samanhudi tentu saja :D
Mempelajari sejarah dari buku Pram ini ternyata menyenangkan. Tidak seperti ketika membaca buku PSPB dulu hehe. -
The first book in this quartet
This Earth of Mankind made me cry. The second book
Child of All Nations made me cry. This third installment of the Buru Quartet made me angry. Colonization just sucks. And when a nation of mixed cultures fight each other while working towards independence, freedom if achieved is tainted. Footsteps is the biggest of the quartet and the most political. From what I understand it is also the last of the first person narrative from Minke's point of view. One more to go and I really hope that Indonesia gets it together... but now in 2009 I know how this earth of mankind stands both politically and culturally and I don't know if Minke would be proud.
"So what is the use of the French Revolution then?" and her voice was so gentle, as it had always been ever since the first time I heard it. "You said it was to free men from the burdens made by other men. Wasn't that it? That is not Javanese. A Javanese does something with no other motive than to do it. Orders come from Allah, from the gods, from the Raja. After a Javanese has carried out the order, he will feel satisfied because he has become himself. And then he waits for the next order. So the Javanese are grateful, they give thanks. They are not preyed upon by monsters within themselves."
Although nominated for the Nobel Prize in Literature, Pramoedya Ananta Toer gave up his chance of ever winning when he died. Damn it, why didn't he wait a little longer before dying? -
''Jejak Langkah''
* "...dan modern adalah juga kesunyian manusia yatim-piatu dikutuk untuk membebaskan diri dari segala ikatan yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan juga bumi, kalau perlu juga sesamanya. (''Minke, 2)
* "Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya. (''Von Kollewijn, 32)
* "Persahabatan lebih kuat dari pada panasnya permusuhan. (''Bunda/Minke, 46)
* "Dahulu, nenek moyangmu selalu mengajarkan, tidak ada yang lebih sederhana daripada hidup: lahir, makan-minum, tumbuh, beranak-pinak dan berbuat kebajikan. (''Bunda, 65)
* "Setiap hak yang berlebihan adalah penindasan. (''Minke, 82)
* "Orang Belanda sering membisikkan: berbahagialah mereka yang bodoh, karena dia kurang menderita. Berbahagialah juga kanak-kanak yang belum membutuhkan pengetahuan untuk dapat mengerti. (''Minke, 113)
* "Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri. (''Minke, 113)
* "Apa bisa diharapkan dari mereka yang hanya bercita-cita jadi pejabat negeri, sebagai apapun, yang hidupnya hanya penantian datangnya gaji? (''Minke, 163)
* "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya. (''Minke, 202)
* "Berbahagialah dia yang tak tahu sesuatu. Pengetahuan, perbandingan, membuat orang tahu tempatnya sendiri, dan tempat orang lain, gelisah dalam alam perbandingan. (''203, Minke)
* "Setiap permulaan memang sulit. Dengan memulai setengah pekerjaan sudah selesai, kata pepatah. (''Van Heutsz, 264)
* "...bila akar dan batang sudah cukup kuat dan dewasa, dia akan dikuatkan oleh taufan dan badai. (''Raden Tomo, 277)
* "Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya. (''Frischboten, 291)
* "Tetapi manusia pun bisa mengusahakan lahirnya syarat-syarat baru, kenyataan baru, dan tidak hanya berenang diantara kenyataan-kenyataan yang telah tersedia. (''Minke, 339)
* "Semua ditentukan oleh keadaan, bagaimanapun seseorang menghendaki yang lain. Yang digurun pasir takkan menggunakan bahtera, yang di samudera takkan menggunakan onta. (''Minke, 394)
* "Tanpa wanita takkan ada bangsa manusia. Tanpa bangsa manusia takkan ada yang memuji kebesaranMu. Semua puji-pujian untukMu dimungkinkan hanya oleh titik darah, keringat dan erang kesakitan wanita yang sobek bagian badannya karena melahirkan kehidupan. (''Minke, 430)
* "Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah—jalan ke arah kelestarian. (''Minke, 442) -
Aku lari ke belakang, cepet-cepet mandi. Masuk ke kamar,mengenakan pakaian kemarin. Semua telah terkunci di dalam kopor atau lemari. Kotak kunci pun terkunci. Anakkunci dibawa Prinses tak tahu lagi aku bagaimana kemunculanku. Destar aku pasangkan sekenanya. Dan selopnya yang sebelah.. ah kau selop, dimana pula kau bersembunyi? Mengapa pula kau ikut-ikutan mengganggu aku? Rupa-rupanya anak anjing tetangga sebelah telah menyembunyikannya, atau menggondolnya.
“Piaaaaah!”
“Selop! Mana selop!”
.............
Tak dapat aku melangkah menuruni jenjang sambil berpaling padanya. Dia mutiara yang tak pernah aku kenal selama ini. Prinses telah mendidiknya.
Tak aku sadari kakiku tak berselop.
Ini adalah sebuah hari yang baru..Tahun 1900, STOVIA dan Ang San Mei, 3 hal pembuka yang mewarnai jalan hidup Minke. Lewat Jejak Langkah, Max Tullenaar alias Minke mulai mengkoordinir dalam; organisasi dan jurnalistik sebagai bentuk usaha dari apa yang bisa dia berikan bagi bangsanya.. sebuah bangsa yang bahkan belum memiliki nama.. semua hal ini pasti ada kesulitan; organisasi pertama yang ia dirikan beranggotakan para priyayi statis, tak punya gairah hidup, ingin menghabiskan hidup dengan tenang dalam dinas Gubermen dan ‘Medan’ koran Pribumi berbahasa Melayu pertama yang didirikannya, mendapat pengawasan ketat dari Gubermen serta gangguan dari gerombolan De Knijpers, T.A.I, dan De Zweep yang tak lain; Robert Suurhof, salah satu dalangnya. Kisah yang semakin membuat ku terperosok pada zaman yang terjadi ketika itu; tentang pekik hiroik yang diteriakkan para pejuang Aceh dan Bali, tentang kisah gadis Jepara, dan lagi Minke dengan kisah cintanya; Bunga Akhir Abad, Ang San Mei.. dan Prinses Kasiruta.. Dua diantaranya sudah pergi meninggalkannya..satu peristiwa diujung cerita memaksa Minke untuk meninggalkan apa yang dimilikinya, Apakah Minke akan meninggalkan sang Putri Maluku ini juga..?? -
Selesai baca "Jejak Langkah", buku ketiga Tetralogi Buru Pram.
Secara umum, konten Tetralogi Buru terbagi menjadi dua: roman dan informasi sejarah. Setelah membaca buku demi buku dalam Tetralogi Buru, saya semakin menyisihkan apa yang tidak begitu saya perlukan/cari dalam buku tersebut. Dalam pada ini adalah, saya lebih fokus mengikuti bagian romannya. Hubungan Minke dengan Mei, ingatan-ingatan dia tentang Annelies, dan permasalahan dia dengan istrinya yang terbaru pada buku ketiga ini, Prinses. Saya juga paling senang setiap masuk bagian-bagian percakapan Minke dengan kedua ibunya: Nyai Ontosoroh (yang banyak memberi wejangan tentang perjuangan-perjuangan Minke) dan Bunda (yang menasehati Minke secara lebih ke dalam, menjadi Jawa, dan isi "pedalaman" Minke, jika meminjam bahasa Pram). Informasi sejarah terkait konflik politik di tempat-tempat di luar Hindia saya anggap pelengkap saja (mungkin bagi pembaca lain justru sejarah ini lah inti dari Tetralogi Buru, tak masalah).
Di Jejak Langkah, Minke mulai belajar berorganisasi, dan membela kepentingan-kepentingan kaumnya dengan cara menulis lebih banyak dan menerbitkan media sendiri. Bagaimana tulisan-tulisannya mempengaruhi tindakan para pejabat tinggi negara dan mengguncang rencana-rencana mereka. Sikap Minke ini mengingatkan saya kembali bahwa: pen is mightier than sword.
4 dari 5 bintang untuk Jejak Langkah, Pram. -
Buku ketiga tetralogi buru ini begitu tebal. Kisahnya panjang dan berliku. Elemen kesejarahan kadang mendominasi elemen mikro kehidupan Minke. Terasa sedikit menunggangi. Tapi aku rasa begitulah hidup dalam masa pergolakan. Hampir saja elemen kesejarahan itu membuatku memberi bintang tiga untuk buku ini. Sampai ketika Prinses van Kasiruta, istri Minke yang bangsawan Maluku itu, menembak gerombolan Robert Suurhof. Yes! Rasain hehehe...
Plot cerita lantas makin deras dan berliku. Seru! Di sela-sela kejadian-kejadian besar, Pram tetap tidak lupa menorehkan hal-hal keseharian dan remeh yang membuat novel ini tetap novel, bukan uraian sejarah. Dan aku terkesan dengan kalimat penutup buku ini:
"Tak aku sadari kakiku tak berselop." -
Judul: Jejak Langkah
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantera
Halaman: 724 halaman
Terbitan: 2007 (pertama terbit 1985)
"Jejak Langkah" adalah buku ketiga dari kuartet Buru yang Pramoedya ciptakan selama pengasingannya di Pulau Buru.
Novel ketiga ini menceritakan bagaimana Minke yang telah melakukan observasi dan yang telah tumbuh perasaan nasionalismenya (di buku 1 dan 2), perlahan mulai mengatur perlawanan terhadap cengkraman Belanda.
Pernah dengar pepatah 'di belakang pria yang hebat terdapat seorang wanita yang hebat'? Dalam kasus Minke, ada banyak wanita hebat. Salah satu hal yang paling menonjol dari kuartet Buru adalah peranan wanita pada kesadaran Minke akan nasionalisme. Ada 5 wanita yang memicu kesadaran Minke dalam membentuk organisasi yang memulai kebangkitan penduduk pribumi.
Yang pertama adalah Nyai Ontosoroh yang mulai menyadarkan Minke bahwa penduduk pribumi pun sebenarnya memiliki kemampuan yang sama dengan pihak Belanda. Hal ini terbukti dari kemampuan Nyai mengurus perusahaan suaminya, seorang pengusaha Belanda yang kurang mampu mengurus perusahaannya, sehingga berkembang dengan baik. Nyai Ontosoroh jugalah yang pertama membangkitkan semangat Minke untuk terus menulis.
Yang kedua adalah Annelies, istri pertama Minke, anak dari Nyai Ontosoroh. Perceraian paksanya yang berakhir dengan kematian Annelies membuka mata Minke akan ketidakadilan yang dialami penduduk pribumi. Minke yang meruapakan anak bupati yang selalu merasakan fasilitas yang baik, akhirnya mulai sadar akan kondisi Hindia Belanda yang sebenarnya.
Yang ketiga adalah Ang San Mei. Ang San Mei adalah tunangan dari sahabat Minke, Khouw Ah Soe. Khouw Ah Soe yang telah meninggal menitipkan surat pada Minke untuk disampaikan pada gadis itu. Sejak pertemuan pertamanya dengan Ang, Minke sudah jatuh hati padanya. Bukan hanya karena kecantikannya, tapi juga karena kecerdasan gadis itu.
Lewat Ang inilah untuk pertama kalinya Minke mulai awas tentang 'organisasi'. Ang yang tergabung dalam sebuah organisasi pemuda Tionghoa memberi Minke sebuah titik awal untuk memulai organisasi pribumi. Hal ini tumbuh semakin kuat setelah dia menghadiri kuliah umum seorang dokter Jawa yang menyadarkan Minke betapa tertinggalnya penduduk pribumi dari penduduk Tionghoa dan Arab di Hindia. Kedua bangsa itu telah memulai organisasinya sendiri untuk meningkatkan kualitas hidup golongannya, sementara penduduk pribumi belum ada yang berani untuk mencetuskannya.
Yang keempat adalah ibu Minke sendiri. Seorang wanita Jawa tulen yang bahkan berani melawan suaminya, yang merupakan hal yang sangat berani mengingat kondisi patriarkal pada zaman itu, untuk bertemu dengan anaknya. Rasa cintanya pada sang anak membuatnya mampu memberi restu pada Minke untuk mempersunting Ang San Mei, sekaligus menguatkan hati Minke untuk menjadi 'dalang yang benar'.
"Tapi ada kekuatan besar penelan kebajikan tapi enggan terbagi." (Minke)
"Guru-guru nenek-moyangmu juga sudah tahu itu, Nak. Mereka menamainya buto. [...] Dan mereka tidak pernah menang melawan para satria nenek-moyangmu."
"Sekarang ini mereka terus-menerus menang."
"Itu di tangan yang salah."
"Bunda, sahaya akan jadi dalang yang tidak salah itu." (hal. 85)
Yang kelima adalah Prinses van Kasiruta, istri ketiga Minke. Prinses membantu Minke menjalankan 'Medan', koran pribumi pertama yang Minke dirikan. Berbeda dengan kedua istri pertamanya, Prinses adalah sosok wanita yang lebih keras secara fisik. Dia bahkan berani membalas dendam pada orang-orang yang telah mengeroyok Minke, karena tidak suka pada pemberitaan di 'Medan', dengan cara menembak orang tersebut.
Usaha pertama Minke dalam mendirikan organisasi tidak berjalan mulus. Organisasi perdananya, 'Syarikat Priyayi', terpaksa mati suri karena kasus penyalahgunaan uang oleh pengurusnya.
Minke tidak berlama-lama dalam kekecewaannya. Dia segera bangkit lagi dan mendirikan koran 'Medan Priyayi' yang menjadi koran pribumi pertama. Dengan bantuan Nyai Ontosoroh, yang kini telah menikah dengan Marais dan pindah ke Perancis, Minke memperoleh bantuan tenaga hukum untuk korannya.
Kedatangan Hendrik Frischboten, tenaga hukum yang dikirimkan oleh Nyai Ontosoroh, dan istrinya Mir, yang merupakan sahabat lama Minke, memulai babak baru dalam hidup Minke.
Dengan bantuan Hendrik, 'Medan' menjadi tempat penyuluhan masalah hukum oleh penduduk pribumi dan berhasil menjadi salah satu koran dengan oplah terbesar.
Selain mengurus 'Medan', Minke juga mengurus berdirinya suatu organisasi baru yang menggantikan 'Syarikat Priyayi'. Kali ini Minke mendirikan 'Syarikat Dagang Islamiah'. Belajar dari kesalahannya dulu, Minke tidak mau organisasinya terdiri hanya dari para priyayi yang bersikap pasif. Selain itu Minke yang sadar akan pentingnya perdagangan bagi ekonomi suatu bangsa, memutuskan untuk membentuk sebuah syarikat dagang.
Idenya ini sendiri sebenarnya ditentang oleh Douwager, seorang jurnalis Belanda yang menggiatkan kesadaran akan arti nasionalisme. Douwager mengkritik penggunaan kata 'Islamiah' karena menurutnya hal itu merujuk pada eksklusivitas agama tertentu. Walau begitu, Minke tetap pada pendiriannya karena dia punya pertimbangan lain.
"Tapi nasionalisme tak bisa berlandaskan agama. Agama itu universal, buat setiap orang. Nasionalisme untuk bangsa sendiri, garis terhadap bangsa-bangsa lain." (Douwager)
"Landasan itu tidak bisa jadi dengan sendirinya. Semua yang serbacita digalangkan landasannya dulu. Apa salahnya jika begitu banyak orang yang setuju? Kan itu juga pendidikan ke arah demokrasi? [...]" (Minke)
"Tetapi bukankah Tuan masih tetap sependapat denganku, bahwa pikiranku tidak keliru?"
"Tetap, Tuan, hanya waktunya belum tepat." (hal. 539-540)
Dalam perjalanannya Minke mengalami banyak tantangan. Oplah 'Medan' yang mulai turun karena kemunculan koran 'Sin Po', kehadiran orang-orang yang membenci dan bahkan melukainya, perpecahan dalam tubuh SDI, bahkan hingga rasa ragunya karena dia tidak kunjung punya anak.
Satu hal yang menarik di buku ini adalah pergulatan Minke di luar koran dan organisasinya. Pergulatannya akan hubungan gelapnya, kalau tidak mau dibilang perzinahannya, dengan Mir Frischboten.
Mir yang juga merupakan sahabat lama Minke ternyata tidak bahagia dengan pernikahannya. Suaminya, Hendrik, memiliki masalah seksual yang membuat mereka tidak bisa dikaruniai anak. Hal ini membuat Mir 'memaksa' Minke untuk menjalin hubungan dengannya.
Hal ini menarik, karena menunjukkan suatu kelemahan Minke yang membuatnya tampak manusiawi. Tentunya Minke salah dalam hal ini, apalagi mengingat dia sudah menikah dengan Prinses saat itu, tapi tetap memberikan sentuhan tersendiri pada cerita.
Lalu bagimana Minke akan mengatasi semua tantangan yang dia hadapi? Bagaimana dengan hubungan gelapnya bersama Mir? Semua jawabannya bisa diperoleh dalam novel Jejak Langkah ini.
Jadi, secara keseluruhan...
Saya benar-benar suka novel ini. Jumlah halamannya memang jauh lebih tebal daripada Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, tapi saya sangat menikmatinya. Membaca buku setebal ini sama sekali tidak membuat saya capek. Justru saya ingin terus membacanya dan ketika harus berhenti untuk istirahat atau kegiatan lain, saya merasa harus berpisah dengan seorang kerabat yang begitu dekat dan tidak sabar menantikan perjumpaan berikutnya. Terdengar lebay? Percayalah, memang tepat seperti itulah yang saya rasakan.
Sayangnya masih ada typo bersebaran di buku ini. Semisal kata 'tuna-tuan' di hal. 39, typo 'perkawa' di hal. 374, dan typo 'kelom-pok' di hal. 395. Masih ada beberapa lagi sih, hanya saja tidak saya catat.
Siapa sebenarnya Minke?
Minke adalah tokoh yang berdasarkan seseorang pada dunia nyata. Minke yang dalam tulisannya dikenal dengan inisial TAS merujuk pada Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional (dikukuhkan oleh pemerintah pada 1973) dan seorang Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres RI no 85/TK/2006.
Kesamaan antara tokoh Minke dan Tirto Adhi Soerjo bisa dilihat dari koran dan organisasi yang mereka dirikan. Sama seperti Minke, TAS juga mendirikan koran bernama Medan Prijaji pada 1907 dan organisasi Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia pada tahun 1909.
Halaman depan Medan Prijaji, 2 April 1910
Buku ini untuk tantangan baca:
-
2013 Membaca Sastra Indonesia
-
2013 Read Big Reading Challenge
-
2013 Serapium Reading Challenge
-
2013 Indonesian Romance Reading Challenge
-
2013 Finishing the Series Reading Challenge -
Dari dua buku sebelumnya, mungkin jejak langkah dinilai agak membosankan untuk sebagian besar pembacanya. Dialog-dialog panjang Minke dengan dirinya sendiri dan berbagai tokoh pergerakan yang mulai dikenalkan Pramudya memakan hampir 60 persen dari isi buku.
Apabila buku pertama membahas tentang pribadi Minke dan perkenalannya dengan Annelies dan Nyai Ontosoroh dan terlihat sifat pergerakan belum mencapai pikiran Minke dan buku kedua berkutat dengan Konflik Minke dan beberapa pribumi dengan kekuasaan kolonial, maka jejak langkah adalah klimaks dari persetereun atau benturan antara pribumi yang diwakili Minke beserta koran medan priyayinya dan gubermen Hindia Belanda yang diwakili van Heutsz. Sedikitnya konflik pribadi yang dihadirkan di buku ini sesuai dengan arah buku ini secara umum. Pramudya membagi sususan keseluruhan cerita menjadi awal pergerakan secara pribadi dan bagaimana seorang pribadi Pribumi terusik dengan keadaan pribumi di buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Pergerakan secara organisasi dan perlawanan lantang di tunjukan pada buku Jejak Langkah ini. Maka dari itu Jejak langkah memuat sedikit banyak interaksi Minke dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti tergambar dalam adegan2 di buku. Terdapat adegan Minke mengikuti kuliah Dr Wahidin yang mengobarkan semangat pergerakan pada siswa2 kedokteran STOVIA, serta dialog segitiga antara Mei tokoh pergerakan Tiong hoa di Hindia dan R.A Kartini dan Minke sebagai penerjemahnya. Dialog yang dirasa tertalu panjang mungkin dikarenakan banyak pembaca menduga buku ini akan sama dengan dua buku sebelumnya, yaitu tentang konflik pribadi minke.
Tapi dengan saratnya muatan tentang fakta sejarah dan dialog-dialog tentang organisasi pergerakan, Pramudya tidak lupa menambahkan cerita pribadi Minke dengan Mei, tokoh baru di Betawi yang merupakan tunangan kawan lamanya Sinkeh yang meninggal di Surabaya, diceritakan di buku sebelumnya.
Dari pembacaan saya atas bagian dari Tetralogi Buru ini, saya berpendapat mungkin Pramudya dapat lebih menambahkan detil pada fakta2 sejarah dalam buku ini. Karena dalam buku ini, ia berniat mengupas habis cerita-cerita, fakta dan memberi gambaran senyata-nyatanya pada pembaca mengenai situasi pada jaman pergerakan sebelum dan sekitar berdirinya Boedi Oetomo. Tidak terlalu banyak karya tulis atau sastra yang menggambarkan era-era kebangkitan bangsa ini, kita hanya tahu fakta-fakta sejarah kering yang kita baca di pelajaran sejarah sekolah.
Tapi mengingat kondisi Pramudya yang merupakan tahanan politik sewaktu ia membuat karya ini, kekurangan detil pada buku ini bisa menjadi pemakluman. Biarpun begitu, detil pada buku ini tidaklah mengecewakan dan bisa menambah perbendaharaan pengetahuan kita tentang sejarah bangsa indonesia di era awal-awal dan perintis kemerdekaan. Yang menakjubkan lagi adalah kemampuan Pramudya meramu fakta sejarah dan mencampurnya dengan roman sejarah hanya dengan bantuan ingatan dan memorinya semata. Ya semua literatur yang dikumpulkanya hanya diingatnya karena semuanya ditinggal di Jakarta sewaktu ia menjalani peran sebagai tahanan politik di Pulau Buru.
Saya rasa buku ini perlu menjadi bacaan sastra wajib bagi siswa sekolah menengah di seluruh negeri ini. Bukan saja ceritanya yang menarik tapi juga muatan nasionalisme yang seakan membakar hati saya sepanjang membaca seri tetralogi Buru. Jarang ada buku yang bisa membuat saya membaca seperti kesetanan; lupa waktu, lupa makan, lupa turun dari bus dan lupa bayar ongkos bus pula..
seperti kata alm. Soe Hok Gie
"Nasionalisme tidak didapat dari doktrin-doktrin yang dijejalkan di kepala kita, tapi dengan melihat langsung tanah air" dan dengan membaca buku ini paling tidak kita bisa melihat tanah air di awal kebangkitannya...
-
Seperti biasa, aku menjadi begitu emosional ketika tiba di halaman-halaman terakhir!
Memang luar biasa betul pengaruh suatu karya tulis. Ia mampu membawa pengetahuan baru, mencerahkan pikiran, membuka mata, membuat manusia berpikir dan berpikir. Dalam Jejak Langkah aku memahami bahwa pengorganisasian massa bukanlah suatu hal yang mudah, lebih-lebih lagi membuat mereka paham mengapa mereka harus terorganisir. Entah itu untuk boikot, angan untuk menghapus kebudayaan feodalistik, atau hanya sekadar dapat menguping pembicaraan para tetangga yang sudah lebih dahulu berserikat. Dan berbahagialah mereka yang mampu dan mau menulis, setidaknya ia punya keleluasaan lebih untuk menggerakkan sesama.
Aku begitu mencintai Minke ketika ia membantah perkataan bundanya tentang petani--bahwa "makin dekat pekerjaan seseorang pada tanah, makin tak ada kemuliaan pada dirinya, makin tidak terpikirkan dia oleh siapapun." Dengan percaya diri Minke tegaskan bahwa, laiknya Bisma, siapapun yang bersinggungan dengan bumi akan abadi. "Bumi adalah petani, Bunda, petani, petani itu juga" (hal. 632). Bahwa dalam beberapa kepercayaan, manusia berasal dari tanah dan kembali kepadanya juga; mungkin tanah memang mengekalkan manusia. Namun, lebih daripada itu, tanah memberi kita hidup. Dan selamanya kita takkan pernah bisa membayar utang kepada tanah yang dengan tabah bersedia kita injak-injak dan gunakan atas dasar keserakahan.
Ada banyak yang ingin aku sampaikan dalam ulasan ini, tapi baiknya aku biarkan kabur agar siapapun yang membaca ulasan ini tetap tergerak untuk membaca roman ini. Biar aku tutup dengan kutipan yang sungguh memantikku lagi untuk terus berani melangkah ke depan:Betapa indahnya hari yang akan datang itu... Tidak, aku dan kami tidak ragu lagi. Gadis Jepara telah memberi contoh bagaimana akhir dari satu keraguan, orang akan menjadi kurban daripadanya. Kalau orang toh jadi kurban, jadilah setelah menaklukkan keraguan sendiri. (hal. 629)
Semoga aku bisa menaklukkan keraguanku sendiri ya, Minke. Walaupun kau begitu mudah jatuh hati pada perempuan yang indah--aku tidak mengidolakan watak filoginismu, tetapi kau selalu berhasil mengingatkanku akan hal-hal yang seringkali luput pada insafku. -
Gue sebenarnya bingung mau ngasih buku yang satu ini angka berapa, tapi gue bulatkan tekad untuk ngasih 4 bintang untuk buku yang satu ini. Jejak Langkah adalah buku ketiga dari tetralogi Buru.
Jejak Langkah bercerita tentang sejarah berdirinya beberapa organisasi besar di awal masa perjuangan Indonesia. Sebut saja Boedi Oetomo, Sjarikat Dagang Islamijah dan lain sebagainya. To be honest, di pelajaran sejaran Indonesia, periode ini adalah periode yang paling gue benci; perjuangan Indonesia di kalangan terpelajar. Namun bukan hanya itu saja, sisi manusia Minke tetap menjadi sorotan. Seorang pria yang memiliki mimpi namun di beberapa aspek kehidupannya, (menurut gue) sedikit labil. Hanya saja, gue memang sangat menghargai seorang Minke, setidaknya, walaupun dia keras kepala luar biasa, dia tetap mau mengambil langkah awal untuk memulai segala sesuatu.
Apa yang gue rasa’in waktu baca buku ini adalah gimana untuk bisa mengubah dunia diperlukan satu langkah awal. Sama seperti yang dikatakan oleh Neil Amstrong, one step of a human a big leap for mankind.
Semakin kesini, gue jadi semakin mengerti mengapa buku ini sempat dilarang untuk beredar. Buku ini bersifat sangat netral (menurut gue), karena bisa menuding baik pihak penjajah maupun pihak pemerintah. Dari buku ini juga gue belajar, bahwa negara ini nggak punya salah apa-apa, yang salah adalah motivasi yang dimiliki manusia-manusia pembentuknya.
Selalu juga, gue sangat senang dengan filsafatnya dan tentu saja, gaya menulis Pramoedya yang sangat khas.
Empat bintang dari gue. -
... " jangan kehilangan keseimbangan ! berseru-seru aku pada diri sendiri, memperingatkan. dimana -mana aku harus tolak persembahan gelar, jongkok, dan sembah karena kita sedang menuju ke arah masyarakat, dimana setiap manusia sama harganya, dibalik seriap kehormatan mengintip kebinasaan. dibalik hidup adalah mautdibalik kebesaran adalah kehancuran.dibalik persatuan adalah perpecahan dibalik sembah adfalah umpat maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya ... "
anak-anak buah minke dibuku ini benar-benar membuatku gemes.Bwuodoh! kt minke. Kwerbau!kt minke. toh begitu ia serahkan juga dirinya untuk menanggung semua kelakuan anak-anak buahnya sebagai tanggung jawabnya sebagai pimpinan yang memimpin mereka dan tetap melindungi. -
Another solid Buru novel. I read the English translation because I got it in the US before I found the original Indonesian. In this novel, pergerakan nasional is at its peak and the hero has a roles in Budi Utomo and especially Sarekat Dagang Islam. He's painted as a very important pergerakan figure, will need to check with history sources to see how much is true. But it is very cool to see the novelization of pergerakan struggle, the challenge of standing up to the colonial power, and educating the Indonesians who at this time received very little education from the government, and so on, even if it's just the imagination of the author.
-
3 hal menarik ketika aku membaca 20 halaman pertama:
Pertama, aku langsung bisa membayangkan Minke ada di Kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Minke datang ke Betawi kotta. Ibukota Hindia yang dibangun Gubernur Jendral Jan Pieterz. Di benakku langsung ada gambaran ooh... Jakarta tempo dulu, ya Batavia. Menyaksikan Minke tiba di Weltervreden, Gambir kalau kata orang Betawi. Lebih tepatnya Koningsplein, orang Betawi bilang Lapangan Gambir, tempat Pasar Gambir, yang kalau dia mau meneruskan perjalanan harus pindah ke trem Messter Cornelis atau pindah delman.
Kedua, aku masih tetap suka dengan gaya bahasa dan penyampaian cerita Minke sebagai sudut pandang orang pertama, sama seperti cerita-cerita yang sebelumnya di Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Apalagi penegasan setiap kalimat yang Minke ucapkan.
Ketiga, aku menemukan sosok Minke yang tampak lebih berani, melawan saat dibuli di sekolah barunya.
Itulah 3 hal menarik pada 20 halaman pertama, yang akhirnya membuatku memutuskan untuk melanjutkan baca buku ini.
Minke datang ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya di S.T.O.V.I.A. untuk menjadi seorang Dokter. Hadirnya tokoh Dokterjawa pada cerita ini membuat Minke memahami tugas seorang Dokter bagi sebuah bangsanya. Aku sendiri ketika membacanya memunculkan banyak pertanyaan. Sebenarnya apa cita-citanya Minke? Berhasilkah Minke menjadi seorang Dokter? Apakah sangat mulia cita-citanya Minke sebagai orang yang terpelajar? Aku sudah menemukan jawabannya.
Seperti yang tertera pada bagian blurb buku ini, Jejak Langkah adalah fase pengorganisasian perlawanan. Selain menceritakan Minke yang memilih jalan jurnalistik lewat koran Medan Prijaji, juga menceritakan tentang terbentuknya organisasi Boedi Oetomo dan Syarikat Dagang Islam.
Di Jejak Langkah banyak nama-nama tokoh baru yang hadir di kehidupan Minke. Mulai dari nama-nama tokoh yang mampu mengisi hatinya dan mendukungnya silih berganti, sampai nama-nama tokoh yang mampu mematahkan kerja kerasnya, kemudian yang telah lama pergi pun muncul kembali.
Karakter Minke di Jejak Langkah ini lebih banyak perkembangannya. Cerita semakin seru setelah bab 12. Mulai membahas masalah pribadi Minke, yang merasa gagal menjadi seorang jantan philogynik yang telah beberapa kali menikah dan semakin merisaukan dirinya untuk siapa dia bekerja tanpa mengenal lelah? -
Selamat tinggal kekasihku, rengguk hidup ini sampai ke dasar cawan. Capai cita cita mudamu sampai setinggi langit biru, rampas segala yang menjadi hakmu.
Deg. Selalu sedih dengan kata perpisahan. Ending yang begini buat makin penasaran sama buku ke empatnya.
Overall cerita dibuku ini selalu menginspirasi untuk memikirkan hak hak orang kecil, persatuan bangsa, perubahan, pemberontakan kearah yang lebih baik,. Dan review tentang pelajaran sejarah di masa berdirinya organisasi organisasi indonesia pra kemerdekaan. Coba aku baca novel ini dari dulu dulu, pasti pelajaran sejarah nilainya bagus. Ini cara mempelajari sejarah indonesia dengan penyampaian yang mudah dimengerti. Dibalut cerita roman minke.
Saya yang masih baru baca buku sastra macam ini, masih sering pusing sama bahasa indonesia lama yang sering dipakai di novelini, jadi perlu baca sampai dua kali intuk kalimat2 susah. Dan percakapan percakapannya yang kadang pakai bahasa melayu lama. Tapi alur yang nggak ketebak, cerita yang nggak biasa, jadi pengalaman tersendiri dan menambah sudut pandang lain ttg indonesia. -
Menarikkah buku ini tanpa alur sejarah didalamnya?.
Sejarah Indonesia adalah daya tarik buku ini.
Membaca novel ini adalah cara belajar Sejarah yang lebih menyenangkan, dari pada menghapal point-point, tahun dan nama Raja-raja dalam buku pelajaran Sejarah dibangku sekolah dulu.
Serasa mundur berabad-abad dan melihat kegelisahan pemuda masa lalu. Pergulatan Menggugat identitas diri, atau menjual diri pada Belanda.
Ternyata Budi Utomo tak semegah bayanganku di buku sejarah bangku sekolahan.
Ternyata Kartini....
Perlahan melahap buku ini. Semangat Organisasinya masih bisa menjadi inspirasi.
Salut untuk siapapun yang berjuang untuk Negeri ini.
Merdeka!!! -
Minke akhirnya sampai di Betawi. Masuk STOVIA dan bertemu dengan calon-calon dokter pribumi lainnya.
Di buku ini, setelah disadarkan oleh Dokterjawa dan lain-lain, Minke mulai membuat organisasi.
Pram berhasil menanamkan sebuah pemikiran ke pembaca: sebuah organisasi, jika sistemnya berjalan dengan baik, akan memberikan efek yang sangat dahsyat bagi perjuangan.
Setelah kehilangan Annelis, Minke bertemu Ang San Mei. Seorang pelarian dari Tiongkok, China. Seorang anggota Angkatan Muda. Minke mempersunting Mei, namun akhirnya Mei meninggal karena terkena penyakit. -
This is the third book of the Buru Quartet I've read and the 4th novel I've read from the greatest Indonesian author of all time, Pramoedya Ananta Toer. I've loved reading each and everyone of his novel and never been disapointed. He was a great storyteller captivating readers from begining to end. The author mixes well between the story of a nation and the individual story of the main character.
In this 3rd book, the main character Minke, now an educated young adult, returns to his native country after spending years studying and writing short stories in Europe. At the beginning of the 20th century, he returns to the not yet unified Indonesia and still occupied by Netherland. First, while he's confident in his future embracing modernism and the new century, he hesitates in what he wants to do in his personnal and professional life. Then, after firt few experience with mild results, he throws himself into journalism and creating associations to empower indiginous people against the occupying powers.
The quartet main theme is struggle against colonialism throught different perspectives. The first 2 books were a coming of age of a young teenage educated in a traditional family discovering life outside protection of family, the real life, and his country. In this book, Minke is a confirmed man who tries to bring his fellow citizens to grow up from tradional education to a well organized and educated country like several other Asian countries had done prior to them. In this book, readers discover Indonesia before the country was unified, while still under occupation, and trying to bring itself together and up into the new century so not to be left behind.
This book is a must read book like any book of Pramoedya Ananta Toer. I can't wait to buy and read the 4th book of the buru Quartet. -
“After seeing the situation in South Africa, Edu came up with some ideas that might be of use to us. In South Africa, you see, there are three peoples –English, Dutch, Natives –as well as various Asian aliens such as the Slameier exiles from Java, Indians, and Arabs. The war over who would rule South Africa was indeed won by the stronger army of England. But even with the British victory, it is the Dutch who still hold power over the Natives and the other colored peoples. The Natives remain a subjugated people.”
“Everyone knows that, Wardi. The Natives remain oppressed.”
“Yes, that is the fate of a people who have not progressed.”
“It’s not a question of not having progressed. The Natives are not allowed to progress, they are not educated to advance themselves. These are two quite different things both in substance and appearance.”
Jejak Langkah (Footsteps) is the third volume of Tetralogy Buru (Buru Quartet) by Pramoedya Ananta Toer. In earlier novels he told how he found out the hard way what it meant to be a Native in the apartheid of the Netherlands Indies, what “entering into the modern world” really meant, what real and cruel injustice was, and to what heights a Native could rise, if he or she refused to be cowed by the colonial world. This third volume is not a story of another revelations. It is truly a beginning Minke goes beyond simply wanting to understand the world to wanting to change it, not just for himself but for all the people of the Indies.
In Footsteps Minke leaves Surabaya for Batavia, the capital of the Netherlands Indies. He arrived to study at the only school of higher learning in the Indies for Natives, the medical school for native doctors. Batavia at that time was the intellectual and political center of the colony. He has left behind the people who played such an important role in opening his youthful eyes to the world around him only to meet even more worldly characters in Batavia.
Through his experience, he understands the importance of formal organization to fight colonialism. Together with his friends and wife, he established the first Native-owned daily paper and instigate the first “legal aid service” for the Natives. Eventually he co-found the first modern political organization which presents him another sets of problem: some gentry felt that they should lead the organization, some traders feel that the union should be the union of traders while some Muslims felt it should be built on Islamic values. But most of all, throughout the story Pramoedya presents how Javanese felt superior above other ethnicities. This novel is set in a time prior to the establishment of an official national language, when the choice of language was intimately tied up with social status and power.“In branch meetings where everyone understands Javanese there is no need to use Malay. But at congresses at the national level or when you’re communicating with the national level, you must use Malay.”
“Why should Javanese be subordinated to Malay?”
“You have to be practical, Mas. In these times whatever is impractical will be pushed aside. Javanese is not practical. All the levels it contains are just pretentious ways of allowing people to emphasize their status. Malay is simpler. The organization doesn’t need statements as to everyone’s social status. In any case, all members are equal. No one is lesser or greater than another.”
“But Javanese has a richer literature. It has a greatness because of that which Malay does not have.”
“You are not mistaken. When the Javanese held sway over all the islands of Nusantara, the language of diplomacy was also Javanese. But that time has passed. The times have changed and so have the demands of the times… our organization is not a Javanese organization, but an Indies organization.”
“But the other people outside Java, they have no history or heritage of any worth.”
“Oh, no! everyone has such history and heritage. In any case, our business is not the past but the present. The modern present.”
Like in previous novels, Pramoedya Ananta Toer presents many strong female characters. A Chinese youth who smuggled herself into the Indies to bring the message of the awakening of Asia to the Chinese community of the Indies, a Sundanese woman who established school for girls, a rebellious Javanese woman who is caged at her parents’ home, a Dutch journalist friend, and many more.“In my opinion, no people anywhere can be respected if their women are oppressed by their men as is the case with my people.”
This story reminds us to fight for justice although we don't always know how and where to start. To understand that in the process, we might be presented with even greater challenges. It also takes certain courage to confront ourselves and beliefs in order to achieve it. We owe our freedom to those brave souls before us. -
JEJAK LANGKAH OLEH PRAMOEDYA ANANTA TOER
“‘Kami berdua kawin untuk kami sendiri,’ kataku pendek. “Adapun baik dan buruknya kami sendiri juga yang menanggungkannya. Kami tidak mencampuri dan tidak ingin dicampuri oleh siapa pun.’” -hal 174.
“Perjuangan di zaman modern membutuhkan cara-cara yang modern pula: berorganisasi. Menjadi raksasa, kata dokter jawa pensiunan itu. Dengan bagian-bagian tubuh yang lebih kuat dari jumlah perorangan yang tergabung di dalamnya.” -hal 255.
“Semua yang kami lawan berasal dari satu sumber, kata Mei pada suatu kali: keterbelakangan kami sendiri, kebanggaan-kebangsaan yang dungu, berlebihan dan tanpa dasar…” -hal 268.
“Meniru atasan jadi pola kebajikan. Tak peduli atasan itu iblis atau hantu dari neraka yang belum terdaftar. Dengan meniru atasan orang semakin mengurangi tanggung jawab pribadi, yang memang sudah kurang dari hanya pas-pasan.” -hal 296.
“Aku simpulkan, setidak-tidaknya sementara: B.O. (Budi Utomo) memisahkan diri dari bangsa-bangsa terperintah Hindia selebihnya, dia telah bikin sempit hidup sendiri. Hindia bukan Jawa. Hindia berbangsa-ganda, organisasinya wajar kalau berwatak bangsa ganda. Jawa sebagai pulau sudah berbangsa ganda. Hindia berbangsa-ganda memang kenyataan kolonial.” -hal 391.
“Tuan-tuan akan belajar melihat kenyataan: Hindia berbangsa-bangsa, bukan hanya Jawa.” -hal 392.
“’Boycott, Tuan,’ kata Frischboten. Kemudian ia terangkan tentang ajaran Kapten Boycott. Bukan golongan kuat saja punya kekuatan, juga golongan lemah, asal berorganisasi. ‘Dan hanya dengan organisasi, Tuan, golongan lemah bisa menunjukkan kekuatan diri sebenarnya. Boycott, Tuan, perwujudan kekuatan dari golongan lemah.’” -hal 396.
“Yang terpenting di dalamnya hanya satu, unity of mind. Itu tidak bicara tentang agama, keterpelajaran, apalagi jabatan. Hanya kesatuan sikap, keseiasekataan golongan lemah. Dan golongan lemah mempunyai banyak kepentingan bersama justru karena kelemahannya, yang dapat mempersatukan.” -hal 397.
“’Di Hindia ini, Tuan, sejauh kuperhatikan, begitu seseorang terpelajar mendapat jabatan dalam dinas Gubermen, dia berhenti sebagai terpelajar. Kontan dia ditelan oleh mentalis umum priyayi: beku, rakus, gila hormat, dan korup. Nampaknya yang harus dipersatukan memang bukan kaum priyayi, justru orang-orang yang sama sekali tidak punya jabatan negeri.’” -hal 464-465.
“’…semakin jauh orang dari jabatan negeri, semakin bebas jiwanya, semakin bebas sepak terjangnya, karena memang pikirannya lebih lincah, bisa produktif dan bisa kreatif, mempunyai lebih banyak inisiatif, tidak dibatasi dan dibayang-bayangi ketakutan akan dipecat dari jabatannya.’” -hal 465.
“Keadilan harus berdiri tegak, juga di negeri jajahan ini. Siapa lagi kalau bukan pribumi sendiri harus mengurus dan menegakkan? Karena keadilan adalah khas urusan manusia, bisa tegak hanya oleh manusia.” -hal 596.
Minke berangkat ke Betawi, semangat hendak menuntut ilmu di STOVIA. Namun ia dikecewakan oleh pelbagai hal: diskriminasi dan cita-cita dangkal para rekannya sesama pelajar. Minke semakin gelisah ingin melakukan sesuatu. Dalam kegelisahannya, ia bertemu dengan orang-orang yang semakin mengobarkan rasa nasionalismenya (walau saat itu Minke belum menyadari idenya tentang nasionalisme). Ter Haar, seorang Belanda liberal yang pro-pribumi. Ang San Mei, gadis Tionghoa yang tergabung dalam kelompok revolusi Angkatan Muda Tiongkok. Saking kagumnya terhadap Mei, Minke sampai jatuh cinta dan mereka menikah. Seorang pensiunan dokter jawa yang menekankan bahwa pribumi perlu berorganisasi agar bisa bangkit dari tekanan pemerintah kolonial. Ia juga sempat berdialog dengan RA Kartini (yang dalam buku ini disebut si Gadis Jepara) yang ingin memperjuangkan pendidikan bagi kaum wanita demi membebaskan mereka dari adat dan tradisi yang patriarkis.
Jejak Langkah adalah masa di mana kegelisahan Minke mulai berkembang menjadi tindakan. Ia mendirikan Medan Priyayi, sebuah surat kabar yang mempekerjakan pribumi seluruhnya, dan organisasi Syarikat Dagang Islam. Perjuangannya penuh hambatan, dimulai dari minimnya pengalaman, golongan Indo yang iri karena kedudukan mereka mulai tergeser oleh kemajuan pribumi, hingga peringatan-peringatan dari Pemerintah Hindia Belanda sendiri. Namun tanpa kenal takut ia maju terus, bahkan memperjuangkan nasib petani yang tanahnya direbut dengan semena-mena oleh pabrik gula.
Minke yang bertemu banyak orang yang inspiratif dan selalu haus pengetahuan dan informasi membuat jalan pikirannya menjadi teramat kritis. Ia bahkan mengritik Budi Utomo, yang sekarang kita kenal sebagai pelopor organisasi berbasis pendidikan. Menurut pandangannya, Budi Utomo terlalu eksklusif, khusus bagi orang Jawa, padahal rakyat Hindia terdiri atas bangsa-bangsa yang berlainan, itupun baru Pulau Jawa saja. Dalam buku ini, Minke sudah mencetuskan ide tentang Bhinneka Tunggal Ika, ingin mempersatukan Hindia yang berbangsa ganda dalam satu wadah organisasi. Tujuannya tak lebih hanya untuk melindungi pribumi dari kesewenangan Pemerintah Belanda dan antek-anteknya: Indo dan priyayi.
Membaca buku ini membutuhkan waktu lama bagiku, terutama karena aku ingin menyerap dengan sungguh-sungguh berbagai ide yang dicetuskan oleh Minke dan banyak tokoh lainnya. Kenyataan bahwa buku dengan ide-ide nasionalisme secemerlang ini dulu malah dilarang sungguh mengiriskan.
Satu hal lain yang kukagumi dari Pramoedya Ananta Toer: beliau sukses mengambil hatiku karena cenderung mengglorifikasi tokoh-tokoh perempuan dalam karya-karyanya. Sebut saja Nyai Ontosoroh, Surati alias Nyai Paina, Ang San Mei, Gadis Jepara (RA Kartini), Prinses van Kasiruta (Siti Fatimah dari Kesultanan Bacan), bahkan Piah, pembantu rumah tangga Minke di Buitenzorg. Beliau juga mengritik terbitnya buku Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht), karena menurutnya, tak mungkin sesedikit itu surat-surat Kartini, dan bahwa isinya terlalu dangkal tidak sejalan dengan isi pikiran Kartini yang sempat dicurahkannya lewat korespondensinya dengan Ang San Mei. -
Another continuation of the story of Minke, this time with politics at the absolute forefront. Rather than being the story of a youth in the colonial Indies, with political themes always looming over the background, Footsteps is a novel all about the struggle, Brechtian as hell. Rabble is roused. I'm not sure whether that helps -- it can be leadenly didactic at times -- but it's definitely quite different from the other two volumes, although again with the same remarkable use of different languages as different contexts conveying different meanings. I still liked it, but it didn't sing in quite the same way as volumes 1 and 2. Onto House of Glass.
-
3 dari 4 - Tetralogi Buru.
DAMNNNNNN that was such a long journey but an exciting one. Buku ketiga menceritakan proses pergerakan nasional mulai berjalan, di mana Minke dan kawan-kawan membangun dan menggunakan media cetak maupun organisasi untuk menyebarluaskan pesan 'nasionalisme'. Part ketiga ini paling panjang dari empat bagian tetraloginya, tapi sama sekali nggak kerasa bosan soalnya plotnya cepat dan praktis - walaupun ada beberapa bagian yang terkesan 'dry' dan nggak perlu dielaborasi panjang lebar. Yang bikin lebih suka lagi adalah detail-detailnya, benar-benar berasa dibawa ke jaman pergerakan masa lampau. INTINYA TOP NOTCH. -
Bagian dari tetralogi yang paling epik. Berisi sepak terjang Mingke dalam memperjuangkan idealismenya yang baru. Ia membesarkan surat kabar bumiputra pertama dan merintis Sarikat Islam sebagai wadah perjuangan ke arah kemerdekaan.
Ia berusaha melawan raksasa bernama kolonialisme yang telah ratusan tahun berdiri mantap di tanah kelahirannya. -
Jejak langkah berkisah seluk-beluk jerih payah Minke merintis suatu wadah yang menghimpun Hindia dalam organisasi "modern". Hindia yang berbangsa ganda, bukan tunggal. Dialektika perumusan alat pemersatu sebagai simpul utama tak bisa dihindarkan.
-
what a smashing read
jolly top notch
genre-defining
wow
unputdownable
a real page-turner
did i say wow
crackin' -
Suatu ketika saat semua rezeki ngumpul, saya akan mengoleksi buku ini.
Berarti tinggal
Rumah Kaca yg harus saya kejar. -
Inspiratif. Hal ini yg paling aku suka dari buku yg ini. Berkisah ttg Minke yg dibayang2i oleh seruan istri keduanya agar dia mendirikan organisasi utk bangsanya sendiri. Pribumi. Hal itu menggelisahkan hati Minke yg mulai diliputi kepedulian akan keapatisan bangsany sendiri. Juga terlalu tunduk oleh kekuatan kolonialisme dlm berbagai bentuk.
Namun, jalanny tak selalu mulus. Belum-belum, Minke telah dihadapkan pada bupati yg bersikap seperti raja kecil yg gila hormat. Gila pd sembah dan jalan berlutut. Segera Minke mencoret bupati dlm daftarnya untuk mncari sokongan utk organisasi yg akan didirikannya. Beruntung, Minke mendengar ttg seorang pedagang yg bereputasi sangat terhormat di daerahnya. Ternyata pedagang tersebut tertarik oleh ide Minke utk membuat organisasi yg akhirny dinamakan Sjarikat Prijaji.
Seperti yg telah diprediksi, semua masyarakat ikut bergabung dlm Syarikat Prijaji hanya karena pedagang ini menyatakan dukungannya. Konon, inilah yg sebenerny organisasi pertama Pribumi di Hindia-Belanda sebelum BO berdiri. Dari sini pula, Medan Prijaji, koran pribumi pertama diterbitkan. Namun, organisasi hancur begitu saja karena lagi2 keapatisan masyarakat dan stagnansi mereka dlm menjalani hidup mereka. Saat itu, BO berdiri jg dgn mengusung nama priyayi dan terkhusus pd masyarakat Jawa. Sayang, walaupun Minke dimintai pendapat dan diajukan utk menduduki posisi penting di BO, mereka berbeda pendapat.
Perbedaan pendapat itu yg akhirny mndorong Minke membuat organisasi baru yg bernama Sjarikat Dagang Islam. Minke sengaja mnarik para pedagang karena pedagang dianggap kaum yg maju, berani bertindak, dan dinamis. Dgn begitu, kehidupan organisasi juga pasti lebih dinamis. Islam hanya untuk mengikatkan diri pada satu komunitas dan Islam dipilih karena agama tersebut dominan di pulau Jawa.
Medan smakin maju, dari bulanan, hingga mingguan. Pada akhirnya, Medan dapat diterbitkan per hari. Metode yg digunakan Minke dlm menyusun berita cukup unik. Dikumpulkan berbagai keluh-kesah kaum protelar dlm menghadapi wajah kolonialisme, baik putih atau coklat di negeri Hindia. Dengan bantuan temanny yg juga pengacara handal, Minke berhasil mewartakan keluh-kesah sekaligus menyelesaikan perkara kaum tertindas itu.
Gerak Minke dianggap semakin berbahaya hingga beberapa penjagal, baik yg resmi maupun yg tidak, dikirim utk memperingatkan Minke. Namun, Minke tidak menyerah, didukung oleh istri ketiganya, Prinses Van Kasiruta yg memang berani dan bertabiat keras.
Aku paling suka kisah jatuh-bangun Minke di sini. Karena semuanya justru memperlihatkan bagaimana semangat Minke utk berseru di tengah padang pasir hati pribumi Hindia yg terlanjur ciut oleh kekuatan kolonial yg terus-menerus merongrong kehidupan mereka. Belum lagi, fakta2 sejarah ttg perang puput di Bali serta Aceh dlm melawan Belanda menjadikan buku ini sangat membangkitkan inspirasi kita dlm berjuang. Tiap kali baca buku ini pasti tangan rasany gatel pngen ngelakuin sesuatu haha...
Tabik! -
Footsteps (Jejak Langkah) is the third in the Pramoedya Ananta Toer’s Buru Quartet, the series of four novels tracing Indonesia's 'awakening' that Toer wrote while in prison on the island of Buru. (
See my review of Book 2 for the background to this, and also for my thoughts about the translation and introduction which apply equally to this volume). Footsteps is a more 'political' novel, and belongs in that distinctive category of
historical fiction as activism, that is, it's written by authors redressing the hidden stories and silences of colonised peoples in well-researched fiction. Toer had spent years researching the life of
Tirto Adi Suryo, who was the inspiration for this quartet, but Toer's papers were all destroyed when he was arrested and held without trial for fourteen years.
Notwithstanding that setback, Toer created this novel from memory, telling the story of a man honoured in 2006 as a
National Hero of Indonesia. Toer's central character Minke appears to be a reasonably authentic recreation of Tirto's life, (though the Wikipedia entry in English includes nothing about his personal life, which in the quartet so far, includes three wives.) As Max Lane explains in the Introduction, Tirto was editor of the first Native-owned newspaper and co-founder of the first magazine for women; he initiated a legal advisory service; he co-founded a modern political organisation devoted to developing what would become Indonesian nationalism; and he was a pioneer of indigenous literature in a language of the nation yet to be born.
NB: My use of terms to describe different ethnic groups and social divisions are those that are used in the book. 'Indonesians' would be anachronistic in the era of the Dutch East Indies, and Toer uses terms like Native, Indo, Indisch, and regional descriptors such as Javanese, Moluccan and Balinese to indicate racial differences while also indicating social differences with terms of address in different languages, like Mas, Gusti Kanjeng, Haji, Sinyo, Meneer, Mevrouw, Ndoro, Teukoe and Princess.
Books 1 & 2 — This Earth of Mankind (
see here) and Child of All Nations (
see here) trace the influences on Minke, born into the aristocatic priyani caste and expected to surrender to work as a salaried administrator like his father. But these characters show him a different path to take:
Annalies, his first Indo (Eurasian) wife, who died after 'repatriation to the Netherlands, because her citizenship was reverted there in order to prevent her inheriting Javanese assets from her Dutch father;
Nyai Ontosoroh, Annalies' mother and concubine to a failed Dutch businessman, whose self-taught efforts rescued the business and whose courage and understanding of the modern colonial world alerted Minke to much injustice; (See
The Girl from the Coast for Toer's representation of what concubinage was like);
Jean Marais, a French veteran of the war in Aceh who taught Minke to connect with his own people rather than the Dutch at his elite school;
Khouw Ah Soe, an activist for the progress of Chinese people in Java, who was killed by assassins from a Chinese secret society;
Thoenodongso, a peasant who led an uprising against the colonial sugar barons;
Magda Peters, his Dutch teacher at the elite HBS school, who recognised Minke as a future leader (and got herself sent back to Holland because of it); and
Herbert de la Croix, a liberal Dutch administrator and his two daughters, who return to Holland in disillusionment.
So, Footsteps starts in 1901 with Minke at the medical school for Natives. This school was a belated initiative by the Dutch in the wake of international embarrassment about their colonial regime, but its graduates are condemned to serve only as badly-paid doctors attempting to lift the life expectancy of Natives from a shocking 40 years. Minke makes few friends, but is visited by Ter Haar, a liberal Dutch journalist who improves his status at the school by engineering invitations to the Harmoni Club, where he meets Van Kollewijn, a liberal MP espousing
the Ethical Policy aimed at improving the welfare of the Natives;
General van Heutsz, the man who led the slaughter against the Acehnese; and
Marie Van Zeggelen, an author who wrote books supportive of Native freedom including a biography of
Kartini, (a pioneer of girls' education who is referenced in Footsteps as 'the girl from Jepara). These contacts with powerful people enable Minke to flout school rules with impunity, but he ends up abandoning his course to take up journalism.
Footsteps isn't a book that flows smoothly; Toer was at pains to make various political points, and so there are jerky sequences of events and occasionally awkward conversations that are included as activism rather than as part of a credible plot. His Native characters are generally more convincing than the stereotypes he uses to convey opinions held by colonials or ethnic identities not from the Indies. Two topics discussed in an unlikely conversation between a very young Minke and these powerful people are raised at the ironically-named Harmoni club:
Van Kollewjin talks about Holland owing a moral and financial debt to the Indies because exports under the Culture (Forced Cultivation) System saved Holland from bankruptcy, paid for Holland's infrastructure development and provided it with capital for expansion.
Marie Van Zeggelen tackles General Van Heutsz over his use of the word 'unify' instead of 'expand' to describe the conquest of Aceh. He talks of 'pockets' of 'political enclaves' 'destabilising the Indies' and how they must be brought to 'acknowledge the sovereignty of Her Majesty'. Ter Haar and Van Zeggelen argue that they are independent states, and that the aim of these operations is conquest not unification. They ask what his plans are for East Papua and Southeast Papua, while sarcastically noting that West Papua is a heavy burden for the Indies.
Questions of (and activism in support of) recompense for Holland's moral and financial debt, and the territorial integrity of Papua and Aceh under Indonesian sovereignty remain pertinent today.
To read the rest of my review please visit
https://anzlitlovers.com/2019/09/01/f... -
Buku “Jejak Langkah” karya Pramoedya Ananta Toer merupakan buku ke-3 dari tetralogi yang menceritakan perjalanan hidup Minke pada masa kolonial Belanda yang dilapisi oleh konflik politik, percintaan, serta aspek lainnya yang memberi para pembaca perspektif baru dalam kolonial Belanda yang diceritakan dengan atmosfer semi-fiksi. Namun, pada buku ini, cerita Minke diawali oleh kedatangannya di Betawi untuk meneruskan pendidikan di STOVIA sampai sanksi pengasingan yang dijatuhkan kepadanya.
Novel ini membuka dengan kedatangan Minke di Betawi untuk mengejar pendidikan di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau baik dikenal sebagai STOVIA, sekolah kedokteran yang memberi kaum pribumi pendidikan yang menjanjikan di seluruh Hindia Belanda. Karena di Surabaya ia telah terbiasa dengan budaya Belanda dan berpakaian secara demikian, ia sering diolok-olok dan dihina oleh teman-temannya karena dianggap tidak menghargai budaya pribumi. Karena itu, Minke merasa dikucilkan dan melihat segregasi kelompok yang ada didalam lingkungan akademis yang ia jalani. Ditambah lagi dengan kemahirannya untuk menulis dan bukan dalam bidang kedokteran, Minke semakin dijauhi oleh para rekan-rekan sekolahnya. Karena karya tulisnya yang mengkritik Gubermen serta para petinggi negara, tulisannya justru tidak diberi penghargaan ataupun pengenalan yang besar.
Pada suatu hari, Minke bertemu dengan seorang gadis Tionghoa yang cantik bernama Ang San Mei. Tetapi karena segregasi antara kaum pribumi dan kaum non-pribumi yang sangat ketat, perjalinan hubungan mereka sangatlah sulit. Tetapi akhirnya, Minke mengakui perasaannya yang sebenar-benarnya kepada Ang San Mei dan keduanya menjadi pasangan suami istri. Namun, Ang San Mei meninggal dunia karena penyakit Malaria; karena ditinggal oleh seorang istri, Minke akhirnya putus asa dan untuk memperburuk situasi, ia dikeluarkan dari STOVIA karena nilai sekolahnya yang tidak memadai.
Namun, meskipun Minke dijatuhkan dengan rasa putus asa, ia terus bangkit dari kesedihannya dan mendirikan sebuah organisasi perdagangan yang bernama Syarikat Dagang Islam, atau lebih sering dikenal sebagai SDI. Tak hanya karena ia harus melunaskan hutang, tetapi juga karena ia percaya bahwa masyarakat pribumi dapat mengelola ekonomi dan perdagangan sebagaimana Belanda telah mengendalikan seluruh aspek ekonomi di Indonesia.
Ketika Boedi Oetomo, atau B.O., didirikan, Minke mendapatkan surat dari anggota organisasi tersebut mengenai sistem pendidikan dan Bahasa pengantar B.O. Pada saat itu juga, Minke mulai menunjukkan keprihatinan terhadap pendekatan dan sistem yang digunakan. Namun, meski Minke tidak setuju dengan kebijakan B.O., organisasi ini terus meraih kesuksesan dalam propaganda yang dijalankan diseluruh Indonesia, dicontohkan pada halaman 386: “Semasa liburan sekolah, sebagaian siswa Sekolah Dokter anggota B.O. berpropaganda dimana-mana. Dan luarbiasa gemilangnya di Sala dan Yogyakarta, di kawasan Mangkunegaran dan Paku Alaman”
Meski ditawarkan posisi tinggi di B.O., yakni sebagai Dewan Pemimpinan, Minke menolak dan terus mendirikan organisasi persnya yang bernama Medan Prijaji. Organisasi ini terus mengritik Gubermen serta kebijkana Belanda terhadap kaum pribumi. Dan karena topik-topik kontroversial yang sering dibahasa di dalam surat kabarnya, Medan Prijaji menjadi sebuah organisasi ternama di kalangan kolonial Belanda, yakni dikeranakan surat kabar yang menyentuh topik ‘boycott’.
Pada suatu hari, Prinses Van Kasiruta, seorang royalti dari negeri Kasiruta menemui Minke untuk membahasa mengenai artikel ‘boycott’ yang diterbitkan oleh Medan Prijaji. Meski tidak jelas mengapa Prinses membutuhkan surat kabar mengenai aksi ‘boycott’ tersebut, Minke tetap saja memenuhi keinginan Prinses. Ketika ditanya kapan artikel tersebut harus selesai dicetak, tenryata Prinses mempunyai masalah lain yang harus diselesaikannya: Ia tidak bisa pulang ke Kasiruta dan telah dilarang oleh Tuan Asisten Residen Priangan sebagai berikut “Akan kusuruh cetak dalam beberapa hari ini. Kapan Prinses berangkat?”
“Itulah sesungguhnya yang menyebabkan aku datang untuk minta pertolongan tuan. Mereka melarang.”
“Siapa mereka itu?”
“Tuan Asisten Residen Priangan.”
Seiring jalannya cerita, konflik lain juga terus menghujani kehidupan Minke. Meski Medan Prijaji dan SDI terus berkembang dengan pesat, Gubermen terus memburu Minke serta organisasi yang telah dibuatnya seperti keterlibatan organisasi yang bernama De Knijpers, sebuah perkumpulan yang dibuat hanya untuk menghabisi pengaruh Medan Prijaji dan SDI di seluruh Indonesia dan untuk menangkap Minke. Aksi mereka yang brutal sangat dikenal diseluruh Indonesia sampai Minke pun mengetahui akan perbuatan-perbuatan brutal yang mereka lakukan, seperti apa yang diketahui di halaman 568: “Perkelahian telah terjadi di kota-kota antara golongan Indo berbendera De Knijpers dengan pemuda-pemuda SDI barisan Marko. Ia sendiri pernah terlibat dalam perkelahian dengan De Knijpers, yang bersenjatakan rotikalung. Seorang anak buah Marko tergeltak dengan rusuk patah, dan De Knijpers menghilang tanpa jejak.”
Pada akhir cerita, meski Minke telah memperjuangkan kebebasan pers, revolusi yang membakar semangat kaum pribumi serta melawan balik Gubermen yang memelihara budaya rasis, ia akhirnya ditangkap di kediaman rumahnya sendiri dan diasingkan keluar Jawa. Ia pun terpaksa meninggalkan istri tercintanya, Prinses Van Kasiruta, serta karyanya yang sangat kritis bagi perjuangan kebebasan kaum pribumi.
Sebagai sebuah tokoh yang bisa dilihat sebagai seorang pemimpin, Minke tentunya mempunyai beberapa kualitas yang membuatnya sebagai pembimbing yang sangat penting dalam cerita. Ia sering kali menunjukkan sikap yang mementingkan keadilan bersama, ditunjukkan di halaman 52 dimana ia melihat bahwa meski berbeda dalam status sosial, kita harus tetap peduli terhadap orang lain: “Terimakasih, Yang Terhormat. Tentang kerja bebas itu. Yang Terhormat Anggota Tweede Kamer, apa juga berarti bebas mengucil dan mengsuir petani…” Dalam kalimat ini, jelas bahwa Minke mempedulikan petani yang telah bekerja bagi kemakmuran bangsa, meski mereka beda dalam beberapa derajat, tokoh utama buku ini tetap menekan betapa pentingnya peran mereka dalam bangsa.
Selain itu, Minke juga menunjukkan bahwa ia tidak suka dipanggil dengan nama yang memuliakannya karena status sosial sendiri. Ditunjukkan pada halaman 412: “Nama saya Ja’In Bendoro” katanya dalam Jawa padaku. Aku melirik kepada Sadikoen. Ia tak merasa risi mendengarkan kromo yang ditujukan kepadaku” Dalam reaksi yang ditunjukkan Minke, ia menandakan bahwa ia tidak terlalu suka dipanggil dengan julukan “Bendoro” yang meninggikan dia sebagai seorang dengan statu sosial yang lebih dihormati.
Menurut saya, meski buku ini terkandung Bahasa yang sulit dimengerti dan membawa pembahasan kontroversial yang susah dicerna, buku Jejak Langkah tentu memiliki cerita yang unik dan mengesankan, wajib dibaca untuk mereka yang mempunyai ketertarikan terhadap aspek politik dan sosial.